Sabtu, April 20, 2024

Konstitusionalisme Pemakzulan Presiden

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)

Upaya pemakzulan Donald Trump memasuki babak baru. Setelah melalui tahapan di Dewan Perwakilan Rakyat (House of Representative) yang telah dimulai sejak tanggal 18 Desember 2019.

Maka saat ini, bola panas pemberhentian Presiden Trump berada di senat. Meskipun Partai Republik yang mendukung Donald Trump, memiliki suara mayoritas di senat namun menyusul terbitnya laporan Harian The New York Times berjudul, The Room Where it Happened; A white House Memoir, membuat keadaan semakin pelik.

Tulisan itu berisi ungkapan Trump yang ingin membekukan bantuan kepada Ukraina apabila tidak mau membantu dalam investigasi  terhadap mantan Wapres Joe Biden dan putranya Hunter Biden.

Tentu keadaan tersebut dapat membuat Trump semakin terpojok dan dalam posisi yang sulit. Sengitnya perseteruan antara Demokrat dan Republik dalam kasus impeachment ini sepertinya semakin krusial tatkala Pelosi Nancy yang merupakan pentolan Demokrat di Parlemen Amerika kembali menunjukan ketidakharmonisan mereka pada saat Donald Trump menolak berjabatan tangan dalam sidang kongres dan dilanjutkan dengan adegan Pelosi merobek naskah pidato Trump.

Meski dapat ditaksir dari kemungkinan akhir dari impeachment ini akan dimenangkan oleh Kubu Republikan karena mayoritas suara senat yang dikuasainya namun terdapat hal menarik dalam menakar konstitusionalisme bangsa Amerika dalam proses pemakzulan apabila dikaitkan dengan sistem presidensial yang dianutnya dibandingkan dengan Indonesia.

Dalam konstitusi Amerika, pemakzulan (impeachment) adalah cara konstitusional untuk melakukan suksesi kepemimpinan apabila Presiden diduga telah melakukan pengkhianatan, penyuapan, atau kejahatan berat  dan pelanggaran ringan lainnya (Artikel 1 Section 2 Konstitusi Amerika).

Meski faktanya, pemakzulan presidensial agak sedikit susah dilakukan. Karena Presiden memiliki basis kekuatan politik dan tidak saling berhubungan secara langsung dengan parlemen karena selaku kepala pemerintahan, Presiden mendapatkan sumber legitimasi yang sama dengan anggota parlemen yaitu dari rakyat secara langsung dalam pemilu.

Lebih lanjut masa jabatan dari presiden bersifat pasti dan tetap (fixed term in office) dan diatur rigid dalam Konstitusi. Seperti di Amerika Serikat Presiden menjabat 4 tahun, Indonesia 5 tahun dan Filipina 6 tahun.

Berbeda dengan perdana menteri dalam negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer sangat rentan digoyahkan oleh parlemen. Lihatlah betapa jatuh bangunnya para perdana menteri Inggris dalam menghadapi isu brexit. Sehingga ke-solidit-an dan keharmonisan hubungan kelembagaan parlemen dan perdana menteri menjadi keharusan jika ingin terhindar dari mosi tidak percaya.

Fakta sulitnya menggulingkan seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidesial terkonfirmasi dari  sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat, belum pernah ada satupun Presiden yang dijatuhkan melalui proses pemakzulan.

Donald Trump tercatat sebagai Presiden ketiga yang pernah mengalami isu ini,  selain Andrew Johnson, Bill Clinton dan Richard Nixon. Pada saat itu, upaya pemakzulan Johnson dan Clinton pupus karena tidak mencapai dukungan mayoritas dari senat. Karena dalam Konstitusi Amerika Serikat, vonis atau putusan pemakzulan Presiden dibuat oleh senat sebagai lembaga yang berwenang mensidangkan isu pemakzulan.

Berbeda  dengan konsep impeachment dalam hukum tata negara Indonesia. Di Indonesia usulan pemberhentian Presiden diajukan oleh DPR  kepada MPR dengan terlebih dahulu meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR dengan dakwaan Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana  berat lainnya, atau perbuatan tercela ( Pasal 7A dan 7B UUD 1945).

Di Amerika, pemakzulan adalah pengadilan politik karena meletakan keputusan pemberhentian Presiden sepenuhnya ditangan senat. Meskipun persidangan pemberhentian dipimpin oleh ketua Mahkamah Agungnya.

Berbeda dengan Indonesia yang melibatkan MK dalam memberikan putusan terhadap usulan pemberhentian presiden yang diajukan oleh DPR. Konsep pelibatan lembaga yudikatif (baca: MK) adalah untuk mencegah adanya penyimpangan terhadap prinsip rule by the majority.

Oleh karenannya penilaian terlebih dahulu oleh lembaga peradilan merupakan wujud kristalisasi dari konsep negara hukum modern yang mengedepankan prinsip due procces of law  dan equality before the law. Sementara dalam konsep pemakzulan di Amerika lebih mengedepankan prinsip kedaulatan rakyat seutuhnya.

Lalu dapatkah konsep pemberhentian presiden yang dianut di Indonesia dikatakan lebih menonjolkan prinsip negara hukum moderen dibandingkan dengan Amerika Serikat? Maka jawabannya belum tentu juga.

Sebab, dalam proses pemakzulan di Indonesia setelah keluarnya putusan dari MK atas dugaan pelanggaran UUD maka Presiden akan melalui proses politik juga di MPR karena putusan akhir pemberhentian Presiden di Indonesia berada ditangan MPR.

Pertanyaannya apakah putusan MK terkait pendapat DPR sebelumnya tersebut bersifat mengikat (legally binding) atau justru proses perpolitikan di MPR jugalah yang kemudian menentukan seperti yang terjadi di senat Amerika Serikat. Tidak ada yang tahu sebab pasal impeachment dalam Konstitusi 1945 belum pernah digunakan.

Namun, tentunya ada sebuah poin isu konstitusionalisme penting yang dapat diambil dari kasus impeachment Trump yaitu keberadaan pasal impeachment adalah suatu keniscayaan sebagai bentuk pengawasan luar biasa dari parlemen atas kekuasaan presiden yang besar agar tidak disalah gunakan.

Oleh karena itu, presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara harus benar-benar menjalankan amanat konstitusi agar terhindar dari pasal pemakzulan.

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.