Jumat, April 26, 2024

Bagaimana Rasanya Diusir Ketika Dakwah?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Bagaimanakah rasanya dikeluarkan atau diusir ketika sedang melakukan dakwah? Tentu saja yang tahu adalah orang yang pernah merasakan momen itu, sebagaimana yang dialami oleh Haikal Hassan beberapa waktu lalu di Malang. Hassan Haikal menurut berita yang berkembang diusir dari kegiatan ceramahnya. Haikal Hassan menolak bahwa dirinya diusir.

Sementara itu, pihak yang mengusir Haikal Hassan justru mengatakan jika kota Malang tidak mau dikotori dengan radikalisme. Konon yang mengusir Haikal Hassan adalah Pemuda Pancasila. Alasan mereka mengusir Haikal Hassan adalah mereka menginginkan Malang sebagai kota damai dan tentram untuk semua agama.

Agaknya, pihak yang mengusir Haikal Hassan ini sudah mengamati sepak terjang dan materi ceramah dan dakwahnya. Karenanya, mereka tanpa ragu untuk tidak hanya memberhentikan ceramah Haikal Hassan namun juga mengusirnya.

Bagi yang aktif di dunia dakwah, pengusiran apalagi oleh komunitas yang seharusnya menjadi sasaran dakwa, hal mengagetkan dan memalukan. Lebih menyesakkan lagi, apalagi, pengusiran itu didasarkan pada argumen bahwa ceramah-ceramah atau dakwah dari seorang mubalig dan pendakwah itu dinilai provokatif dan bisa menimbulkan disharmoni di antara kalangan umat beragama.

Hal serupa dengan Haikal Hassan dulu pernah dialami oleh Felix Siauw. Mubalig yang mualaf ini pernah diusir beberapa kali oleh organisasi kepemudaan Ormas Islam. Anshor misalnya pernah mengusir Felix Siauw dari ceramahnya di Bangil Pasuruan. Peristiwa yang terjadi pada tahun 2017 ini terjadi karena Felix tidak menyepakati tiga hal. Pertama, Felix diminta mau mengakui Pancasila dan NKRI. Kedua, Felix tidak mendakwahkan khilafat dalam pengajiannya. Ketiga, Felix bersedia meninggalkan HTI, organisasi yang sudah dibubarkan pemerintah sejak 2017.

Atas tiga hal itu, Felix tidak bersedia pada ketiga kesepakatan dan dia meninggalkan lokasi ceramah. Meskipun menurut pihak yang memberikan tiga hal syarat tidak mengusirnya, namun Felix merasa terusir.

Sugik Noer lain lagi. Peristiwa ini terjadi sekitar Desember 2021. Pesantren Sugik Noer ditolak untuk dibangun di kota Malang. Sugik Noer ini berencana membangun pesantren, namun warga Malang tidak bisa menolak kehadiran pesantren yang dia mau bangun. Sugik Noer berusaha untuk menemui warga yang menolaknya. Bahkan MWCNU mencoba menjadi jembatan agar warga penolak mau bertemu dengan Sugik Noer, namun tetap saja warga menolaknya.

Khalid Basalamah juga pernah ditolak kehadirannya di Sidoarjo. Peristiwa ini terjadi pada Maret 2017. Basalamah diusir dari daerah yang mayoritas NU ini karena ceramah dia dianggap penuh dengan kebencian atas mazhab Islam lainnya. Isi ceramahnya menimbulkan reaksi dari kelompok yang dijelekkannya.

Masih banyak lagi para penceramah yang ketika menjalankan misinya justru ditolak oleh kaum yang mereka anggap harus mendengarnya. Beginilah memang yang terjadi apabila si penceramah yang tidak bisa membawa diri dan sekali lagi memiliki perbedaan dengan kelompok mainstream Islam. Tidak hanya berbeda, namun seringkali ceramah-ceramah model ini semakin melempar api panas yang mudah membakar, apalagi itu memang ditujukan untuk menyerang keyakinan tertentu.

