Jumat, April 19, 2024

Kiat Selamat dari Tipu Muslihat Teori Konspirasi Ala Karl Popper

Muhamad Heychael
Muhamad Heychael
Dosen Kajian Media Universitas Multimedia Nusantara

Dua diantara misteri dunia, selain mengapa hiu berkepala palu berbentuk demikian adalah bagaimana menjelaskan pada para penganut teori konspirasi bahwa apa yang mereka percaya tidak masuk akal. Jika pada soal pertama para ilmuan mulai mencapai kemajuan, maka pada yang terakhir rasanya kita belum menemukan titik terang.

Pernah dengar serangan teroris terhadap menara kembar World Trade Center(WTC) sebenarnya dilakukan oleh CIA guna meligitimasi perang Iraq? Atau bahwa semua intitusi penting di dunia dikuasai Yahudi? Cerita-cerita semacam ini lahir dari teori konspirasi. Kamus Meriam Webster mendefinisikan teori konspirasi sebagai teori yang menjelaskan peristiwa atau serangkaian peristiwa sebagai hasil dari skenario rahasia yang biasanya dilakukan oleh mereka yang berkuasa. 

Teori konspirasi seperti saya contohkan di atas punya banyak masalah, namun demi keadilan, pertama-tama saya perlu mengatakan bahwa tidak semua teori konspirasi berdasar pada bualan semata. Sejarah mencatat banyak skandal besar yang terbongkar diawali oleh kecurigaan adanya konspirasi. Salah satunya, investigasi yang dilakukan oleh Gary Webb di tahun 1996 mengenai peran CIA (Central Inteligence Agency)  dalam mengekspor heroin ke Amerika Serikat di tahun 1980-an.

Investigasi ini menimbulkan kontroversi karena dianggap bukan hasil kerja jurnalisme yang baik. Pada 2005, jurnalis  investigasi Nick Schou mempublikasikan hasil penelusurannya atas investigasi Webb dan menemukan bahwa Webb benar adanya. Tuduhan bahwa laporan Webb sebagai teori konspirasi sesunguhnya diorkestrasi oleh CIA untuk melindungi diri mereka sendiri. 

Lepas dari teori konspirasi bisa membawa kita pada kebenaran, lebih banyak yang justru bekerja sebaliknya. Bahkan, teori konspirasi adalah tempat nyaman bagi para rasis atau nasionalis tidak karuan untuk meneguhkan kebencian mereka pada suatu kelompok. Lihat saja misalnya bagaimana teori konspirasi soal imigran di Eropa dijadikan legitimasi bagi kebencian terhadap muslim di sana. Dalam konteks lokal, kebencian terhadap Yahudi dan Amerika Serikat kerap menjadi pembenaran terhadap aksi terorisme yang dilakukan ISIS maupun Al-Qaeda.

Sebagaimana film horor, teori konspirasi selalu laris. Berbagai kanal Youtube, media online, dan televisi berlomba menyajikan konspirasi untuk dikonsumsi. Setiap kita hampir pasti memiliki tetangga, keluarga, dan atau teman yang jadi konsumen setia teori konspirasi.

Saya punya pengalaman traumatis berdiskusi dengan penganut teori konspirasi. Persis di hari lebaran yang lalu, saya ngobrol dengan salah satu anggota keluarga yang dengan antusias mengatakan bahwa ISIS adalah organisasi yang dibentuk oleh Amerika dan Yahudi. Merujuk pada selebaran whatsaap yang dibacanya, ia menjadi yakin tujuan dari diciptakannya ISIS tidak lain untuk menghancurkan nama Islam.

Saya pun bertanya, “apa maksudnya ISIS merupakan ciptaan Amerika dan Yahudi?” Awalnya saya diyakinkan dengan argumen absurd semacam sesungguhnya tentara ISIS adalah orang-orang Yahudi yang menyamar jadi Arab. “ Tapi Israel dan Amerika memerangi ISIS, bagaimana mungkin mereka membunuh orang-orangnya sendiri?”,sanggah saya. Saya pun dibuat terkejut oleh jawabannya, baginya perang yang dilakukan Amerika dan Israel terhadap ISIS tidak lain skenario semata. “bagaimana mungkin sebegitu banyaknya orang yang terlibat dalam perang melawan ISIS, termasuk muslim Sunni di Iraq, tidak tahu skenario itu?”, tanya saya naif.

Persis Valentino Rosi, ia yang saya ajak berdiskusi pun berbelok tajam berganti argumen yang tak kalah absurdnya. Ia berseloroh bahwa banyak orang muslim yang terlibat perang melawan ISIS tidak tahu skenario tersebut karena telah “dicuci otaknya”. Persis adegan sinetron, dalam benak namun terdengar hingga jarak 1 meter, saya berujar “sial frasa itu lagi”.

