Tahun 2001 saya bertemu dengan seorang pelukis dari negeri Tiongkok yang namanya belum terlalu tenar. Karya-karyanya dapat digolongkan sebagai lukisan realistik, dalam arti mengambil objek dari kehidupan nyata dan dilukis dengan teliti untuk mengkopi kenyataan itu seakurat mungkin.
Agaknya ia tak mau kalah dengan juru foto yang mengabadikan kenyataan sebagaimana kenyataan itu mewujud apa adanya. Bahkan, di sana-sini, detail dalam lukisannya melebihi akurasi kamera si juru foto. Rerinci yang digarapnya melampaui kenyataan itu sendiri. Eksekusi hiperrealis-nya telah membuat kenyataan yang biasa-biasa itu tampak luar biasa.
“Itulah keindahan karya saya,” ujarnya datar.
Tentu saya kagum pada ketekunannya melukis dengan teknik semacam itu. Satu lukisan memakan waktu tiga hingga lima bulan, bahkan ada yang rampung satu tahun. Saya bertanya apakah semua karyanya ia kerjakan sendiri dan ia menjawab dengan bangga, “Tentu. Tanpa bantuan orang lain.”
Tahun 2008 saya bertemu lagi dengannya, dan karena namanya sudah ngetop, mau tak mau, ia harus membuat lebih banyak karya untuk memenuhi permintaan pasar maupun undangan pameran yang datang bertubi-tubi. Karena itu, ia terpaksa menggunakan jasa orang lain, yakni mereka yang sering disebut sebagai artisan.
“Dengan teknik melukis seperti ini, mustahil saya bekerja sendiri,” ujarnya.
Ia juga bercerita bahwa saat itu di Tiongkok, khususnya di Beijing, banyak artisan dengan skill hebat, bahkan lebih hebat ketimbang seniman yang sudah mapan. Ada ribuan, bahkan belasan ribu, artisan, baik yang berstatus mahasiswa akademi seni atau mereka yang sudah lulus maupun kaum otodidak. Pokoknya, artisan dengan teknik melukis apa pun, semua tersedia.
Anda ingin membuat lukisan sehebat karya Raphael, Vermeer, Rembrandt, Goya, Monet, van Gogh, Renoir, Klimt, de Kooning, Pollock, Basquiat? Ahai, gampang belaka. Anda bisa menunjuk objek tertentu, membayangkan lanskap, membuat cerita, menyusun tema dan gagasan ini-itu, lalu meminta para artisan itu melukisnya. Dan setelah Anda membayar ongkosnya, Anda tinggal menandatangani dan jadilah lukisan itu karya Anda.
Tentu, peran artisan semakin lazim dan penting di bidang seni patung. Dan pada zaman seni kontemporer ini, sungguh banyak seniman yang membuat karya dengan bantuan orang lain, bahkan keseluruhannya diwujudkan oleh artisan. Mereka menyusun benda-benda yang sudah jadi, sebagian benda-benda bekas pakai yang dirakit-rangkai menjadi karya baru lalu ditandatangani atas namanya. Itulah karya seni.
Membuat karya dengan jasa artisan itu tak jauh beda dengan model magang. Sejak dulu seniman yang belum punya nama biasanya dipekerjakan oleh seniman besar yang sedang menggarap suatu proyek. Selain mendapat upah, si seniman magang dapat mengasah tekniknya sekaligus menyerap “ilmu” dari sang bos, termasuk memperluas jaringan yang kelak sangat berguna dalam karirnya. Bahkan Leonardo da Vinci di masa mudanya juga menjadi seniman magang semacam itu.
Lazim pula para kawi dan pujangga di Nusantara zaman dulu yang menggubah karya untuk dipersembahkan kepada raja atau penguasa pelindungnya. Sang pujangga bersuka cita ketika karyanya didaku sebagai karya sang pelindung. Boleh jadi, wibawa dan pengaruhnya akan jauh lebih besar jika disebarluaskan sebagai karya sang raja ketimbang atas nama si pujangga.
