Jika Anda adalah adalah pencinta sepakbola yang memulainya dari pesona dan masa jayanya Serie A, dan kemudian menjatuhkan hati kita kepada tim selain Juventus, rasanya sulit menyisakan sedikit rasa simpati untuk tim hitam putih itu. Wajah Luciano Moggi dan wasit-wasit Italia yang dihadiahinya arloji, penalti-penalti yang ganjil, offside-offside yang aneh, si lembek licik Filippo Inzaghi, dan dan jangan lupakan si beringas Paulo Montero; sungguh, tim ini hanya menyediakan api dengki dan kobaran benci saja.
Mereka yang bukan Interisti akan dengan mudah menertawakan Inter dan si raja minyak Massimo Moratti, belanja-belanja pemainnya yang besar dan konyol di paro akhir ’90an (ia memecahkan dua rekor transfer untuk Vieri dan Ronaldo Nazario), dan terutama untuk dua ekor tokek di atas kepala Taribo West. Tapi, siapa pun (tentu di luar pendukung Juve) akan bisa merasakan sakitnya Inter saat, pada akhir April 1998, di sebuah pertandingan yang menentukan gelar Liga, Ronaldo jelas-jelas dijatuhkan Mark Iuliano di kotak penalti Juve, namun yang mendapat hadiah penalti justru Del Piero di kotak penalti Inter, hanya beberapa detik kemudian—dan di akhir musim Juve menelikung gelar yang sangat didambakan dan berhak didapatkan Inter.
Sebagian pendukung Lazio adalah fasis brengsek yang rasis, sebagaimana para pendukung Inter saat ini. Tapi, kemenangan mereka yang dramatis di pekan terakhir musim 2000, yang dibarengi terpelesetnya Juve di lapangan becek Perugia, adalah kemenangan yang dirayakan semua penggemar sepakbola sedunia. Milan? Untuk politik murahan Silvio Berlusconi, dan semua hal murahan lain yang menempel di wajahnya, tapi terutama yang bersembunyi di balik celananya, dan boleh juga ditambahkan wajah membosankan Adriano Galliani, semua orang berhak (dan pantas!) membenci klub yang kepadanya saya taruhkan hati ini.
Tapi apa pendapat kalian dengan wajah dan gerak-gerik anggun Paolo Maldini? Kalian ingat Dejan Savisevic (“Raja Semua Dejan” tulis tabloid Bola di sampul depannya ketika itu) dan Zvonimir Boban (Boban yang itu, dan hanya itu!)? Jika memuja Rui Costa mesti berbagi dengan para pendukung La Viola dan mengagumi Kaka membuat kalian mesti berdesak-desakan dengan para ibu-ibu, maka pikirkanlah Pirlo. Dan kalian bahkan tak akan tahan untuk tak mencintai si Badak Gattuso, bukan? Dan dengan tujuh Kuping Besar di lemari trofi, Milan terlalu besar, dan terlalu indah, untuk dibenci. Ini serius.
Bahwa di Juventus-lah kita mengenali hampir untuk pertama kalinya elegansi gerak Zinedine Zidane (siapa yang mengingatnya kala ia masih bermain untuk Bordeaux di final Piala UEFA 1996?); juga, pendar pesona di sekeliling kepala Il Pinturicchio Alex Del Piero; atau, yang lebih awal lagi, si Dewa Berkuncir Kuda Roberto Baggio, itu betul. Tapi, tidakkah itu terasa seperti kita melihat gambar beberapa ekor angsa malang yang terjebak di tengah tumpahan minyak dalam sebuah foto epik sekaligus menyedihkan di National Geographic?
Tapi benarkah hati kita sedingin dan sekeras itu untuk Juventus—untuk seterusnya, dan untuk semua hal? Sebagai seseorang yang jatuh cinta kepada sepakbola lebih dulu dibanding kepada sebuah klub atau tim nasional, saya kira saya bisa mengais sedikit rasa welas asih di dasar sanubari sepakbola saya di masa-masa antara Paskah dan awal Ramadan ini; dan saya harap saya bisa sedikit menunjukkannya di tulisan ini.
***
Tigapuluh lima gelar Liga domestik Juventus, sebrengsek apa pun cara mereka mendapatkan sebagiannya, adalah tanda kebesaran yang tak bisa diabaikan. Mengecilkannya, menafikannya, lebih-lebih menolaknya, hanya akan menunjukkan sikap denial alih-alih mengurangi kebesaran mereka. Sama-sama dikuasai oleh para orang kaya, sebagaimana semua klub Italia yang pernah besar dan yang masih besar, kestabilan keuangan mereka dan “kesetiaan” FIAT dan Keluarga Agnelli berdiri di belakang Nyonya Tua bagaimana pun adalah teladan tentang keberlanjutan. (Bandingkan dengan apa yang telah dilakukan dan kekacauan yang ditinggalkan Keluarga Cecchi Gori di Fiorentina, Keluarga Tanzi di Parma, Cragnotti di Lazio, dan yang paling mutakhir Berlusconi di Milan).
