Di Encyclopedia of Religion and Nature (2008), sejarawan lingkungan kontemporer paling terkenal, Michael Zimmerman, mendefinisikan ekofasisme sebagai “a totalitarian government that requires individuals to sacrifice their interests to the well-being and glory of the ‘land’, understood as the splendid web of life, or the organic whole of nature, including peoples and their states.” Kita tahu persis, tak ada pemerintahan yang demikian. Kita juga tahu bahwa istilah tersebut jauh lebih sering dipergunakan sebagai ejekan kepada para aktivis lingkungan.
Namun, sikap yang seakan meminta, atau bahkan memaksa, masyarakat untuk mengorbankan kehidupannya demi lingkungan bisa kita saksikan secara nyata. Beberapa tahun belakangan, urusan menggusur masyarakat dari pinggiran sungai di DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bisa dibaca seperti itu. Argumentasi “ekofasisme” itu kerap dipergunakan, diperkuat dengan dasar hukum, terutama PP 38/2011 tentang Sungai dan UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
Fungsi Sempadan Sungai
Tentu, menggusur masyarakat dari pinggiran sungai bukanlah sesuatu yang tak bermanfaat. Manfaat lingkungannya sangatlah besar. Dan karena yang digusur adalah pemukiman-pemukiman yang kerap dinyatakan sebagai kumuh, maka manfaat lainnya, yaitu peningkatan keindahan perkotaan bisa segera dirasakan. Lebih jauh, karena banyak wilayah bekas gusuran yang diubah menjadi ruang publik, tentu manfaat sosialnya juga besar.
Fungsi sungai sendiri, sebagaimana dinyatakan dalam PP 38/2011, adalah untuk kepentingan manusia dan kepentingan lain yang lebih luas. Bagi kehidupan manusia, manfaat keberadaan sungai adalah sebagai penyedia air dan wadah air untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sanitasi lingkungan, pertanian, industri, pariwisata, olahraga, pertahanan, perikanan, pembangkit tenaga listrik, transportasi, dan kebutuhan lainnya. Sementara, jasa lingkungan sungai juga diketahui sebagai pemulih kualitas air, penyalur banjir, dan penyokong utama ekosistem flora dan fauna.
Untuk memastikan fungsi sungai itu berkelanjutan, maka sempadan sungai adalah kuncinya. Sempadan adalah zona penyangga sungai, yang menghubungkan antara ekosistem sungai dengan ekosistem daratan. Tanpa campur tangan manusia, sempadan sungai umumnya didominasi oleh lahan basah dan/atau tetumbuhan mulai dari rumput, semak, hingga pohon.
Ketika sempadan sungai itu lebar, dengan jenis dan kelimpahan flora dan fauna yang tinggi, itu menandai tata guna lahan yang baik, dan bisa menjadi pertanda ekosistem sungai maupun daratan yang baik pula. Namun, lantaran desakan kehidupan di perkotaan, kondisi sempadan yang demikian sangat sulit ditemukan. Pemukiman penduduk, bahkan bangunan perkantoran sekalipun, banyak yang dibuat benar-benar di bibir sungai, menghilangkan keragaman flora dan fauna di situ.
Apa sesungguhnya manfaat sempadan sungai itu? Ada beberapa. Pertama, keanekaragaman hayati. Bagaimanapun, air adalah salah satu prasyarat penting kehidupan, sehingga tak mengherankan kalau tumbuhan dan hewan, termasuk manusia, cenderung mendekati sungai. Secara alamiah sungai dan sempadannya adalah sumber kekayaan hayati yang tinggi. Sebagiannya sudah diketahui manfaatnya dan telah dimanfaatkan. Sebagian lainnya belum. Ketika keragaman hayati hilang, maka hilang pula manfaat yang bisa disediakannya.
Kedua, lantaran sempadan sungai secara alamiah ditumbuhi oleh rumput dan semak, maka fungsi penyaring polutan bisa bekerja. Ini menjaga kualitas sungai, terutama dengan mengurangi kekeruhan akibat sedimentasi maupun pencemaran dari berbagai sumber. Rumput dan semak di sempadan sungai inilah yang menjaga air sungai pada kualitas yang memadai sebagai sumber air bersih dan air minum (dengan pengolahan).
Ketiga, pepohonan yang terdapat di sempadan memiliki fungsi utama menahan erosi. Akar yang menghunjam ke dalam tanah akan memperkuat struktur tanah, sehingga air tidak mudah menggerusnya. Bila sempadan tidak diperkuat dengan pepohonan, maka struktur tanah akan menjadi mudah tererosi, dan kehilangan hara tanah akan menjadi sangat cepat, selain juga membuat air sungai menjadi keruh.