Di lapangan sastra Indonesia modern beredar kisah tentang karya penulis muda yang lahir berkat campur tangan penulis senior. Pada bagian-bagian tertentu karya itu sepenuhnya ditulis oleh sang mentor. Selain itu, kian banyak penulis pelaksana yang disebut “ghost writer”. Pun penulis “bayaran” yang membuat karya atas nama si bos.
Model belajar cantrik-menyantrik juga bukan hal yang baru. Seorang pelukis istana zaman Soekarno memiliki sanggar dengan banyak murid dan sebagian dari murid-muridnya itu ada yang memiliki teknik jempolan. Beberapa karya sang murid kemudian ditandatangani oleh sang guru dan si murid sangat bahagia. Dalam hal ini sang guru harus bermurah hati memenuhi harapan si murid. Belakangan orang kian sulit menentukan mana hasil kerja sang guru dan mana karya si murid.
Hubungan guru-murid atau patron-klien itu terkadang seperti hubungan bapak-anak. Bahkan hubungan bapak-anak secara biologis. Pada zaman kolonial tersebutlah penulis Willem van Hogendorp dan anaknya, Dirk van Hogendorp. Willem si bapak terkenal dengan novel ”Kraspoekoel” dan si anak Dirk van Hoogendorp kemudian menyadur novel ayahnya menjadi naskah teater lalu dipentaskan sebagai karyanya sendiri. Setelah itu lahir sang cucu, Carel Sirardus Willem van Hogendorp yang dikenal dengan novelnya, ”Soelatrie”. Selain menjadi penulis, si cucu juga pernah menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Sidik Jari
Kendati terdapat berbagai modus penciptaan karya seni, ternyata berlaku kesepakatan baku bahwa keberadaan suatu karya niscaya melekat sebagai identitas, semacam sidik jari seniman sebagai kreator. Di situ otentisitas hanya terwujud melalui upaya si pencipta–dalam istilah pelukis S. Sudjojono disebut “jiwa kétok” atau jiwa nampak diri pribadinya. Karya adalah buah tangannya sendiri, di situ saat itu, dan karenanya tak tergantikan oleh apa pun.
Jiwa kétok sepenuhnya milik sang seniman dan hal itu tidak mungkin dicampur tangani atau diambil oper pihak lain. Bahwa goresan cat dan kuas di atas kanvas oleh Sudjojono diyakini pasti berbeda wataknya dengan sapuan seniman lain, apalagi oleh kaum artisan. Di sini peran pihak lain sama sekali tidak berlaku.
Tapi sebagian orang justru meyakini bahwa pewujudan karya dapat melibatkan pihak lain di bawah kuasa-cipta sang seniman. Mereka adalah semacam kepanjangan tangan atau perangkat teknis yang diperlukan dalam proses penciptaan. Tak lebih dan tak kurang.
Dalam konteks semacam itulah apa yang disebut otentisitas dapat ditetapkan. Yakni otentisitas yang memang lahir dari rahim seni modern, terutama terkait proyek penemuan individu sebagai subjek kreator yang otonom. Dari situ kemudian muncul berbagai modus produksi teks berikut fungsi-fungsi lainnya, di antaranya kerja editor dalam mewujudkan karya sebagai jiwa kétok si penulis. Sungguh banyak kisah tentang tulisan hebat yang lahir berkat kerja editor yang hebat pula.
Sedangkan di luar seni modern, modus penciptaan seni sering tak berkaitan dengan pengukuhan subjek semacam itu. Dalam jagat (sastra) lisan, misalnya, sidik jari kepengarangan tidak selalu relevan karena yang dipentingkan adalah wujud dan fungsi narasinya dan bukan pengarangnya. Seandainya ia muncul dari kumparan kabut atau dari gerumbul semak-semak tempat genderuwo bercokol, dibuat oleh satu batang manusia atau digubah secara kolektif dan turun-temurun, hal itu tidak ‘ngaruh’ pada status narasinya. Demikian pula dalam jagat mitologi dan sebagainya dan sebagainya.
