Mari kita alihkan perhatian kita ke Inggris, yang saat ini tengah dilanda gelombang kerusuhan besar. Api ketidakpuasan telah berkobar di berbagai penjuru negeri, mulai dari Belfast di Irlandia Utara hingga Liverpool di Merseyside, Sunderland di timur laut Inggris, dan Bristol di barat daya. Di kota-kota ini, amukan massa tak terbendung, mobil-mobil dan bangunan-bangunan dibakar, polisi diserang, dan jejak kehancuran ditinggalkan di setiap sudut jalan.
Situasi ini telah menciptakan krisis besar bagi Perdana Menteri baru Inggris, Keir Starmer. Sebagai respons, ia segera menggelar rapat darurat yang dikenal dengan nama “Cobra”. Rapat Cobra, singkatan dari Cabinet Office Briefing Room A, merupakan forum genting di mana para menteri, pegawai negeri, polisi, dan pejabat intelijen berkumpul untuk merumuskan strategi menghadapi situasi darurat. Tujuan utama dari rapat ini sangat jelas: mengidentifikasi dan menghukum para perusuh yang telah menciptakan kekacauan ini.
“Setiap warga negara di negeri ini berhak merasa aman, namun yang kita saksikan justru sebaliknya: komunitas Muslim menjadi sasaran kebencian, masjid-masjid diserang, kelompok minoritas lainnya dikucilkan, salam Nazi terang-terangan dipertontonkan di jalanan, aparat kepolisian diserang, dan kekerasan brutal diiringi retorika rasis merajalela.
Oleh karena itu, saya tidak akan ragu untuk menyebut tindakan-tindakan ini dengan nama yang sebenarnya: premanisme sayap kanan jauh. Menargetkan seseorang berdasarkan warna kulit atau keyakinannya adalah ciri khas dari ekstremisme sayap kanan, dan saya tidak akan segan untuk mengungkapkannya.” demikian ujar sang perdana menyeri.
Starmer dengan tegas menyatakan bahwa para perusuh adalah preman-preman sayap kanan jauh yang dipenuhi kebencian, yang hanya mencari alasan untuk menyerang Muslim dan imigran. Dan alasan itu mereka temukan minggu lalu. Pada hari Senin, seorang remaja berusia 17 tahun melakukan tindakan kekerasan yang mengerikan di kota Southport. Ia menyerang sejumlah anak-anak di sebuah studio dansa dengan senjata tajam. Tiga gadis muda kehilangan nyawa mereka, sementara delapan anak lainnya dan dua orang dewasa harus dirawat di rumah sakit akibat luka-luka yang mereka derita.
Serangan tersebut merupakan tindakan kekerasan yang brutal dan meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat. Pelaku berhasil ditangkap di lokasi kejadian, namun karena statusnya yang masih di bawah umur, identitasnya pada awalnya dirahasiakan oleh pihak berwenang.
Namun, di era digital ini, rumor dan spekulasi mengenai identitas penyerang dengan cepat menyebar luas di dunia maya. Sayangnya, narasi yang paling banyak dipercayai adalah bahwa pelaku merupakan seorang imigran Muslim. Bagi kelompok-kelompok tertentu yang sudah lama menyimpan prasangka terhadap imigran dan Muslim, informasi yang belum terverifikasi ini menjadi pembenaran atas kebencian mereka, memicu gelombang kemarahan yang siap meledak.
Gelombang kerusuhan pertama kali pecah di Southport pada hari Selasa, tepat ketika masyarakat sedang berkumpul untuk mengenang anak-anak yang menjadi korban serangan brutal tersebut. Namun, suasana duka berubah menjadi amukan massa ketika ratusan orang dari luar kota memanfaatkan momen tersebut untuk menyerang sebuah masjid di Southport. Aksi kekerasan ini menjadi pemicu, dan kerusuhan pun dengan cepat menyebar ke wilayah-wilayah lain.