Sejak beberapa tahun belakangan saya benci sekali dengan frasa “dicuci otaknya”, sampai-sampai ingin minta linguis seperti Ivan Lanin dan Holy Adib menghapusnya dari kosakata bahasa Indonesia. Entah sejak kapan, frasa ini menjadi jalan keluar palsu untuk mereka yang tidak memiliki argumen. Tidak bisa menjelaskan mengapa banyak muslim bergabung ISIS maka katakan saja “dicuci otaknya”. Tidak mampu menjelaskan bagaimana bisa bumi datar padahal banyak ilmuan percaya sebaliknya? Jawab saja “dicuci otaknya”.  Seolah dengan mengatakan “dicuci otaknya” selasai semua pertanyaan. Padahal semestinya ia adalah awal dari semua pertanyaan. Apa maksudnya? Dengan cara apa? Dan seterusnya.

Cerita di atas bukanlah akhir dari diskusi saya dengan penganut teori konspirasi, namun saya sudahi cerita soal ini di sini agar tujuan tulisan ini tidak berubah menjadi luapan frustasi semata. Dari ilustrasi di atas saya ingin mengatakan betapa teori konspirasi itu bulat utuh tak bercelah. Ia seperti gang-gang menuju rumah saya di Tanjung priok yang setiap sabtu-minggu ditutup oleh mereka yang menggelar pesta pernikahan. Saya harus memutar berkali-kali hanya untuk sampai rumah.

Sebagaimana dijelaskan dengan baik di sini, Kebanyakan teori konspirasi memang dimulai dari fakta atau data. Berbeda dengan cara kerja ilmu pengetahuan yang menarik kesimpulan dari fakta dengan logika, maka teori konspirasi menarik kesimpulan dari fakta dengan imajinasi. Adalah fakta Amerika berperan dalam membiayai dan melatih Taliban di Afghanistan, namun hanya imajinasilah yang bisa membuat fakta tersebut sebagai argumen untuk menjelaskan konspirasi Amerika untuk menghancurkan Islam.

Sumbu dari imajinasi yang menghubungkan fakta-fakta tersebut umumnya adalah prasangka atau bias. Bila anda percaya bahwa semua orang minang pelit, maka satu atau dua orang minang yang anda dapati pelit cukup membuat anda berkata “bener, kan”. Padahal mungkin sekali banyak orang Minang yang ada di hidup anda bertolak belakang dengan keyakinan itu dan anda cenderung mengabaikannnya. Di sinilah pentingnya kita belajar mengenai falsifikasi pada Karl Popper.

Falsifikasi adalah prinsip ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran. Menurut Popper, kebenaran akan kita dapatkan justru ketika melakukan diskonfirmasi. Einstein tidak membuktikan teorinya mengenai relativitas dengan melakukan konfirmasi atas berbagai fenomena alam yang mungkin mendukungnya, sebaliknya ia menunggu gerhana matahari untuk menguji teorinya sendiri. Einstein tahu, ia hanya bisa mengganggap teorinya benar bila prediksinya mengenai cahaya yang melintasi ruang akan terdefleksi oleh massa yang ada disekitarnya. Sekarang kita tahu, Einstein benar, sampai ada ilmuan lain yang bisa membuktikannya salah.

Dengan prinsip yang sama kita bisa menghadapi teori konspirasi ataupun disinformasi. Skeptisisme adalah kuncinya. Jangan berpikir untuk mencari bukti atas informasi yang kita baca atau kita percaya. Lakukan sebaliknya, jika anda percaya semua orang minang pelit atau semua Yahudi jahat, maka carilah orang minang yang tidak pelit dan Yahudi yang tidak jahat. Anda hanya bisa menganggap kesimpulan anda benar sampai ia tidak terbukti salah.

Mencapai kebenaran menysaratkan kita untuk mencurigai diri sendiri. Kebenaran sering kali bertolak belakang dengan apa yang kita percaya atau ingin kita percaya. Kita yang menghendaki kebenaran mesti senantiasa ikhlas menerima bahwa apa yang kita percaya atau yakini mungkin sekali salah.

Saya tahu, agak naïf mengatakan ini pada para penganut teori konspirasi. Setidaknya, prinsip saintifik bisa jadi modal kita agar tidak terjerumus jadi penganutnya. Sebab, pengkhotbah teori konspirasi biasanya adalah orang-orang dengan retorika yang meyakinkan. 

Jadi, jika diwaktu mendatang anda mendapati informasi atau ceramah yang tidak bisa dibantah, yang mampu berbelok tajam ketika dihadapi dengan pertanyaan logis, sehingga tidak menyisakkan sedikpun ruang untuk diuji dengan kritis, ingat Karl Popper. Rumusnya, jika sesuatu tak bisa salah (tidak bisa diuji), maka ia tidak mungkin benar.

Muhamad Heychael
Muhamad Heychael
Dosen Kajian Media Universitas Multimedia Nusantara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.