Ihwalnya menjadi kian luas ketika karya sebagai jiwa kétok itu disebar luaskan atawa dimediasikan kepada khalayak atawa dipergadangkan di pasar narasi karena di situ tercakup berbagai “kontrak sosial” di luar teks, termasuk di dalamnya perkara hak cipta dan sebagainya. Secara inheren terdapat tanggung jawab ini-itu bagi si subjek pencipta atas karya yang digubahnya.
Sebagian orang tentu ingat kasus cerpen “Langit Makin Mendung” karya Ki Panjikusmin yang diterbitkan di majalah Sastra pada tahun 1968. Oleh sebagian kalangan, cerpen itu dianggap menista agama Islam sehingga HB Jassin sebagai kritikus sekaligus pemimpin redaksi majalah tersebut harus menjalani proses pengadilan hingga kemudian divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara selama satu tahun.
Patut dicatat bahwa Ki Panjikusmin adalah nama samaran dan sampai akhir hayatnya HB Jassin tetap merahasiakan jati diri sang pengarang. Segala konsekuensi lanjutan dari teks sebagai bagian dari sidik jari pengarang telah diambil alih oleh HB Jassin. Di situ berlaku semacam konvensi-konvensi formal yang terkait susunan otoritas berikut pembagian fungsi dan tanggungjawab yang kait-mengait. Pun pola distribusi “kuasa” yang bermacam-macam pula.
Permainan
Itulah hukum-hukum yang berlaku umum dalam jagat sastra atau dunia tulis-menulis di era modern. Namun, ada pihak-pihak yang ingin menggoyang konvensi semacam itu dan beranggapan bahwa karya (dalam hal ini suatu teks) bukan lagi sidik jari individu yang otonom, melainkan medan bebas untuk melakukan permainan bersama. Narasi adalah wahana berasyik-masyuk di mana banyak subjek dapat berpartisipasi guna mendapatkan kenikmatan estetik tertentu.
Mereka hendak merelatifkan keyakinan pada proses penciptaan karya yang merujuk pada pengalaman estetik yang bersifat personal dan sering kali dikaitkan dengan “ilham” yang diperoleh sang seniman pencipta sebagai individu genius. Dan hubungan antara karya dengan pembacanya sebagai proses resepsi juga berada dalam kerangka kekhususan kaidah estetik yang berpusat pada sumber keindahan yang dipancarkan karya.
Namun, proses penciptaan seni tak harus dipahami sebagai pengalaman khusus semacam itu, melainkan sebagai bagian dari orkestrasi kreatif untuk memainkan berbagai kemungkinan artistik yang dimiliki pihak-pihak yang terlibat. Kepekaan artistik individual digeser menuju kepekaan bersama dalam konstelasi yang terus meluas tiada akhir.
Seorang seniman (atau penulis), hanya salah satu partisipan dalam proses penciptaan pengalaman estetik bersama tersebut dan bentuk narasi yang dimainkan adalah wahana sekaligus hasil orkestrasi berikut elemen-elemen penopangnya yang arahnya tidak ditentukan oleh satu subjek saja, melainkan dikendalikan oleh jalannya orkestra itu sendiri.
Seorang penulis boleh jadi seorang mentor atau guru dapat menyodorkan sejumlah gagasan, kisah, potongan kisah, ide ini-itu, sejumput narasi atau fragmen-fragmen untuk direspons atau dikembangkan, dibongkar pasang dan dilanjutkan oleh murid-muridnya, lalu disambut kembali oleh sang guru dan disodorkan lagi kepada pihak lain kemudian diolah dan di-rekreasi menjadi narasi baru lalu disebarluaskan dengan cara tertentu sehingga proses tersebut terulang kembali. Begitu seterusnya.
Tentu model permainan semacam itu membutuhkan medan literar (literary field) lain yang berbeda dengan medan literer pada umumnya. Yakni suatu medan yang tak bertumpu pada kesepakatan-kesepakatan umum berikut “kontrak-kontrak” sosial turunannya beserta konstelasi dan fungsi otoritas yang ada. Pun moda penyebaran, mediasi dan “perdagangan” narasi yang cair dan bebas batas. Di situ jiwa kétok dan sidik jari peserta kadang diperlukan tapi pada saat lain menjadi tak relevan lagi.