Mereka menjadi pelopor “perampasan” para pemain kelahiran Argentina untuk dijadikan Oriundi demi kejayaan sepakbola dan negara fasis Italia pada tahun 30-an, dan mereka masih melakukan hal serupa dengan konsteks yang sedikit beda hingga belakangan ini: pembelian Baggio dari Fiorentina, Vialli dari Sampdoria, Nedved dari Lazio, Buffon dan Thuram (keduanya dari Parma) adalah metode yang berulang-ulang dipakai Juventus untuk menggembosi tim pesaing yang tak memiliki kekuatan finansial yang setimbang—yang hingga saat ini masih terus dilanjutkan.
Meski demikian, Juve sendiri adalah dapur penggodogan yang efektif bagi matangnya pemain-pemain yang berasal dari antah-berantah atau yang masih mentah menjadi pemain-pemain penting dan menonjol, dan tak jarang kemudian berharga mahal.
Kejayaan Juve di pertengahan 90-an dan awal 2000-an, selain bersandar kepada pemain-pemain hebat dan telah matang dari hasil “perampasan”, juga tak bisa dilepas dari para pemain “semenjana” yang tumbuh bersama klub tersebut. Nama seperti Mark Iuliano, Moreno Torricelli, Gianluca Pessoto, Alessandro Birindelli, Gianluca Zambrotta, Angelo Di Livio, termasuk kapten fenomenal mereka Antonio Conte, adalah pemain-pemain yang berasal dari klub-klub kecil, yang didapat dengan biaya transfer seupil, yang kemudian menjadi nama-nama yang meraksasa di sepakbola Italia.
Tambahkan nama Mauro Camoranessi, Alessio Tacchinardi, hingga pemain-pemain yang lebih mutakhir seperti Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini untuk memperpanjang daftar. Sementara itu, pulih dan menghebatnya karir Edgar Davids (setelah jadi olok-olok selama satu setengah musim di Milan), matangnya Zidane, melegendanya Nedved, lalu mekarnya Paul Pogba, dan memanjangnya kebesaran Andrea Pirlo, hanyalah sedikit bukti tambahan betapa Juventus adalah habitat yang sehat untuk banyak pemain hebat.
Namun, dengan predikat hebat macam ini, juga kisah-kisah kebesaran yang memanjang di kancah domestik, Juve bukanlah klub yang identik dengan gelar kontinental. Juventus hampir pasti ada di paroh atas sepuluh besar tim sepakbola yang paling dikenal secara global, namun statistik menempatkannya ada di urutan kesembilan dalam daftar tabel prestasi Liga Champion Eropa, di bawah Inter yang jadi musuh bebuyutannya, dan tentu saja sangat jauh di bawah Milan.
Bahwa di statistik itu disebutkan, meski hanya pernah memenangi dua di antaranya namun Juve adalah klub keempat paling banyak yang maju ke partai final (sembilan kali, di bawah Madrid [16], Milan [11], dan Munchen [10]), itu hanya menjadi cuka bagi luka saja. Dan mari kita tambahkan garam dengan menunjukkan bahwa di antara delapan gelar Liga beruntun di delapan musim terakhir ini, tak satu pun gelar kontinental yang mereka dapatkan.
Dan, bolehlah dikata, itu sedikit tidak adil untuk Juve.
***
Sejak menjuarai Liga pada musim 2011-2012, Juve sendirian memimpin sepakbola Italia. Itu membuat mereka bahkan melakukan empat kali beruntun Juara Ganda. Maka, mudah dimengerti, apalagi setelah kegagalan di dua final Liga Champions (masing-masing di tangan Barcelona dan Madrid), yang mereka pikirkan sebenarnya adalah gelar Eropa. Itu dilihat bagaimana Juve mengumpulkan pemain-pemain matang berpengalaman, dan bukannya yang masih muda dan masih bisa diasah seperti biasanya. Sami Khedira, Blaise Matuidi, Douglas Costa, dan puncaknya adalah pembelian Cristiano Ronaldo dari Madrid, nyaris 100 juta Pound, untuk pemain yang telah berumur 34 tahun.
Khusus yang terakhir, para pengkritik (termasuk penulis kolom ini) mengatakan, jika bukan untuk keperluan menjual karcis dan cendera mata, maka membeli Ronaldo terlihat seperti membeli piala. Segera terlihat bahwa dua sangkaan itu salah.
