Sebelumnya ia hanya seorang biasa, yang banyak salah dan kerap berbuat khilaf, sebelum masuk sebuah kelompok yang dianggapnya dapat membenarkan salah—kemudian ia menyalahkan siapapun yang dianggapnya salah karena tidak sehaluan— tren pemikiran beragama penuh syahwat. Saya menyebutnya ‘kemaruk’.
Islam itu menyelamatkan. Menyelamatkan orang kafir. Menyelamatkan orang musyrik. Menyelamatkan orang munafik. Menyelamatkan para pezina, pencuri, koruptor, dan siapa pun para pendosa lainnya—kepada mereka inilah dakwah disampaikan dengan kasih sayang dan lembut hati, agar para pendosa kembali ke jalan benar.
Dakwah bukan intimidasi teologis, apalagi kekerasan teologis, yang dibungkus kata pemanis: nahi munkar. Bukan pentungan, bukan takbir keras di mesin pengeras suara toa, atau membuang sajen, apalagi membakar kitab suci dan memindah rupakan, bukankah Nabi saw menunggu Futhu Mekkah untuk memindah dan menghancurkan patung di Bait Allah.
Islam itu selamat, damai dan membahagiakan, memberi kabar gembira dan peringatan sekaligus dalam satu kemasan — menjaga harmoni dan balancing bukan berat sebelah. Menjadi tak patut jika dakwah bermakna perang, meski dalam konteks nahi munkar — paradoks jika melawan munkar dipersepsi dengan mencela thaghuts kepada rezim atau siapapun yang tidak sehaluan, atau menghina sesembahan agama lain karena dianggap melawan Tuhan. Sungguh disayangkan.
Musa dan saudaranya Harun diperintah Allah untuk menyelamatkan Firaun raja yang angkuh lagi sombong dan mengingkari Tuhan—dalam surah Thaha disebutkan: ”Pergilah kalian berdua kepada Firaun karena sesungguhnya dia telah melampaui batas, dengan kata-kata yang lembut dan santun, kemudian Allah mendoakan kepada Firaun : ‘semoga Firaun kembali ingat dan takut ‘.
Kepada rezim Firaun yang bengis dan korup saja, yang mengaku sebagai Tuhan, tetap harus berlemah lembut, apalagi kepada sesama mukmin —- sesama mengucap kalimat tauhid, hanya beda warna kulit, ras atau bahasa. Jadi tak ada alasan berkata kasar terhadap sesama iman hanya karena beda pilihan politik atau manhaj.
Kita sedang tidak dalam suasana perang. Orang kafr, munafik dan musyrik bukan musuh, tapi lahan dakwah— kepada mereka seharusnya berlaku lembah lembut, agar mereka tidak menjauh dan berbalik benci.
Kita hidup pada era ketika guru bisa dibui karena mencubit santrinya, atau suami bisa ditahan karena dianggap melakukan tindakan yang tidak menyenangkan atau suami dianggap memperkosa isteri karena istri lagi infeel.
Begitu pula dengan model dan strategi dakwah — Muhammadiyah dan NU tetap saja keren karena adaptif — buktinya Prof Haidar dan Kyai Yahya tetap elegant meneruskan risalah. Bukan Islam yang perlu di moderasi, tapi pemahaman kita yang di moderasi. Bukan Islam yang harus beradaptasi, tapi sikap keberagamaan kita yang harus terus dinamis dan berubah adaptif.
Islam sudah sempurna, Islam tak bertambah mulia dengan sikap keras dan tak berubah rendah karena sikap lembut — menyebut si fulan ahli bid’ah atau bukan aswaja karena tidak menjadi bagian dari kelompoknya adalah kekerasan teologis—- Nabi Muhammad saja tak pernah menyebut si fulan munafik, meski berbagai syarat telah terpenuhi: ‘Aku diperintah untuk melihat yang dhahir bukan menelisik isi hati’ — tutur baginda Nabi kepada para sahabat yang mendesak agar si fulan dicap munafik karena khianat.
Kenapa kasar dan keras hati— Seakan ayat ini belum pernah turun dan tak pernah dibaca: ‘Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.
Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal ‘ (Ali Imran 159).
Jadi, tak perlu ada intimidasi teologis, sebab tugas kita hanya menyampaikan risalah, bukan pemberi hidayah.