“Raibnya” Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di panggung publik akhir-akhir ini langsung direspon cepat oleh tayangan talk show Mata Najwa. Tim Mata Najwa seperti tidak kurang akal mengatasi sulitnya menghadirkan sang Menteri. Jadilah Najwa Shihab mewawancarai bangku kosong yang mestinya diduduki Menteri Terawan.
Bisa dibilang momen ini menjadi salah satu momen terbaik dalam jurnalisme televisi di Indonesia. Meski bukan hal yang lumrah, ide mewawancarai bangku kosong dalam sebuah acara talk show di televisi bukan hal yang baru dalam sejarah jurnalisme televisi.
Dalam lintasan sejarah jurnalisme televisi di Indonesia, memang baru Mata Najwa yang pertama dan “berani” melakukannya. Benar saja menghadirkan bangku kosong sang Menteri tentu sangat berisiko. Apalagi jabatan menteri adalah jabatan eksekutif tertinggi setelah presiden, bukanlah pihak yang powerless.
Di negara-negara yang telah lama memiliki tradisi demokrasi dan jurnalisme, misalnya Inggris atau Amerika, treatment menghadirkan bangku kosong sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Di Inggris, presenter senior BBC, Andre Neil mewancarai bangku kosong yang mestinya diduduki Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Kejadian serupa juga dialami presenter berita Sky News, Kay Burley. Salah satu menteri dari partai Konservatif Inggris James Cleverly, tak jadi datang, meski sudah janji untuk diwawancarai. Sang presenter yang jengkel, akhirnya mewawancarai bangku kosong. Burley mengarahkan rentetan pertanyaannya ke bangku kosong yang seharusnya ditempati Cleverly.
Bukan Wawancara Imajiner
Tampaknya teknik wawancara ini akan menjadi tren bagi media lain dalam menyampaikan kritik pada pemegang kursi kekuasaan. Dalam konteks tanggap bencana Covid-19, meng-kursi-kosong-kan pihak-pihak yang memiliki wewenang terhadap kondisi krisis, namun enggan bersikap transparan bisa menjadi cara-cara extraordinary untuk menunjukkan sense of crisis. Sejatinya bukan hal aneh meng-kursi-kosong-kan politisi atau pejabat yang tidak mau ditanya perkara yang menjadi tanggung jawabnya. Lebih-lebih kalau kebijakannya selama menjabat patut dikoreksi.
Mewawancarai bangku kosong tentu berbeda dengan wawancara imajiner.Secara teknis, pewawancara tidak sepenuhnya dianggap sedang melakukan wawancara. Pewawancara hanya mengajukan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga tidak harus langsung dijawab, sebagaimana wawancara secara tatap muka. Jawaban dari narasumber bisa disampaikan kapan saja, di mana saja, dan dengan media apapun. Ketika mewawancarai bangku kosong, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan juga bukan pertanyaan fiktif. Suasana harus dikondisikan seolah-olah si narasumber hadir. Meski drama tanya jawab hanya tampak seperti balada di depan layar kaca.
Format wawancara imajiner sebagai produk jurnalistik sempat eksis pada periode 1990-an. Ide wawancara jenis ini sempat digagas oleh wartawan tabloid Detak Christianto Wibisono yang berusaha mengulas pemikiran-pemikiran Presiden Pertama Indonesia Soekarno. Tentu Bung Karno bukanlah tokoh yang masih eksis. Ia telah lama meninggal. Sebetulnya, menyajikan hasil tanya jawab imajiner dalam media cetak, lebih mudah daripada media elektronik/televisi. Alih-alih sekadar melempar pertanyaan kepada narasumbernya, sebetulnya Christianto sebagai pewawancara sedang menjawab pertanyaan-pertanyaanya sendiri.
Secara imajiner, sesi wawancara dengan Pak Menteri harusnya berlangsung panas. Seperti biasanya Najwa mampu mengajukan pertanyaan yang intimidatif dan provokatif. Bahkan, Mbak Nana sapaan akrabnnya, memulai wawancaranya dengan sanjungan sarkastik kepada Pak Terawan sebagai menteri kesehatan paling low-profile di seluruh dunia selama wabah Covid-19.
Pujian sarkastik ini memang bisa jadi berlebihan dan cenderung tidak menghormati Pak Terawan. Sikap respek terhadap narsumber dalam prinsip kerja jurnalistik harusnya dijunjung tinggi oleh semua jurnalis. Bahkan, narasumber yang minta identitasnya disembunyikan pun tetap harus dihormati. Kita ingat, HB Yassin rela masuk penjara karena tidak maau menyebutkan identitas Ki Panji Kusmin yang menulis di medianya.
Hak Menolak
Berdasarkan Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) pasal 30, narasumber memiliki hak untuk menolak berpartisipasi dalam sebuah program siaran yang diselenggarakan lembaga penyiaran. Namun demikian, kesediaan mereka menjawab pertanyaan dan keresahan masyarakat sejatinya adalah bentuk tanggung jawab sebagai pejabat publik.
Dalam hal pandemi ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tetaplah institusi paling strategis. Betapa pun sejumlah satgas dan komite telah dibentuk untuk mengatasi pandemi dan dampak-dampaknya, Kemenkes tetaplah pengampu utamanya. Kemenkes inilah yang pada dasarnya memiliki kewenangan, anggaran, perangkat birokrasi terkait sektor kesehatan.
Meski begitu, tak semua orang sepakat dengan cara Mata Najwa. Ada yang merespons bahwa bertanya kepada bangku kosong termasuk upaya mempermalukan sang Menteri. Bisa jadi disclaimer Pak Terawan untuk datang ke Mata Najwa juga bentuk kegagalan seorang jurnalis menghadirkan narasumber. Sesuatu yang sebenarnya kontradiktif. Namun dengan analogi memancing ikan, mewawancarai bangku kosong adalah kailnya, Najwa sebagai si pemancing sebenarnya sedang memancing agar sang Menteri bicara.
Tentu saja bertanya kepada pejabat yang mempunyai kewenangan di bidangnya tidak bisa dikategorikan sebagai persekusi atau bullying. Dalam jurnalistik, mewawancarai entah secara langsung maupun jarak jauh dianggap sebagai upaya mencari klarifikasi/konfirmasi untuk memenuhi prinsip cover both side. Justru ketika Mata Najwa menyediakan bangku kosong inilah, ada ruang alternatif bagi publik untuk menyimak paparan rencana pemerintah dalam mengatasi pandemi yang tak kunjung berhenti. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, namun semua bisa diawali dengan kehadiran sang Menteri.