Keempat, pepohonan juga menyediakan makanan, tempat berlindung dan berteduh, termasuk untuk manusia. Rumput dan semak juga memiliki fungsi yang sama untuk spesies-spesies yang lebih kecil. Sisa tetumbuhan yang mati merupakan sumber makanan bagi fauna akuatik dan lainnya. Jelas, dengan tetumbuhan di sempadan sungai, maka jumlah maupun jenis spesies fauna yang bisa didukung hidupnya juga akan meningkat.
Terakhir, lingkungan yang bermutu baik jelas pula menciptakan rasa nyaman bagi manusia, sehingga cenderung menjadi ruang sosial yang baik. Karenanya, kawasan sempadan sungai dapat dikembangkan menjadi dengan ruang terbuka hijau yang, selain menjaga fungsi ekologis, juga memiliki fungsi rekreasional bagi warga setempat.
Politisasi Penggusuran
Pertanyaannya kemudian adalah apakah fungsi yang sedemikian penting, dengan didukung oleh perangkat regulasi, bisa membenarkan proses penggusuran atas mereka yang bermukim di sempadan sungai? Pertanyaan ini menjadi sangat menarik, terutama lantaran di Pilkada Jakarta isu ini kemudian menjadi lebih bersifat politis dibandingkan lebih mengemuka dimensi sosial dan lingkungannya sebagaimana yang dibahas di atas.
Untuk menarik hati para calon pemilih, Pasangan Calon No. 1 terus-menerus menyatakan perlunya kreativitas dalam penyelesaian non-penggusuran. Mulai dari konsep rumah apung hingga penggeseran sementara. Masalahnya, jawaban “kreatif” ini tetap tidak menyelesaikan masalah ekologis dan juga hukum.
Lebar sempadan yang tak boleh ada bangunan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau itu berbeda-beda menurut kedalaman sungai. Bila sungainya hanya memiliki kedalaman tak lebih dari 3 meter, maka garis sempadannya memang hanya 10 meter. Semakin dalam sungai, semakin lebar juga sempadannya.
Tetapi, batas minimal 10 meter itu tetap tidak mudah untuk dipenuhi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, regulasinya kemudian menyatakan bila sempadan sungai telanjur sudah dimiliki oleh masyarakat, dengan surat bukti kepemilikan yang kuat, maka kepemilikan lahan tersebut tetap harus diakui oleh pemerintah. Namun, masyarakat pemilik lahan juga harus mematuhi aturan bahwa daerah tersebut merupakan sempadan sungai. Konsekuensinya, sebagaimana yang dinyatakan beleid itu, “… bangunan-bangunan yang masih berdiri di garis sempadan sungai yang sudah terlanjur berdiri tidak boleh diubah, ditambah dan diperbaiki.”
Secara tegas dinyatakan bahwa tanah dan bangunan di sempadan sungai yang memiliki bukti kepemilikan kuat itu harus ada dalam status quo, dan secara bertahap pemerintah akan mengembalikan fungsi tersebut menjadi sempadan sungai. Ini juga berarti apa yang dinyatakan oleh Pasangan Calon No. 3—yaitu melegalkan kepemilikan—akan sangat sulit kalau bukan mustahil diwujudkan. Kalau mereka bisa membujuk instansi yang berwenang menentukan regulasi tentang sempadan sungai untuk mengubah regulasi tersebut, tentu bisa. Tetapi, pengubahan regulasi ini tentu tidak akan populer, apalagi sesungguhnya tidak menjawab kebutuhan pemulihan fungsi sempadan sungai.
Ahok yang Benar?
Apakah kemudian Pasangan Calon No. 2 yang benar dalam urusan ini? Tidak juga. Paslon No. 2 yang petahana tentu sudah mempelajari semua regulasi dan tahu persis bahwa pencarian lahan yang dekat dengan lokasi-lokasi yang mereka gusur tidaklah membuahkan hasil. Di dalam himpitan regulasi dan ketersediaan lahan, mereka kemudian sangat tegas menggunakan argumentasi ekologis dan hukum. Apalagi mereka juga tahu bahwa di tempat-tempat penggusuran itu bukti kepemilikannya banyak yang lemah.
Lalu, apa masalah pada Paslon No. 2? Pertama, argumentasi ekologis serupa ekofasis itu tidak diterapkan ketika berhadap-hadapan dengan kasus-kasus yang lain. Dalam masalah reklamasi, misalnya, Ahok ngotot bahwa dia memang memiliki kewenangan untuk memberi izin. Dia “lupa” bahwa regulasi yang lebih tinggi daripada kewenangannya itu menyatakan bahwa reklamasi sesungguhnya hanya diperkenankan untuk kepentingan publik, terutama perbaikan mutu lingkungan. Kalau sekarang kita ketahui bahwa tujuan reklamasi adalah untuk pengembangan projek perumahan komersial, bisakah ini ditoleransi?