Pemerintah Inggris segera merespons dengan mengeluarkan peringatan keras agar masyarakat tidak termakan oleh informasi yang salah dan menyesatkan yang beredar luas. Dalam upaya untuk meredam situasi, seorang hakim bahkan mengambil langkah luar biasa dengan mengumumkan identitas tersangka yang masih di bawah umur. Pelaku penyerangan tersebut adalah Axel Ruda Kubana, seorang warga negara Inggris yang lahir di Wales dari orang tua asal Rwanda. Pihak kepolisian juga menegaskan bahwa tidak ada bukti yang menunjukkan adanya hubungan antara Axel dengan kelompok atau aktivitas Islam.
Namun, fakta-fakta yang terungkap tersebut tidak mampu meredam amarah para perusuh. Mereka tetap bertekad untuk melampiaskan dendam mereka. Kerusuhan meluas dengan cepat, mencapai Manchester dan Hartlepool pada hari Rabu, lalu Sunderland dan Liverpool pada hari Jumat. Pada hari Sabtu, Blackpool, Bolton, dan Belfast juga menjadi sasaran amukan massa. Puncaknya, kemarin kita menyaksikan pemandangan yang memilukan: dua hotel Holiday Inn Express, satu di Rhyl dan satu lagi di Tamworth, diserang oleh gerombolan perusuh yang beringas.
Serangan terhadap hotel-hotel tersebut bukanlah tindakan acak, melainkan memiliki motif yang jelas. Hotel-hotel ini menjadi tempat penampungan sementara bagi para pencari suaka, individu-individu yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka akibat konflik atau persekusi, dan dengan susah payah berhasil mencapai Inggris dengan harapan memulai hidup baru. Mereka tengah menunggu keputusan atas permohonan suaka mereka, sebuah proses yang rumit dan panjang.
Beberapa dari mereka mungkin akan mendapatkan perlindungan di Inggris, sementara yang lain mungkin akan ditolak. Namun, bagi para perusuh, nasib para pencari suaka ini tidaklah relevan. Mereka menolak keberadaan para pengungsi ini secara keseluruhan, tanpa mempedulikan kisah hidup dan perjuangan mereka. Serangan terhadap hotel-hotel ini adalah manifestasi dari kebencian mereka yang membara.
Realitas ini mengungkapkan sisi gelap dari masyarakat Inggris: adanya kelompok-kelompok yang dipenuhi kebencian terhadap imigran, dan khususnya terhadap Muslim. Imigran Muslim menjadi sasaran ganda dari prasangka dan diskriminasi. Situasi ini begitu parah sehingga insiden penikaman yang dilakukan oleh seorang warga negara Inggris keturunan Rwanda, yang tidak memiliki kaitan dengan Islam, telah memicu gelombang kerusuhan anti-Muslim dan anti-imigran di seluruh negeri.
Mari kita renungkan sejenak tentang skala dan cakupan kerusuhan ini. Kerusuhan pecah di berbagai kota di seluruh Inggris, dan mustahil bagi kelompok perusuh yang sama untuk berpindah-pindah dengan begitu cepat. Ini menunjukkan bahwa sentimen anti-Muslim dan anti-imigran telah mengakar kuat di berbagai lapisan masyarakat Inggris, siap meledak kapan saja ada pemicu. Mereka seperti bara api yang tersembunyi di setiap sudut negeri, menunggu kesempatan untuk membakar masjid atau menyerang tempat penampungan para pengungsi yang tak berdaya.
Menghadapi kenyataan ini, sulit untuk mempertahankan citra Inggris sebagai negara Barat yang sekuler, liberal, dan bermoral tinggi. Apakah ini benar-benar cerminan dari puncak peradaban manusia? Atau justru sebaliknya, apakah ini menunjukkan bahwa Inggris telah menjadi sarang kefanatikan, di mana kaum minoritas hidup dalam ketakutan, orang asing tidak diterima, dan multikulturalisme hanya menjadi slogan kosong yang dihancurkan oleh kekerasan?
Negara-negara Barat seringkali gemar berbicara tentang inklusivitas, seolah-olah mereka adalah pengajar utama tentang nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan segala bentuk kebaikan lainnya. Namun, gambaran ideal ini ternyata hanyalah sebuah topeng tipis yang menutupi realitas yang jauh lebih kelam. Ketika kita menggores permukaannya, kita akan menemukan bahwa kebencian, prasangka, dan diskriminasi masih mengakar kuat di dalam masyarakat mereka.