Ronaldo membuat kaos warna zebra bernomor tujuh jadi cendera mata sepakbola paling dicari. Tapi, alih-alih tampak bersiap menuju akhir karirnya, Ronaldo justru seperti penyerang yang berusia 10 tahun lebih muda dibanding pemain yang sama yang menghabiskan musim terakhirnya dengan gelisah di Madrid. Ia sejauh ini memang tertinggal dari penyerang yang lebih tua, Fabio Quagliarella (juga dua penyerang muda, Piatek dan Zapata), tapi di Liga Italia mencetak gol tak pernah menjadi hal mudah. Lebih dari itu, di Juve, ia tampak lebih bahagia; ia seperti siswa pindahan yang ceria karena baru saja lepas dari sekolah lamanya yang tak menyenangkan. (Jika ia tetap bahagia di sana, ia akan bisa bermain di Juve setidaknya sampai usia 40.) Total jenderal, Ronaldo adalah pembelian yang jauh dari gagal.
Sayangnya, Ronaldo tak menghasilkan apa yang dipikirkan semua pendukung Juventus menjadi alasan pembeliannya: juara Eropa. Bahwa kepergiannya membuat limbung Madrid sangatlah jelas, demikian juga nilai tambah yang diberikannya bagi penampilan Juve musim ini di Eropa. Tapi, itu bukan berarti ia adalah faktor penentu, sebagaimana banyak digaungkan secara berlebihan oleh para pengulas yang memujanya. Dan jika ada di antara pengambil kebijakan transfer di Juve berpikir, membeli Ronaldo dengan alasan bahwa ia adalah bagian terpenting dari merajalelanya Madrid di Eropa di lima musim terakhir, maka ia jelas sedang tidak jernih.
Meskipun ia punya lima medali juara Liga Champions di balik kaca bufetnya, dan oleh karena itu tak diragukan ia adalah pemain terbaik di zamannya setelah Leonel Messi, Ronaldo sebenarnya kerap ada di posisi periferal di pertandingan-pertandingan final. Ronaldo akan pergi dari Old Trafford sebagai pecundang jika di final Liga Champions 2008 antara MU dan Chelsea John Terry tidak terpeleset saat adu penalti, sebab sebelumnya ialah yang gagal melakukan penalti.
Di Madrid, dengan dikelilingi skuad Galacticos, dan sempat dilatih Jose Mourinho, Ronaldo baru mendapatkan medali Liga Champions lagi baru di musim keempatnya, setelah Madrid menunjuk seorang pelatih juara, Carlo Ancelotti. Itu pun, jika diperhatikan, pemain yang menjadi pembalik keadaan di final Lisabon tersebut bukanlah Ronaldo, tapi Sergio Ramos—sebagaimana, Ramos juga yang melakukannya pada final dua tahun kemudian di Milan.
Ronaldo menjadi bagian sangat penting dalam perolehan gelar Eropa di dua edisi berikutnya: dua gol di final musim 2017 melawan Juve, dan gol-gol penting dan akrobatik di semifinal pada musim 2018, lagi-lagi saat melawan Juve. Tapi, jika acuannya adalah dua musim terakhir itu, menurut saya, Juve semestinya memulangkan Zidane, dan bukan Ronaldo.
Ronaldo—seperti sebelum-sebelumnya—mencetak gol hebat di leg pertama perempat final di Amsterdam. Tapi, ia tak berdaya membendung para pemain muda Ajax menggulung Juve di Turin. Dan yang lebih buruk, jika di musim lalu Juve disingkirkan oleh Madrid dari delapan besar dengan membawa pahit di lidah karena merasa diperlakukan tidak adil, maka kali ini mereka tersingkir oleh Ajax karena memang pantas tersingkir.
Tentu saja kegagalan Ronaldo di musim pertamanya di Juventus bisa saja menjadi keberhasilan yang tertunda. Masih ada musim berikutnya, dan berikutnya lagi. Tapi, yang jelas, ini membuat klub terbesar di Italia ini mesti menambah panjang lagi rasa penasarannya. Sembari menatap nanar ke trofi Eropa di lemari Madrid dan Barcelona, yang salah satunya semestinya bisa mereka dapatkan, mereka mesti mengingat piala terakhir yang mereka dapat. Itu tahun 1996, duapuluh tiga tahun lalu. Saat itu Zidane masih di Bordeaux, dan ia belum botak.
***
Stadion megah itu bergemuruh begitu tim hitam-putih itu memastikan kemenangan 3-1 atas salah satu pesaing terdekatnya, Southampton. Ayoze Perez mencetak hatrick yang jarang dilakukannya, dan seisi St. James Park mengelu-elukannya. Setelah perjuangan melawan semua keterbatasan, juga melawan kenyentrikan pemiliknya sendiri, hampir sepanjang musim, Newcastle United memastikan bertahan di Liga Primer.
Di waktu yang hampir sama, meski dengan pesta yang lebih meriah, dengan busa sampanye yang tumpah-ruah, saya tak merasakan kadar kegembiraan yang sama saat Juventus memastikan gelar Liga kedelapannya secara beruntun. Dan saya bersimpati untuk itu.
*untuk Budi Baskoro