Kamis, Maret 28, 2024

Libido, Tubuh, dan Akal Pencerahan

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis

Layar merah tua pelan terbuka. Irama musik India mengalun dinamis. Satu persatu, dewi-dewi dalam mitologi India muncul dari balik panggung yang berseni dan berteknologi canggih.

Aksesoris indah ala kisah Ramayana dan Mahabharata membalut dua puluh persen tubuh sang penari. Bagian tubuh separo ke atas dibiarkan bebas terbuka. Gemulai dan gerak tubuh begitu tunduk pada hentakan musik dan kilatan lampu. Dinamis sekaligus rancak.

Penari-penari Bluebelle Girls di LIDO Paris itu memendarkan pesona magis dan eksotisme adikarya anak manusia. Bagi pecinta seni kelas tinggi, tari kabaret itu benar-benar bukti cita rasa seni mahaadi. Sebaliknya, bagi penikmat seni lucah, gerutuan panjang pasti membuncah dari mulutnya yang nyinyir. That’s artistically interesting, but not empowering !

LIDO merupakan kreasi dua bersaudara berasal dari Italia Joseph dan Louis Clerico. Nama LIDO sendiri diambil dari nama sebuah pantai yang sangat indah, yakni Pantai Lido di Italia. Inagurasi kabaret paling masyhur di dunia ini dilaksanakan pada 20 juni 1946 dengan pertunjukan pertama berjudul “Sans rimes ni raisons (tanpa rima dan tanpa rasio)”. Terletak di jantung Champs-Elysées, LIDO menjelma menjadi salah satu penanda gemerlap dan romantika kota Paris sebagai La Ville de lumière (Kota Cahaya).

Prestasi LIDO tidak bisa dilepaskan dari peran lima tokoh : Dua bersaudara Clerico (pendiri), Margareth Kelly (kareografer Bluebelle Girls), Pierre Louis-Guérin, dan Renée Fraday. Kelima abdi seni ini memang menjual keindahan tubuh. Tapi, mereka berhasil menyajikannya tanpa jatuh pada vulgarisme dan seni berselera rendah.

LIDO bukan sekedar gemulai eksotis tubuh perempuan. Ia bagian dari perdebatan sengit Abad Pencerahan XVIII mengenai hubungan rasio dan seks. Immanuel Kant dan Marquis de Sade adalah dua seteru dalam persoalan ini; bagaimana mendamaikan moral dan seks?

Kant berpendapat bahwa akal dan seks itu sangat berbeda, bertentangan dan tak dapat disatukan. Akal mengantarkan manusia pada perintah-perintah moral, sedangkan seks selalu membelokkannya pada tindakan-tindakan tak bermoral.

Dalam bukunya Leçon d’éthique (1780), Kant dengan keras mengatakan bahwa l’attirance sexuelle n’est pas une inclination pour un autre être humain, mais une inclination pour son sexe (daya pikat seksual bukanlah perasaan cinta kepada orang lain, tetapi kecenderungan pada seks itu sendiri). “Seks adalah aksi yang bertentangan dengan tuntutan-tuntutan rasio praktis”, tulis sang filosof moral.

Di seberang lain, Sade dengan penuh pesona menyangkal tesis Kant dengan mengatakan bahwa akal (raison) dan kebebasan moral (liberté de moeurs) itu sejalan. Keduanya satu bagian yang tak dapat dipisahkan (juz’un la yatajaza’). Dari balik penjara, ia mengikuti gemuruh ide-ide rasionalisme Abad Pencerahan. Ia mengatakan bahwa rasio tidak hanya mendorong kebajikan-kebajikan Kristen (baca: agama) tetapi berfungsi juga sebagai instrumen-instrumen erotis.

Dengan kata lain, rasio mendorong kebebasan moral. Sade melangkah jauh melampui apa yang ditesiskan Kant. Ia mempromosikan immoralisme. Karya-karyanya antara lain; La nouvelle Justine, Histoire de Juilette, 102 Journée de Sodome dan lainnya yang dapat diakses dalam http: //www.sade-ecrivain.com/.

Kini kebebasan sadian mewujud dalam kolaborasi ekspresi seni dan kapitalisme di abad modern ini dalam bentuk soft dan hard erotism. Kapitalisme memang mempunyai kekuatan infiltasi superdahsyat. Ia merasuk ke setiap lini hidup. Pun dalam urusan tubuh dan keperempuanan.

Di belahan dunia, bentuk seremoni ketelanjangan menjadi praktek industri yang mendatangkan uang. Ia menjadi lumrah bahkan sebuah keniscayaan. Ia menjadi tak terelakan bagi modernitas. Sebab, seks adalah hasrat libidinal yang berhak dinikmati oleh setiap individu.

Sigmund Freud, dalam Trois essais sur la théorie sexuelle (1905), menyatakan bahwa seks dan kematian adalah dua hasrat fundamental manusia. Seks, dalam pandangan psikoanalisisnya, berfungsi sebagai medium kesenangan (plaisir), bukan reproduksi (reproduction) yang sudah ada semenjak masa kanak-kanak.

Kapitalisme dengan anggun mengangkat martabat tubuh perempuan sebagai subjek. Perempuan menjadi pemilik atas tubuhnya. Ia menguasai tiap inci keindahannya. Ia adalah ratu en soi même. Pada saat yang sama, tubuh dilemparkan dalam sampah kapitalisme. Tubuh adalah residu sekaligus objek yang berfungsi sebagai pemuas hasrat libidinal kapitalis. Ia kehilangan kuasa atas tubuhnya. Feminitas tubuh, lagi-lagi, lumpuh melawan kapitalisme yang maha maskulin. Sorak sorai libido kapitalis menumpulkan nalar sekaligus moral. Tubuh tercabik-cabik dalam gemerlap!

Bagi sang moralis rigid, tubuh perempuan melumpuhkan rasio. Ia penyulut segala kebiadaban. Ia pembelok jalan kebenaran: jalan Tuhan. Eksotisme tubuh haram diperlihatkan. Ia wajib disembunyikan dalam ketebalan helai pakaian. Aturan pun perlu dipaksakan, supaya tak sejengkal pun tubuh memendarkan aroma kematian nalar dan iman. Bagi keduanya (kapitalis dan moralis), tubuh perempuan tak lebih dari diskursus libidinal yang berfungsi sebagai instrumen pelanggeng kekuasaan atas perempuan. Tak lebih dari itu.

Gagasan-gagasan Abad Pencerahan yang laik digaungkan adalah ide yang menempatkan tubuh dan keperempuanan pada “tempatnya yang pas”; ide emansipasi, egalitarianisme serta keseimbangan rasio dan libido. Tubuh dan keperempuanan bukan lagi dianggap sebagai simbol dan daya tarik seksual. Ia adalah wadag yang semestinya ditempatkan pada martabat yang mulia.

Keindahan perempuan tidak layak dieksploitasi dan direduksi pada persoalan libido. Ia pun tak lantas ditutupi demi ekspektasi keimanan yang semu. Sebaliknya, wacana yang perlu terus digagas adalah menciptakan norma-norma yang adil dan bermanfaat untuk semuanya sembari tetap melakukan pendidikan jender dan demokratisasi seksual yang santun dan beradab. Inilah Pencerahan humanis yang kita harapkan. Semoga!

Andar Nubowo
Andar Nubowo
Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta, Mahasiswa S3 Filsafat dan Epistemologi Ecole Normale Superieure (ENS) Lyon Perancis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.