“Gus Nadir itu gak cocok jadi menag…”
“Lah, kenapa?” sahut saya di sebuah grup WA.
“Akan ramai kalau dia jadi Menag.”
“Iya, kenapa?” sahut saya lagi.
“Sebab, dia mewakili kelompok liberal,” argumen dari sana.
Saya kemudian menanggapi bahwa sebetulnya Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir itu garis keras.
“Lah, kenapa?” Kali ini seseorang di seberang sana yang bertanya kenapa.
Dulu, kata saya, ketika saya masih imut, dan Gus Nadir belum seganteng sekarang, dia pernah main ke kosan kami (teman sekelasnya di Kampus UIN Ciputat), iseng-iseng kami suguhkan segelas teh. Lalu, salah satu dari kami mengambil anggur kolesom cap orang tua dari tetangga sebelah, dan menambahkan sedikit pada tehnya tanpa sepengetahuannya.
Ketika dia menarik gelas ke mulutnya, tiba-tiba dia curiga dengan warna agak merah pada tehnya itu. “Lah, ini apa,” katanya menanyakan campurannya itu. “Minum aja dulu, nanti dikasih tahu,” sahut salah satu dari kami santai.
Ketika diberitahu, dia menolak minum teh itu. Haram.
Sehari setelah kejadian, dia menantang beberapa teman sekelasnya untuk membuktikan tentang hukum sesuatu.
Kami berani bertaruh karena mengikuti pandangan umum tentang hukum sesuatu itu. Lima lawan satu. Gus Nadir sangat percaya diri dengan taruhan itu, meski dia melawan lima orang yang baru lulus dari pesantren. Setiap orang harus membawa kitab besar. Jika ternyata dugaan kami yang benar, maka dia harus ikut kata kami, dan juga sebaliknya. Deal.
Kitab pun kami buka, semua berbahasa Arab. Kami fokus ke bab yang menjadi taruhan itu. Satu per satu kami urut perlahan dalil dan pandangan ulama di dalam kitab tersebut. Dan kami harus mengakui dia yang paling benar.
Mudah bagi kami mengakui kebenaran bukan hanya karena kitab menyatakan begitu, tetapi juga Nadir adalah anak seorang ulama ahli fikih hebat di Indonesia, yang kami sering titip pertanyaan lewat Gus Nadir.
Kembali ke grup tadi, ada juga yang bilang, Gus Nadir cocoknya jadi menteri penerangan. Saya hanya tertawa, karena seolah cocok tetapi sesungguhnya enggak cocok juga. Lagi pula kementerian itu sudah enggak ada.
Bahkan ada yang mencocokannya untuk posisi Juru Bicara Presiden urusan agama. Saya pun banyak tertawa dengan obrolan ringan ini. Cocok tetapi terlalu sempit buat Nadir, yang sekarang badannya sudah membesar tiga kali lipat karena jajan pakai dolar.
Catatan saya cuma satu atas fenomena kemarin dan diskusi posisi Gus Nadir atas tagar #GusNadirMenag ini. Pertama, entah disengaja atau tidak, citra atau persepsi terhadap Gus Nadir oleh publik adalah sosok yang konsisten melawan radikalisme. Ini dalam marketing disebut positioning.
Saya enggak yakin Gus Nadir paham ini, sehingga saya pun meyakini citra yang terbangun bukan sesuatu yang disengaja atau di-create. Itu terbentuk dengan sendirinya melalui buku terakhirnya, Islam Yes dan Khilafah No! yang menjadi rujukan dan pegangan banyak pihak, dan aktivitasnya di media sosial. Sehingga muncullah tagar #GusNadirMenag; sesuatu yang sifatnya aspiratif dari bawah, bukan sesuatu yang dibuat dari atas.
Yakni, bahwa tagar #GusNadirMenag adalah harapan dan ekspektasi publik terhadap negeri ini tentang sosok yang bisa membantu pemerintah di tempat yang tepat (menurut netizen adalah kementerian agama/menag) untuk melawan radikalisme.
Karena pemerintah sudah mati gaya, sulit untuk menyebut pemerintah sejak reformasi hingga sekarang di bawah Presiden Jokowi, melawan paham dan gerakan radikalisme. Yang ada justru makin meningkatnya kekhawatiran itu. Bahkan lembaga-lembaga survei telah mempublikasikan bagaimana paham itu sudah masuk ke kalangan pegawai negeri (ASN), dan BUMN. Bahkan Kementerian Pertahanan pun menyebut sudah masuk ke tentara, meski bilangannya sangat sedikit. Kampus pun dianggap sebagai tempat yang paling subur berkembang biaknya kelompok ini.
Upaya pemerintah untuk membatasi gerakan itu saja sudah sangat sulit. Malah justru banyak yang—baik terang-terangan maupun diam-diam masyarakat dari kelompok itu—dulu pergi ke Suriah untuk ikut ISIS. Dan juga yang merakit bom di tanah air.
Sejak reformasi dimulai, gerakan pemerintah melawan kelompok radikal ini boleh dibilang kurang behasil. Bahkan justru pemerintah terlihat mati gaya.
Nah, di tengah-tengah mati gayanya pemerintah dalam mengatasi kelompok radikal itu, mucullah sosok Gus Nadir yang, terutama lewat bukunya, Islam Yes Khilafah No, ini, membuka wawasan lebih jernih melalui sudut pandang agama itu sendiri mengenai kesalahan sebagian kelompok karena mengikuti pandangan umum semata. Seperti pengalaman lima sahabatnya itu.
Ini yang oleh netizen dianggap sebagai gerakan yang paling pas, sehingga memunculkan ekspektasi agar Gus Nadir diberikan kuasa untuk masalah itu dengan menempatkannya sebagai menag, posisi yang dianggap paling pas untuk mengeduksi masyarakat dalam rangka menghentikan gerakan Islam radikal.
Dan saya pun memandang, ekspektasi publik itu tidak berlebihan mengingat kontribusi Gus Nadir yang sangat besar melalui bukunya itu yang best seller. Dan kalau pejabat negara dan politisi tidak membaca buku itu, maka sangat aneh! Jika upaya yang dilakukan pemerintah sebelumnya tidak terasa, maka buku Gus Nadir ini justru dirasakan efektifnya.
Mungkin, kalau dihitung kontribusi Gus Nadir lewat bukunya itu, nilainya bisa melebihi dari semua bujet yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah sejak reformasi ini dimulai. Maka, sangat layak harapan masyarakat menginginkan Gus Nadir bergabung di pemerintah, meski keputusan itu ada di tangan Pak Jokowi dan mungkin saja di PBNU.
Jika Soeharto dulu meminta Habibie kembali ke tanah air untuk membantu teknologi, apa salahnya pemerintah sekarang meminta Gus Nadir untuk mengatasi radikalisme. Toh, itu tidak kalah pentingnya bagi Indonesia ke depan dibanding teknologi.
Kolom terkait:
Ada Apa dengan Kiai-Kiai Muda NU
Daripada Tsamara, Lebih Baik Gus Nadir Jadi Menteri Agama
The Dark and Bloody Side of Khilafah
Mengenang Habibie: Dari Ilmuwan-Presiden hingga Sosok yang Penuh Cinta