Kasus heboh cerpen berjudul “Bidadari Bunga Sepatu” yang diterbitkan di Jawa Pos (Minggu, 6 Juni 2021) atas nama A.S. Laksana, namun kemudian si pengarang secara terbuka mengumumkan bahwa cerpen itu bukan karyanya, boleh jadi adalah contoh dari upaya menggelar medan permainan semacam itu.
Si pengarang mengatakan bahwa ia sebagai guru hanya menyodorkan paragraf awal untuk kemudian dikembangkan oleh muridnya yang bernama Afrilia sebagai pengarang yang sebenarnya. Sang guru jugalah yang mengedit cerpen tersebut lalu mengirimkan ke Jawa Pos atas namanya dengan persetujuan sang murid.
Ya. Sebagai upaya menggelar medan permainan, hal itu telah gagal. Jejaring yang dilemparkan si nelayan jatuh di kolam yang salah. Bagaimanapun, Jawa Pos adalah media massa yang hidup dalam konvensi-konvensi yang terikat “kontrak” sosial, hukum, ekonomi, dan kultur umum dalam jagat media berikut wibawa dan wewenang redaksional yang berlaku umum pula. Ia ternyata bukan instrumen atau organ permainan dalam suatu orkestra narasi bebas batas.
Terlepas apakah mekanisme kerja redaksionalnya berlangsung dengan “baik dan benar”, sang media kemudian menolak keras dijadikan medan permainan narasi semacam itu. Lebih ekstrem, Jawa Pos mengumumkan maklumat bahwa apa yang telah dilakukan si pengarang tak lain adalah praktik “plagiarisme” dan mencabut cerpen tersebut dari status penerbitannya.
Respons si penerbit dan silang sengketa di masyarakat sastra atas kasus tersebut menunjukkan semacam tubrukan antara motif atau moda penciptaan karya sebagai medan permainan narasi yang bertentangan dengan proses mediasinya ke medan umum tempat narasi tersebut hidup. Di situ tersedia banyak alasan (yang bermutu atau tidak) untuk menganulir sidik jadi pengarang.
Sekali lagi, perkaranya bukan lagi apa itu “status kepengarangan” di tataran proses penciptaan, melainkan amalan umum sebagai konsekuensi lanjutan dari sidik jari yang melekat pada pengarang sebagai pencipta narasi. Dalam konteks yang berbeda, konsekuensi itu pernah terjadi pada HB Jassin yang mengambil alih sidik jari Ki Panjikusmin.
Dunia Lain
Siapa pun mafhum bahwa dalam dunia seni, termasuk bidang kepengarangan, diperlukan penguasan teknik yang harus dilatih terus menerus. Jika di Eropa model pelatihan semacam itu tak begitu populer, di Amerika Serikat justru dibuka banyak sekolah menulis secara formal.
Di Eropa malah lebih banyak sekolah sepak bola yang kemudian disebarkan ke benua lain. Dari akademi-akademi itu lahir maestro-maestro seperti Diego Maradona. Metode dan materi latihannya sama dengan pelatih yang sama pula, bahkan teknik yang diajarkannya pun tak banyak berbeda. Tapi ternyata sang maestro dapat memainkan bola lebih hebat ketimbang pemain lain.
Seorang Dostoesvsky, Marcel Proust, Fernando Pessoa, Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan Octavio Paz, adalah master-master yang memang telah menguasai tekniknya sendiri hingga dapat menciptakan semacam “kosmos” yang unik dan tidak dapat diciptakan orang lain.
Dengan penguasan teknik yang mumpuni mereka dapat mendayagunakan kecerdasannya dalam mengolah segala potensi bahasa hingga melampaui perangkat teknisnya itu. Dalam menciptakan “dunia lain” itu, satu dua orang menggunakan banyak nama, tapi ternyata bukan untuk menggelar wahana permainan narasi bebas batas.
Bermula dari organ tunggal, mereka kemudian menciptakan semacam orkestra narasi yang terus hidup di kancah literer umum. Itulah sidik jari sebagai jiwa kétok yang sebenar-benarnya.