Pada saat kolom ini ditulis, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tengah menjadi pembicaraan publik karena baru saja melakukan eksekusi penertiban penduduk Kampung Pulo, Kampung Melayu, Jakarta Timur, yang setiap musim hujan menjadi langganan banjir. Karena langkah itu, Basuki muncul dalam berbagai meme di media sosial, yang secara umum mendiskreditkan dirinya.
JJ Rizal, sejarawan muda yang banyak bertutur tentang sejarah Betawi, menuduh Basuki inkonsisten, bertindak tidak adil terhadap rakyat kecil. Jika mau konsisten, jika mau bertindak adil, seharusnya yang digusur bukan hanya warga Kampung Pulo, tapi juga warga Pluit, Jakarta Utara, tempat tinggal Basuki, yang menurut Rizal, juga daerah resapan air yang seharusnya dibebaskan dari permukiman penduduk. Tapi, bukan Basuki jika menerima tuduhan begitu saja. Mantan Bupati Belitung Timur ini balik menyerang. Dan seperti biasa, ungkapan yang ia gunakan, menurut standar etika ketimuran dianggap tidak pantas.
Basuki adalah manusia penuh kontroversi. Sebagai pemimpin ia dinilai tidak layak diteladani karena kerap mengumbar kata-kata kasar, terutama untuk menyerang lawan-lawannya. Karena caranya yang dinilai tidak tepat, substansi yang disampaikannya terkadang kabur, gagal menjadi perhatian karena publik lebih fokus pada gaya bicaranya ketimbang isinya. Uniknya, sudah tahu seperti itu, Basuki tetap bergeming mempertahankan gayanya, meski sudah dihujani saran, kritik, bahkan kecaman.
Begitulah trademark Basuki saat ini. Kontroversial, pemarah, dan tidak sensitif. Ia, misalnya, tidak segan-segan mengancam memecat bawahannya yang dianggap tidak becus bekerja. Ungkapan-ungkapan yang menurut skala umum sangat sensitif, disampaikannya di muka umum dengan suara lantang. Tujuan tindakannya bagus, tapi karena dianggap sudah melampaui batas kewajaran, menjadi dianggap kurang patut.
Tapi, di luar itu semua, ada sisi lain yang kurang mendapat perhatian publik, yaitu Basuki bertumpu pada kekuasaan konstitusional. Mungkin akan banyak kalangan tidak setuju dengan ungkapan ini, tapi mari kita lihat. Dalam banyak kesempatan, Basuki menegaskan dirinya rela mati demi (menegakkan) konstitusi.
Ada dua ciri utama pemimpin yang berpijak pada kekuasaan konstitusional. Ciri pertama, lebih mementingkan kepentingan jangka panjang. Ia rela dibenci atau bahkan dicaci maki oleh sebagian kecil rakyat untuk membela yang lebih besar. Ia rela mengorbankan kepentingan jangka pendek (dipilih dalam pemilu) untuk kepentingan jangka panjang.
Pejabat yang mengutamakan kepentingan jangka pendek akan berpikir seribu kali untuk melakukan penggusuran yang memunculkan caci maki publik. Pejabat yang ingin dipilih kembali dalam pemilu berikutnya pasti akan berusaha menyenangkan semua pendukung, bahkan lawan-lawan politik. Popularitas dan elektabilitas akan lebih dipertimbangkan ketimbang hasil pembangunan jangka panjang yang mungkin baru bisa dinikmati publik pada saat dirinya sudah tidak lagi menjabat, atau bahkan sesudah dirinya meninggal.
Para elite politik saat ini, meminjam istilah Buya Syafii Maarif, banyak yang menderita rabun ayam. Hanya mampu melihat benda-benda pada jarak dekat dan tidak bisa melihat sesuatu yang jauh kecuali fatamorgana. Jika kegelapan datang (pada malam hari), tidak bisa melihat apa-apa dan berbuat apa-apa kecuali melangkah mengikuti kegelapan. Para politikus rabun ayam, jika berada di tengah-tengah para koruptor, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikuti langkah mereka.
Ciri kedua, lebih memilih dukungan rakyat ketimbang elite. Basuki, setidaknya untuk saat ini, menjadi satu-satunya kepala daerah yang berani bercerai dari partai-partai pendukungnya untuk menjadi pemimpin yang benar-benar independen. Basuki tidak ingin disandera oleh kepentingan (sekelompok elite) partai yang tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat.
Saya yakin banyak kalangan yang tidak tahu bahwa lebih memilih dukungan rakyat ketimbang dukungan elite adalah salah satu butir nasihat Niccolo Machiavelli (1469-1527) yang lebih dikenal sebagai penganjur paham politik menghalalkan segala cara. Kata Machiavelli, orang yang menjadi penguasa karena dukungan para bangsawan (elite) akan menghadapi kesulitan yang lebih besar daripada orang yang diangkat menjadi penguasa oleh dukungan rakyat, karena ia selalu dikelilingi orang-orang yang merasa sama derajatnya dan karena itu ia tak dapat memerintah atau mengatur menurut keinginannya.
Mengapa nasib Presiden Jokowi seperti sekarang ini, tidak bisa menerapkan hak prerogatifnya secara independen, karena ia “berutang budi” pada para elite (partai politik), dan mereka selalu mengelilinginya, memaksakan keinginan-keinginannya, sehingga ketentuan-ketentuan yang seharusnya dijalankan sesuai konstitusi tidak bisa dieksekusi. Maka wajar jika publik menuntut Jokowi tampil sebagai presiden, bukan sebagai “petugas partai”. Kekuasaan presiden diatur dalam konstitusi, sedangkan petugas partai bisa bertentangan dengan konstitusi.
Pada situasi seperti sekarang ini, kekuasaan konstitusional menjadi opsi penting karena bisa menjadi satu-satunya pegangan (landasan) di tengah ketidakpastian. Tanpa berpegang pada kekuasaan konstitusional, pemimpin (pada level mana pun) akan terombang-ambing oleh beragam kepentingan, terutama kepentingan mereka yang merasa berjasa mengantarkannya pada kursi kekuasaan. Kalaulah harus berpegang pada kepentingan itu, maka satu-satunya kepentingan yang harus diutamakan adalah kepentingan rakyat, karena pada kepentingan rakyat itulah kekuasaan konstitusional berpihak.