Keempat, Suriah juga bertetangga dengan Lebanon. Negeri kecil di pinggir Mediteranea ini juga selama puluhan tahun tenggelam dalam berbagai perang, kecil dan besar, domestik dan eksternal. Meski kecil dalam skala, negeri ini telah mengalami perang saudara yang nyaris memusnahkan negara bangsa tersebut. Tidak kurang dari seperempat warganya tewas, luka-luka atau mengungsi.
Luka akibat perang saudara itu juga hingga kini terus terasa, mengakibatkan wilayah ini juga banjir dengan milisi bersenjata. Di Lebanon, orang biasa saja melihat satu kelompok berperang di jalan dengan kelompok lain, menggunakan senjata ringan sampai senjata berat. Di titik-titik persinggungan yang dalam bahasa Arab disebut dengan khuthuth tamas itu seringkali pecah kontak senjata yang menewaskan banyak orang.
Pertikaian bersenjata ini bahkan sudah menjadi perkara yang biasa saja. Di daerah Jabal Muhsin yang berbatasan dengan Tripoli, misalnya, satu kubu kerap menghantam kubu lain menggunakan senjata anti pesawat tempur peninggalan era perang saudara. Dan hal yang sama biasa terjadi di wiayah lain.
Walhasil, di Lebanon banyak negara dalam negara, yang masing-masing punya pasukan dan persenjataan. Inilah salah satu negara unik di kawasan Timur Tengah yang sekaligus jadi barometer situasi geopolitik secara lebih luas.
Kelima, selain bertetangga dengan eks penjajah (Turki), penjajah aktif (Israel), dan Lebanon yang punya situasi rumit, Suriah juga bertetangga dengan Irak yang sejak tahun 1980-an berperang dengan sekutu geopolitik Suriah, yakni Iran. Lalu pada tahun 1991 menyerang Kuwait dan berperang melawan hampir seluruh negara Arab, termasuk Suriah sendiri, dengan dukungan Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
Puncaknya pada 2003, Amerika Serikat menginvasi Irak secara total. Keadaan Irak pun porak-poranda. Kekacauan di Irak berakibat wilayah perbatasan seperti tidak terkontrol. Pengungsi mondar-mandir dengan membawa senjata keluar-masuk dua negeri ini.
Situasi Irak yang kacau balau itu semula agak dimanfaatkan oleh sebagian anasir intelijen dan militer Suriah untuk memperlemah posisi AS di Irak. Mereka ikut melatih gerakan perlawanan dan menjual senjata dengan imbalan minyak dan barang-barang berharga lain. Inilah yang kemudian menyebabkan mudahnya beberapa kelompok ekstremis menginfiltrasi wilayah perbatasan.
Maka, pada akhir 2011, ketika Suriah mulai terseret dalam perang internal, kelompok-kelompok ini memiliki basis di wilayah perbatasan Irak dan Suriah.
Keenam, inilah kenyataan yang paling penting. Pemerintah Suriah sebenarnya tidak pernah dianggap sebagai rezim yang bersahabat oleh AS dan negara-negara Barat. Karena itu, AS menekan Suriah dengan berbagai cara, termasuk puncaknya dengan menggunakan oposisi bersenjata.
Kenyataan inilah yang menyebabkan begitu mudahnya pasukan Free Syrian Army mendapat legitimasi politik internasional, suplai logistik, akses dana, data intelijen dan fasilitas-fasilitas lain dalam menghadapi rezim Bashar Assad. Tidak hanya itu, presiden AS dan banyak presiden negara Barat lain terang-terangan telah meminta Assad turun dari jabatan. Artinya, setidaknya sejak 2011, apa yang disebut sebagai komunitas internasional itu telah secara konfrontatif mengumumkan perang terhadap Assad.
Kenyataan terakhir ini, misalnya, tidak pernah terjadi untuk kasus Indonesia. Setidaknya di periode ini. Sampai sekarang tidak ada negara mana pun di dunia, apatahlagi AS dan Barat, yang terang-terangan mendukung apa yang disebut dengan regime change dan menuntut presiden Indonesia mengundurkan diri.
Presiden Indonesia belum sampai seapes Assad yang nyaris diminta turun oleh banyak kepala dunia—mempertontonkan kegagalan lembaga PBB yang salah satu landasan utamanya adalah menolak intervensi terhadap kedaulatan negara lain.
Ironisnya, malah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tidak langsung pernah meminta Assad untuk melepas mandat yang diraihnya dari rakyatnya sendiri. Walhasil, dengan menengok semua fakta dan situasi objektif di atas, agak sulit kita menganalisis kemungkinan Indonesia jadi seperti Suriah. “Bahan-bahan baku” Suriah tidak ada di Indonesia. Dan kalaupun Indonesia kacau balau atau pecah berantakan, maka kita tidak akan bisa membayangkan bakal seperti Suriah.
Indonesia pernah mengalami beberapa kali konflik suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang cukup serius, seperti di Ambon, Sampit, Poso, dan sebagainya. Kita bisa menyebutnya dengan konflik komunal, konflik yang merujuk pada situasi kekerasa etnik, konflik non-negara, konflik rasial massal, antar-agama, dan kelompok minoritas rentan.
Tapi, karena fakta objektifnya Indonesia ini negara kepulauan, maka konflik-konflik komunal itu tetap terisolir. Ia tidak mudah merambat seperti dalam situasi Suriah yang dikepung oleh negara-negara tidak bersahabat dan diincar oleh negara adidaya AS. Kasus konflik di Suriah sejenis perang saudara nasional yang melibatkan negara bahkan semesta global.
Jadi, jika kemudian ada beberapa ratus atau ribu orang Indonesia mengibarkan bendera ISIS, pengibaran itu patut dipantau dan diselidiki. Negara tidak boleh abai. Tapi pengibaran bendera seperti itu di Indonesia tidaklah mungkin bergaung seperti di Suriah. Indonesia punya situasi objektif yang demikian berbeda dengan Suriah—wong dengan Malaysia saja kita cukup berbeda, kok.
Singkatnya, mungkinkah Indonesia mengalami nasib seperti Suriah? Jawabannya: mungkin. Sama dengan kemungkinannya besok pagi sebuah meteor raksasa menabrak teluk Jakarta. Sebagai suatu kemungkinan, nasib itu tetaplah mungkin. Tapi, kemungkinan yang seperti itu tidak lagi perlu terlalu kita analisis karena dasar-dasar objektifnya tidak terlihat.
Janganlah kita terjebak menubuatkan situasi Indonesia seperti Suriah sampai ia menjadi suatu self-fulfilling prophecy. Yakni nubuat yang secara langsung ataupun tidak langsung merealisasikan dirinya akibat kandungan nubuat itu sendiri perlahan-lahan mengubah kepercayaan dan perilaku kita.
Dalam contoh ini, kita melihat siapa saja yang sedang takbir layaknya orang ISIS yang kita saksikan di video-video kekerasan ISIS di Suriah atau Irak. Kita lalu membenci orang itu dan berusaha menghabisinya. Maka, orang itu bereaksi dan melawan balik sampai akhirnya kita terlibat percekcokan dan percekcokan itu kita perluas dari antara pribadi menjadi antara kelompok, maka… Suriah benar-benar di depan mata kita.
Masih ada banyak kemungkinan lain yang lebih dekat yang wajib kita risaukan seputar nasib Indonesia. Kemungkinan yang lebih dekat dan nyata adalah terjatuhnya sebagian besar anak bangsa ke dalam jurang kemiskinan yang kian jeluk, saling membenci akibat ketimpangan sosial ekonomi yang kian menganga, disintegrasi menjadi negara-negara kecil lantaran rasa keadilan yang terus terusik dan sebagainya.
Jadi, jangan sampai elite bangsa kita rabun dan melihat bayang-bayang di kejauhan tapi lupa dengan sosok yang di depan mata. (Selesai)
Baca