Kamis pekan lalu (21 April 2016), banjir kembali menyerbu Jakarta dan sekitarnya. Sekali lagi Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) menjadi sorotan. Tidak hanya Jakarta yang tergenang karena banjir, tapi Bekasi juga kewalahan menghadapi sang air bah.
Banjir akhirnya menjadi masalah klasik yang tidak ada henti-hentinya, di mana salah satu penyebab utamanya adalah kurang optimalnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait hal ini. Banyaknya kepentingan politik di tingkat pusat dan daerah diduga merupakan salah satu sebab utama kurang baiknya koordinasi tersebut.
Tata kota yang kurang baik bisa menjadi pangkal masalah banjir di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi. Pemerintah sudah bertindak bijak dengan melakukan moratorium reklamasi Jakarta, salah satunya karena berkaca dari reklamasi Teluk Benoa di Bali yang ternyata sudah terjadi masalah lingkungan seperti abrasi pantai.
Pada Desember lalu, Ahok pernah merilis statemen bahwa pompa banjir di Jakarta sudah siap, tapi ternyata tidak berdaya juga menghadapi sang air bah. Di sisi lain, Pemerintah Daerah Jawa Barat juga tidak optimal menghadapi banjir. Gubernur Aher juga menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi banjir di Bekasi hanyalah dengan meninggikan tanggul.
Menurut kabar terakhir, banjir di Jakarta Utara terjadi karena pompa air tidak diaktifkan tanpa sebab yang jelas. Ahok sedang memanggil Walikota Jakarta Utara untuk klarifikasi mengenai hal ini.
Mengapa banjir menyerbu terus menerus? Ada beberapa sebab, yang sesungguhnya tidak sepenuhnya kesalahan pemerintah Jakarta maupun Jawa Barat. Silakan cermati pembangunan villa di Puncak/Bogor, kebiasaan membuang sampah sembarangan, daerah resapan air yang semakin menghilang di Jakarta dan Jawa Barat, penyedotan air tanah tanpa henti, pendangkalan sungai, dan disfungsi drainase.
Pembangunan villa atau konstruksi apa pun di Puncak, yang berpotensi merusak lingkungan, memang perlu dimoratorium. Kemudian, hilangnya daerah resapan air bisa ditahan dengan melakukan reboisasi secara komprehensif. Sementara itu, kebiasaan membuang sampah sembarangan bisa dilakukan dengan penyuluhan secara kontinyu dan optimalisasi wacana lingkungan hidup pada kurikulum sekolah.
Yang sulit dikontrol dengan optimal memang penyedotan air tanah. Sebab, jika warga atau infrastruktur apa pun di Jabodetabek tidak memiliki akses pada air PAM, otomatis mereka akan menyedot air tanah. Cakupan air PAM memang harus diperluas, sehingga daerah yang paling terpencil sekalipun bisa mendapatkan akses ke air bersih.
Disfungsi drainase juga menjadi masalah yang amat memprihatinkan. Kasus penumpukan kabel di drainase Jakarta beberapa waktu lalu, misalnya, membuka mata kita akan masalah ini.
Namun, semua usulan perbaikan ini tidak akan pernah optimal kalau penanganan banjir di Jabodetabek masih bersifat “multipintu”. Seharusnya bersifat satu pintu, sehingga koordinasinya jauh lebih mudah dilakukan.
Almarhum Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta, pernah berujar bahwa sejatinya DKI Jakarta dan sekitarnya berada dalam satu satuan kordinasi megapolitan, tanpa menjadi provinsi atau daerah khusus baru. Mantan Gubernur DKI Sutiyoso bahkan pernah mengulangi ide ini.
Jadi, menurut wacana ini, DKI Jakarta, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, maupun sekitarnya akan dikoordinasikan oleh seorang menteri kordinator. Dengan demikian, tidak ada kebijakan dari pemda atau pemkot yang tumpang tindih atau merugikan satu sama lain. Jika ide ini dilaksanakan, kebijakan terkait pencegahan dan penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya akan lebih mudah dilakukan karena melalui satu pintu.
Konflik antar daerah akan lebih mudah diselesaikan karena semua kata akhir ada di tangan menteri kordinator tersebut. Hanya saja sentimen kedaerahan yang salah kaprah bisa menghadang wacana ini.
Bang Ali juga pernah menyatakan, kebijakan megapolitan bukan berarti sebagian wilayah Jawa Barat akan dilebur ke DKI Jakarta, namun hanya dimasukkan dalam satu lingkup koordinasi. Pada akhirnya harus dipikirkan bahwa eksekusi kebijakan baru dapat dipastikan ada biaya politiknya. Jika membuat kementerian baru, diskusi serius antara pemerintah dan DPR untuk menggodok aspek perundangannya tentu diperlukan.
Belum lagi membahas anggaran yang diperlukan dalam RAPBN. Walaupun demikian, hal ini sesuatu yang seyogianya dilakukan. Jika koordinasi banjir Jabodetabek dibiarkan melalui multipintu, biaya politik yang dikeluarkan akan jauh lebih besar. Akan terlalu banyak “tangan” yang terlibat dalam proyek mitigasi bencana yang bisa mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.
Yang jelas, konsep megapolitan ini sudah berkali-kali disuarakan dan kinilah saatnya pemangku kebijakan di negeri ini lebih serius mempertimbangkan dan mewujudkannya.