Minggu, Oktober 6, 2024

Pers dan Media Era Post Truth: Melampaui Cover Both Side

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.

Dahulu, kecepatan persebaran informasi terbilang sangat lamban karena hanya bergerak lewat mulut ke mulut, surat ke surat, dan koran ke koran. Pada era ini pula, media cetak masih memegang peranan penting guna penyebarluasan informasi—selain radio. Baru semenjak munculnya terobosan pada sektor telekomunikasi, masyarakat berhasil melampaui tembok-tembok batasan akses tersebut.

Sepertinya kita harus sedikit banyak berterima kasih pada globalisasi karena mampu mengubah tatanan kehidupan masyarakat menjadi lebih mudah lewat teknologi—di luar perubahan pola mode produksi sehingga terciptanya kelas sosial antara pemilik modal dan buruh. Hal tersebut kita kenal sebagai proses modernisasi.

Salah satu ciri dari modernisasi adalah efisiensi. Teknologi berhasil membuat masyarakat tidak perlu lagi “repot-repot” pergi ke balai desa untuk sekedar menonton televisi, ataupun pergi ke pusat kota hanya untuk membeli koran dan majalah. Hanya lewat smartphone dan jaringan internet, informasi seluruh dunia rasanya telah berada pada satu genggaman. Sebuah kemajuan bukan?

Perlukah Media Berpihak?

Namun di balik kemajuan, selalu terdapat konsekuensi pada setiap perubahan—sebagai harga yang harus dibayar. Poin yang harus digarisbawahi pada titik ini adalah: seberapa besar tingkat ketertarikan masyarakat pada media cetak semenjak ada internet? Sebab, masyarakat modern lebih tertarik pada informasi yang sifatnya definitif, singkat, dan cepat—jenis informasi yang banyak kita temui pada kebanyakan media sosial mau pun media update—ketimbang informasi yang sifatnya analitik dan teoritik alias ngejlimet. 

Percepatan penyebaran informasi yang dihasilkan melalui internet tentu mempengaruhi kualitas media yang saling berkompetisi—menjadi yang paling update. Belum lagi tuntutan redaktur atas informasi yang hype di masyarakat walaupun gak penting-penting amat untuk dibahas: semua dilakukan atas nama rating. Jika gerak media hanya sebatas menuruti permintaan “pasar”, maka kegiatan membaca berita adalah sebuah omong kosong.

Padahal, pers sejatinya memiliki fungsi untuk mengedukasi masyarakat dengan upaya menyuguhkan informasi-informasi yang berbobot. Mulai dari data yang didapat dari hasil observasi lapangan, serta bahan-bahan riset untuk dikaji lebih lanjut. Singkatnya, terdapat “aturan main pada diri seorang jurnalis dalam menulis sebuah berita—sehingga produk berita yang dihasilkan memiliki informasi yang lebih kredibel. Bukan lagi berita sembarang tulis seperti sekedar saduran pidato para pejabat publik yang tanpa disertai analisa. Jenis artikel yang terdapat pada berbagai macam media kacangan.

Dalam menulis berita, jurnalis juga dituntut untuk secara proporsional mengambil sudut pandang dalam menganalisa suatu fenomena. Bahasa lainnya adalah cover both side. Artinya, berita harus berimbang sehingga fungsi informasi dalam sebuah berita dapat tersampaikan dengan baik. Namun konsep ini juga pada akhirnya menimbulkan sebuah polemik: cover both side dianggap menjadi bukti netralitas pers.

Padahal, pers yang memiliki fungsi untuk menyampaikan kebenaran tidak mungkin bisa menjadi sekedar netral. Sebab, kebenaran tidak mungkin kabur—ia tidak terlepas dari realitas. Maka dari itu pers haruslah berpihak. Keberpihakan pers harus ditujukan untuk kepentingan masyarakat, atau seminimalnya kepada kebenaran: pers harus sedia berkata salah pada setiap hal yang tidak benar. Hal ini yang membuat sekedar cover both side saja tidaklah cukup.

Belum lagi tantangan independensi dalam tubuh pers. Menjadi independen—tidak terikat oleh kepentingan mana pun, adalah sesuatu yang wajib dipegang teguh oleh pers. Masalahnya, komodifikasi yang merambat pada sektor media menyebabkan perubahan orientasi pada fungsi pers itu sendiri—yang tidak lagi bertumpu pada fungsi edukasi masyarakat.

Tentu kita ingat bagaimana persaingan berbagai media dalam memberitakan informasi terkait calon presiden Republik Indonesia pada tiap-tiap masa kampanye pemilu. Pemberitaan ini tentu memiliki bingkai yang berbeda-beda pada setiap calon—tergantung media apa dan siapa calonnya. Fenomena tersebut menjadi wajar mengingat keberpihakan para pemilik media yang juga pemain politik. Maka jangan heran jika hari ini banyak sekali jenis berita yang hanya disesaki sensasi tanpa substansi.

Media yang hari ini menjadi sekedar bisnis belaka tentu sulit menjadi independen. Sederhananya, terdapat berbagai kepentingan pada kolom-kolom dan segmen khusus yang disediakan setiap harinya. Apa-apa saja yang salah, jadi terlihat benar setelah di-framming sedemikian rupa. Data yang tersedia juga sekedar fakta ringan untuk menunjang validasiMaka dari itu ungkapan “pers harus independen” adalah sesuatu yang kurang pas jika disematkan pada media mainstream.

Pada era post truth ini, jurnalis perlu menyertakan analisanya agar masyarakat dapat teredukasi saat membaca berita—sebjektifitas tidak dapat dihindari. Selain fungsi edukasi, analisis dari jurnalis juga berguna untuk mengabarkan bahwa berita ini memang penting untuk dipublikasi dan diketahui khalayak. Jadi, kedalaman informasi perlu dijaga dalam sebuah berita selagi jurnalis dikejar oleh tuntutan kecepatan informasi.

Pers Sebagai Alat Perjuangan Politik

Pada sejarahnya, media cetak sempat menjadi alat perjuangan politik para intelektual. Mereka berlomba-lomba menulis artikel dengan tujuan penyebaran ideologi pada masyarakat. Sebut saja Lekra, salah satu lembaga kebudayaan sekaligus lembaga pers yang memiliki corak dan keberpihakan ideologis: pembelaan terhadap rakyat kecil dan kritik atas segala bentuk penindasan. Selain Lekra, ada juga Manikebu kepunyaan Partai Masyumi sebagai lawan tandingan dari Lekra. Tidak ketingalan juga Lesbumi serta Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN).

Pertarungan gagasan di antara lembaga tersebut turut mewarnai sejarah perjalanan pers yang sekaligus menjadi bukti kekayaan sastra Indonesia. Dari sini dapat dilihat, bahwa pers memang harus memiliki keberpihakan. Jadi anggapan bahwa pers harus netral tanpa tahu fungsi pers dalam mendidik dan menggerakan sejarah adalah sebuah hal yang keliru.

Pers tidak boleh berhenti hanya pada konsep cover both side yang malah membuat berita menjadi sekedar media update. Berita dalam pers harus kaya akan gagasan. Jurnalis tidak boleh terlalu berkutat pada tataran konsep sehingga tulisannya malah menjadi kering. Kita harus tegas menyatakan duduk posisi keberpihakan dalam menulis sebuah berita. Kalau perlu berdebat, ya berdebat saja lewat tulisan. Bukankah perbedaan gagasan merupakan mesin penggerak sejarah?

Dimas Dwi Putra
Dimas Dwi Putra
Mahasiswa ilmu politik semester akhir. Sekretaris PMII Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat. Sedang magang di Geotimes.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.