Berikutnya, Ahok terus menyatakan bahwa analisis mengenai dampak lingkungan dari reklamasi berbagai pulau itu sudah selesai atau sedang diselesaikan. Namun, dalih ini sebetulnya menghina akal. Amdal yang ada—dibuat sejak pemerintahan DKI sebelumnya—tidak disandarkan kepada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagaimana yang diamanatkan UU 32/2009. KLHS-nya dibuat belakangan, dan hingga kini belum selesai. Kalau cakupan KLHS yang lebih luas belum selesai, bagaimana mungkin amdal pulau-pulau reklamasi bisa dianggap serius?
Lebih jauh lagi, amdal reklamasi dibuat per pulau, yang menegasikan perlunya pemantauan dan pengelolaan dampak lingkungan dan sosial yang komprehensif atas reklamasi. Bagaimana mungkin amdal yang demikian bisa dianggap sahih?
Maka, tak mengherankan kalau kemudian sebentuk ekofasisme yang ditunjukkan dalam penggusuran warga di sempadan sungai kemudian ditengarai hanya sebagai dalih. Kalau penghormatan ekologis memang hendak diterapkan secara sungguh-sungguh, Ahok perlu bekerjasama dengan seluruh pihak untuk menghentikan semua kegiatan reklamasi, sampai KLHS selesai, dan amdal kawasan yang komprehensif dibuat kembali.
Kalau KLHS dan amdal itu menyatakan bahwa reklamasi bisa dilakukan—tentu dengan membuat justifikasi manfaat bagi publik yang besar—maka baru bisa dilanjutkan. Kalau ternyata tidak bisa, maka modifikasi atau bahkan pembongkarannya harus dilakukan, demi menjaga keberlanjutan ekologis.
Kedua, norma perilaku internasional atas pemindahan penduduk sebetulnya “sederhana”: jangan sampai kehidupan di tempat baru menjadi lebih buruk dibandingkan di tempat sebelumnya. Kita tahu bahwa pemukiman yang digusur oleh Ahok adalah pemukiman padat penduduk yang jauh dari sehat. Pencemaran udara, tanah, dan air sangat jelas terjadi di tempat-tempat tersebut. Tak heran, banyak yang dengan mudah menyatakan bahwa rumah susun yang disediakan oleh Ahok adalah lebih baik, sehingga memenuhi norma tersebut.
Namun, yang menyatakan demikian sesungguhnya melupakan bahwa tempat manusia tinggal adalah habitat dalam pengertian ekonomi, sosial, dan lingkungan. Mereka hidup, bekerja mencari nafkah, bersekolah, dan bersosialisasi di tempat itu dalam waktu yang lama. Mereka menjadi komunitas, bukan sekadar kumpulan individu yang terpisah. Sehingga, norma pemindahan penduduk adalah memindahkan komunitas, bukan sekadar memindahkan individu.
Banyak pakar di bidang ini yang menyarankan agar pemindahan penduduk itu dibuat sedekat mungkin jaraknya, dengan demikian kondisi masyarakatya tidak jauh berubah. Namun, apabila hal itu tidak mungkin, maka kondisi sosialnyalah yang harus diperhatikan. Ini termasuk jenis nafkah yang harus dipastikan terjaga, kedekatan antar-tetangga, jarak ke tempat kerja dan bersekolah, dan sebagainya. Pendek kata, kondisi yang semirip mungkin dengan aslinya. Sementara, kita tahu bahwa hal-hal itulah yang kerap disuarakan oleh para “korban” penggusuran Ahok, walaupun banyak di antara mereka yang juga bersyukur atas fasilitas yang disediakan di tempat barunya.
Sang petahana memang harus menjelaskan dengan gamblang mengapa ia seakan buta ekologis ketika berhadapan dengan reklamasi, dan untuk kasus yang lebih “ringan”, pelanggaran koefisien dasar bangunan dan koefisien luas bangunan. Pada kasus-kasus itu, Ahok hanya menegakkan pembayaran denda atas kesalahan tersebut, seakan-akan kesalahan itu tak punya signifikansi ekologis.
Ia juga perlu belajar bahwa dampak sosial-ekonomi dari pemindahan penduduk yang ia lakukan itu tidaklah sesederhana dan sepositif yang dibayangkan.
Baca juga: