Pada Pemilu 2014, saya sekeluarga mendukung Jokowi dan PDI-P. Sampai sekarang saya masih mengagumi sejumlah aktivis PDI yang saya pandang adalah contoh anggota parlemen terbaik: Eva Sundari, Charles Honoris, Budiman Sudjatmiko, Rieke Diah Pitaloka, dan TB. Hasanuddin, plus mungkin ada satu dua lainnya. Mereka keren.
Tapi sebagai partai politik, mereka sudah tidak lagi cukup keren untuk dipilih.
Karena itu, tahun ini, saya sekeluarga akan memilih Jokowi dan PSI.
Ada sejumlah alasan.
1. PDI-P sudah aman. Semua survei terpercaya menunjukkan suara PDI-P jauh di atas yang lainnya. Mereka diperkirakan bisa memperoleh 25% suara pemilih; sementara Gerindra cuma di kisaran 15%. Jadi kalaupun sebagian suara PDIP diambil PSI, mereka tetap partai terbesar dan menentukan.
2. PDI-P besar, tapi sebagai partai terbesar, PDI-P mengecewakan. PDI-P tidak bisa diharapkan dalam perang melawan korupsi yang adalah salah satu persoalan terbesar negara ini. Indeks korupsi ICW periode 2002-2014 mencatat PDI-P sebagai Parpol dengan tingkat korupsi tertinggi, 7.7; jauh di atas partai-partai lainnya. Akhir tahun lalu, SETARA Institute mengumumkan PDI-P menjadi penyumbang terbanyak dalam jumlah kader yang terjaring OTT KPK (2018). Awal tahun ini kader PDI-P di Kalteng memecahkan rekor tertinggi kerugian negara akibat korupsi di Indonesia, dengan Rp 5,8T.
3. Karena PDI-P adalah partai dengan kursi terbanyak di DPR, PDI-P sangat bertanggungjawab atas korupsi E-KTP yang mencapai lebih dari Rp 2T, pemborosan dalam hal pembangunan gedung baru DPR, ketidakproduktifan DPR dalam hal melahirkan UU (sampai-sampai disebut Forum Masyarakat Peduli Parlemen sebagai ‘DPR terburuk dalam sejarah reformasi’).
4. PDI-P bertanggungjawab dan terlibat dalam pemborosan triliunan rupiah akibat perjalanan dinas dan kunjungan kerja anggota DPR yang pertanggungjawabannya sangat tidak transparan dan tidak akuntabel. BPK menyebut tahun 2016, uang kunker fiktif mencapai hampir Rp 1 Triliun.
5. PDI-P menjadi pengusul hak angket yang berusaha melemahkan KPK. (Sementara, PSI jelas-jelas mengecam hak angket tersebut).
6. PDI-P ngotot dengan pasal-pasal kontroversial dalam Revisi UU MD3 yang akan melemahkan kemampuan masyarakat untuk mengontrol dan mengeritik DPR. Untung pasal-pasal itu akhirnya dibatalkan MK, setelah digugat oleh, antara lain, PSI.
7. PDI sangat mengecewakan dalam kasus-kasus penindasan hak-hak beragama dan berkeyakinan. PDI-P sebagai partai terbesar bungkam ketika ada gereja disegel, vihara dibakar, masyarakat sipil dibungkam, kaum minoritas ditindas. Aneh, mereka besar tapi tak mau ambil risiko bersuara, sementara PSI bersuara lantang.
8. Lebih parah lagi, kader-kader PDIP di banyak tempat bertanggungjawab atas lahirnya Perda-perda Syariah. (Dalam kasus ini, PSI bersuara lantang menolak Perda Syariah).
9. PDI-P hampir-hampir tak bersuara dalam tumbuhnya budaya kekerasan dan kejahatan seks terhadap perempuan. Salah seorang anggota DPR asal PDI-P, Masinton Pasaribu, malah diketahui melakukan kekerasan terhadap asistennya di DPR, dan dia tetap bisa melenggang sebagai Caleg PDI-P 2019-2024 (Dalam hal ini, PSI jelas-jelas menkampanyekan pensahan UU Penghapusan Kekerasan Seks).
10. PDI-P tidak bisa diharapkan karena barangkali mereka sudah terlalu besar dan lamban. Di dalam PDI-P, Megawati terlalu dominan. ‘Emak banteng’ adalah pusat dari segalanya. Pertimbangan rasional sering diabaikan. Tidak ada orang di PDI-P yang berani melawan titah Megawati. Ini pasti akan menjadi isu besar tatkala ada regenerasi kepemimpinan, mengingat hampir pasti kandidat utamanya adalah keturunan Soekarno.
11. Struktur internal PDI-P sendiri sudah semakin membeku dan mereka yang berada di atas berusaha mempertahankan status quo. Jangan lupa, pada awalnya PDI-P sebenarnya tidak solid mendukung Jokowi pada Pilpres 2014. Bagi PDI-P, Jokowi adalah orang luar. Hanya di saat-saat terakhir, PDI-P menyerah dan mendukung Jokowi. Pada Pilgub DKI 2017, banyak orang PDI-P yang tidak sungguh-sungguh mendukung Ahok.
12. Kultur politik PDI-P sudah terlalu kaku dan sulit berubah. Banyak aktivis PDI-P yang kritis terpinggirkan. Banyak dari mereka yang kritis kini bersifat oportunis dan kompromistis serta bertahan di PDI-P sekadar karena merasa tidak ada kendaraan politik yang lebih baik daripada PDI-P.
Karena segenap catatan tentang PDI-P itulah, saya kini menaruh harapan pada PSI. Mereka memberi harapan baru dalam dunia perpolitikan Indonesia yang sudah semakin kaku dan terbelakang.
Saya merasa PSI layak mendapat tempat di DPR, karena saya sudah tidak bisa berharap bahwa PDIP – apalagi partai-partai lain—akan mentransformasi diri. PSI diisi orang-orang muda dari berbagai wilayah di Indonesia yang memiliki track record mengagumkan. Mereka mungkin bukan orang lama dalam dunia partai (yang kotor), tapi mereka sudah menapakkan jejak keberhasilan dan kesuksesan sebelumnya.
Selama ini publik mungkin hanya mengenal Grace Natalie, Tsamara Amany dan Giring Nidji yang bersuara lantang. Tapi di dalam PSI ada puluhan anak muda yang sebelumnya adalah kaum profesional, budayawan, ilmuwan atau aktivis demokrasi, kemanusiaan, pluralisme, perlindungan atas perempuan. Dan kalau dibaca latarbelakang pendidikannya, hampir pasti kita membelalakkan mata. Saya sendiri melihat PSI sebagai semacam LSM kemanusiaan dan demokrasi berbentuk partai politik.
Lebih dari itu mereka menawarkan cara untuk memaksa siapapun –termasuk anggota PSI—yang masuk DPR agar bisa dikontrol masyarakat. Mereka mengembangkan mekanisme yang mewajibkan setiap anggota DPR melaporkan apa yang mereka lakukan setiap hari pada publik melalui aplikasi yang bisa diunduh masyarakat. Melalui aplikasi itu, masyarakat bisa mengontak mereka setiap saat. Mereka juga sudah mengajukan rancangan PP yang akan memaksa setiap anggota DPR mempertanggungjawabkan setiap sen pengeluaran dinas. Mereka juga menyediakan mekanisme bagi rakyat untuk meminta Parpol menarik anggota parlemen yang mengkhianati kepercayaan rakyat. Mereka bukan cuma bicara. Mereka menawarkan solusi.
PDI-P sudah puluhan tahun ada di politik Indonesia. Mereka hebat. Tapi sudah saatnya, ada parpol lain dengan ideologi serupa namun dengan integritas dan prestasi mengagumkan seperti PSI juga berada di parlemen.
Pada akhirnya, apakah saya percaya sepenuhnya pada PSI? Dengan yakin saya menjawab, ya. PSI memberikan harapan bagi masa depan Indonesia, sebagaimana Presiden Jokowi telah membuktikan bahwa orang baru dalam dunia politik bisa merombak Indonesia secara revolusioner ke arah yang jauh lebih baik. Saya setuju dengan pernyataan Jokowi bahwa PSI adalah unicorn Indonesia.
Indonesia sudah memiliki presiden sehebat Jokowi. Kini saatnya Indonesia juga memiliki anggota parlemen sehebat orang-orang PSI.