Ada yang berpendapat jika seharunya pengusiran tidak perlu terjadi. Cukup dengan menasehati atau membuat kegiatan yang setara. Ceramah dibalas ceramah atau ngaji dibalas ngaji, perseorangan dibalas perseorangan, dan lain-lain.

Cara demikian pasti sudah pernah dilakukan berkali-kali oleh masyarakat. Ya, sebut saja masyarakat merasa terpanggil untuk menjaga wilayah mereka dari kemungkinan terjadi polarasasi akibat ceramah-keagamaan yang provokatif. Mereka menganggap cara lain dialog sudah dilakukan namun tidak efektif. Maka cari menolak kehadiran si penceramah atau mubalig inilah yang mereka lakukan. Sebagaimana hak untuk penceramah untuk hadir, maka hak masyarakat juga untuk tidak mau menerima kehadiran si penceramah atau mubalig ini.

Balik pada Haikal Hassan lagi. Pengusiran dirinya ini pasti tidak disadarinya. Biasanya pihak yang diusir menyalahkan pihak yang mengusir. Jika dia memiliki kapabilitas bernegosiasi dengan masyarakat sekitarnya maka mungkin dia bisa lanjutkan ceramahnya. Dakwah ke dalam masyarakat memang tidak mudah apalagi jika itu terjadi di wilayah di mana masyarakatnya itu memang sudah mengetahui sisi yang mereka pandang tidak cocok dengan keagamaan mereka. Mereka, masyarakat yang mengusir Hasan Haikal, pasti sudah memiliki hitungan-hitungan sendiri.

Tentu, sebelum komunitas setempat mengusir Haikal Hassan, mereka pasti sudah mempelajari lebih dahulu tentang pihak yang mereka usir. Bahan-bahan sudah mereka kumpulkan. Itu pasti. Ini artinya pengusiran Haikal Hassan sudah barang tentu adalah hal yang tampaknya sudah mereka pikirkan.

Pada sisi lain, para penceramah sebagaimana Felix, Basalamah, dan yang lain, tidak mau atau merasa tinggi hati untuk berinteropeksi pada diri mereka sendiri. Kira-kira apa yang menyebabkan mereka ditolak kehadirannya. Harusnya mereka melakukan itu dan senanisa muhasabah.

Senjata yang biasa dipakai, mereka sedang bardakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Masalahnya, mereka terkadang sudah memposisikan diri mereka lebih tinggi daripada yang diceramahinya sehingga ketika mereka terusir, sekali lagi, pihak yang disalahkan adalah mengusirnya. Bercermin nampaknya cara yang terbaik agar para pendakwah dan penceramah bisa memperbaiki konten dan materi dakwah mereka.

Terkadang para mubalig dan penceramah ini menganggap bahwa masyarakat yang didakwahinya dianggap kumpulan orang-orang yang bisa diceramahi begitu saja. Mereka anggap masyarakat harus menerima apa pun yang mereka sampaikan. Bagaimana bisa menerima jika apa yang mereka sampaikan itu bertentangan dengan keyakinan sehari-hari masyarakat yang diceramahi. Rata-rata dari pengusiran para penceramah yang provokatif itu ada latarbelakang kehidupan yang penuh toleransi dan kerukunan umat beragama.

Selama ini jika terjadi pengusiran penceramah seringkali disalahkan karena setiap orang memiliki hak untuk mengemukakan pendapat mereka di ruang publik. Jika kita tersinggung mari buat yang senada untuk menandinginya. Hal seperti ini ada benarnya, namun sekali audien atau masyarakat memiliki cara sendiri untuk menilainya. Bahkan kadang kalah tidak terduga sama sekali oleh orang atau pihak yang diusirnya.

Sebagai catatan, pengusiran tampaknya tidak pernah menjadi bahan pelajaran bagi pihak penceramah dan mubalig. Padahal setiap saat mereka berceramah mereka meminta untuk pihak yang diceramahi agar intropeksi diri. Mengapa itu sulit terjadi pada penceramah-penceramah seperti Felix, Haikal Hassan dan lain sebagainya?

Syafiq Hasyim
Syafiq Hasyim
Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.