Sabtu, April 20, 2024

Kontestasi Naratif Elite Politik

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Panggung politik Indonesia agaknya tidak pernah sepi dari kontestasi naratif di kalangan para elite politik. Menyongsong Pemilu 2024 yang tidak terlalu lama lagi, kecenderungan tersebut sangat terasa. Tentu hal ini membuat suasana politik semakin memanas.

Kontestasi naratif paling anyar adalah ucapan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada saat Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Demokrat belum lama ini. Pada saat menyampaikan pidato kebangsaannya itu, dengan berapi-api dia mengatakan, pemerintahan saat ini hanya tinggal melakukan gunting pita.

Dengan kata lain, AHY ingin menegaskan, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin saat ini, terkait dengan sejumlah programnya, sebenarnya hanya melanjutkan saja program-program pemerintahan sebelumnya. Yang dimaksud jelaslah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang notabene adalah ayahnya sendiri.

Perspektif Paradigma Naratif

Apa yang telah disampaikan AHY di atas tentu menarik untuk dianalisis, antara lain, melalui teori paradigma naratif (narrative paradigm) dari Walter Fisher (1987) yang populer dalam literatur ilmu komunikasi. Penekanan utama dari teori ini adalah bahwa manusia itu sesungguhnya adalah makhluk pencerita (hommo narrans). Dalam konteks ini, yang lebih dipentingkan bukanlah argumen yang baik, melainkan cerita yang bagus atau menarik, dari komunikator.

Pertanyaannya adalah apakah naratif yang disampaikan AHY, yakni pemerintahan saat ini hanyalah melakukan gunting pita bisa dianggap sebagai sebuah cerita yang bagus dan menarik dalam perspektif teori di atas?

Untuk menilai hal tersebut, tampaknya perlu dijelaskan terlebih dahulu salah satu konsep penting dari teori paradigma naratif, yaitu koherensi. Yang dimaksud koherensi dalam konteks ini adalah konsistensi internal dari sebuah cerita yang disampaikan, misalnya, oleh seorang komunikator politik.

Terkait dengan hal ini, terdapat tiga aspek dari koherensi yang perlu dianalisis. Pertama, koherensi struktural. Ini berkaitan dengan alur cerita dari naratif, apakah ia memiliki konsistensi sekaligus logis ataukah tidak. Dalam konteks pernyataan AHY tentang pemerintahan saat ini tinggal melakukan gunting pita, dapat dikatakan, hal itu tidak menunjukkan alur cerita yang logis.

Sejatinya, setiap presiden pastilah akan melanjutkan sebagian program atau proyek yang telah dimulai pendahulunya. Bukankah pemerintahan SBY juga melakukan hal yang sama: melanjutkan program sebelumnya yang telah dimulai presiden yang digantikannya. Dan begitu seterusnya setiap kali terjadi pergantian presiden. Maka, menjadi tidak masuk akal jika AHY melontarkan pernyataan seperti itu.

Kedua, koherensi material. Ini berkaitan dengan substansi dari naratif yang disampaikan oleh komunikator politik kepada khalayak, apakah tepat ataukah tidak. Dilihat dari sisi ini pun pernyataan AHY di atas sulit dibenarkan. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin pastilah melakukan berbagai langkah mulai dari perencanaan sampai evaluasi terkait dengan semua program sekalipun yang merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya.

Ketiga, koherensi karakterologis. Koherensi ini berhubungan dengan karakter dari komunikator itu sendiri, apakah misalnya memiliki kredibilitas yang tinggi di mata khalayak ataukah sebaliknya. Di sini, publik mungkin bisa melihat bagaimana kredibilitas AHY berkaitan dengan kritikannya. Publik bisa saja menilai AHY sendiri adalah orang yang belum memiliki pengalaman yang meyakinkan dalam bidang itu, maka bagaimana mungkin ia melayangkan kritik sedemikian rupa.

Kearifan Komunikasi

Berdasarkan perspektif paradigma naratif, pernyataan AHY bahwa pemerintahan saat ini hanya tinggal melakukan gunting pita saja memperlihatkan tindakan komunikasi yang kurang dipertimbangkan dengan baik. AHY agaknya tidak memperhitungkan bagaimana dampak dari pernyataannya tersebut.

Padahal dalam literatur komunikasi, persoalan dampak komunikasi itu menjadi sesuatu yang harus dipertimbangkan sedemikian rupa oleh seorang komunikator, lebih-lebih komunikator politik yang kerap tampil di panggung depan. Sekali ia menyampaikan pesan yang mendapatkan reaksi keras dari khalayak, maka sulit baginya untuk memperbaikinya.

Salah satu prinsip komunikasi adalah bahwa dampak komunikasi itu tidak dapat ditarik kembali (irreversible). Artinya, kalau di tahap pertama komunikator memberikan kesan buruk kepada khalayak, maka kesan tersebut akan kuat menempel di benak mereka, dan sulit sekali dihapus atau minimal diubahnya, meski sang komunikator berusaha untuk memperbaikinya.

Agaknya apa yang dilakukan AHY dapat dibaca dari perspektif ini. Pernyatannya dalam pidato kebangsaan tersebut mendapatkan reaksi yang keras, berupa perlawanan, misalnya, dari sejumlah politisi PDI Perjuangan yang notabene pendukung Jokowi. Tak pelak lagi, serangan balik terhadap AHY meluncur deras. Kasus wisma atlit di Hambalang yang mangkrak akhirnya disinggung juga. Alhasil, kegaduhan politik pun terjadi tanpa bisa dihindari.

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi seorang komunikator politik untuk memiliki kearifan dalam berkomunikasi. Kalau tidak, ia akan mudah menciptakan kegaduhan-kegaduhan politik yang sesungguhnya tidak perlu. Semoga kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi para komunikator politik.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

Iding Rosyidin
Iding Rosyidin
Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.