Sabtu, April 20, 2024

Jokowi dan Presidensialisme Rasa Parlemen

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)

Susunan kabinet Presiden Joko Widodo periode kedua masih menjadi misteri, meski beberapa petunjuk dan gelagat telah tampak dari Jokowi yang mengatakan dia sudah mengantongi nama-nama pembantu presiden untuk 5 tahun ke depan. Kabarnya nama-nama tersebut akan segera diumumkan tidak lama setelah pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih kemarin. 

Kewenangan memilih menteri adalah hak prerogatif Presiden yang dijamin Pasal 17 ayat (2) UUD 1945: “Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Kewenangan absolut untuk memilih menteri berada di tangan Presiden sebagai perwujudan sistem presidensial yang dianut. 

Tradisi sistem pemerintahan presidensial menghendaki pengisian jabatan menteri berada di tangan presiden. Ini dimaksudkan agar presiden, selaku kepala pemerintahan dan kepala negara, memiliki kuasa penuh untuk menjalankan visi dan misinya, seperti yang telah dia janjikan dalam kampanye politiknya. Karakteristik sistem presidensial mengenal istilah “the winner takes all,” bahwa pemenang memiliki privilage untuk mengangkat dan memberhentikan para menterinya.

Namun, faktanya, presiden kerap terjerembap dalam transaksi balas budi dan politik dagang sapi untuk membagi kue kekuasaan di level menteri. Bayang-bayang kabinet pelangi yang dipenuhi corak bendera partai selalu menghantui presiden terpilih apabila dia tidak tegas menggunakan kuasa prerogatifnya dalam menentukan para menteri.

Fenomena politik bagi-bagi kue kekuasaan di lingkar jabatan menteri merupkan konsekuensi logis akibat presiden terpilih sering tidak memiliki suara mayoritas. Salah satunya adanya sistem multipartai sehinggga untuk mengamankan dukungan di parlemen sebagai mitra aktif presiden dalam membuat kebijakan, maka presiden harus bernegosiasi dan berdiplomasi politik dengan cara membagikan jatah kursi menteri ke partai-partai pendukungnya.

Kondisi demikian disebut-sebut sebagai cacat bawaan kohibitasi sistem presidensial dengan sistem multipartai. Presiden kerap tidak percaya diri menjalankan pemerintahan tanpa dukungan yang besar dari parlemen, meski konstitusi menjamin masa jabatan presiden bersifat tetap dan tidak dapat dijatuhkan tanpa proses impeachment (Pasal 7 UUD 1945).

Keadaan ini semakin diperparah dengan gaya perpolitikan nasional yang dimainkan oleh partai politik yang sangat pragmatis dan tidak berpendirian teguh dengan ideologi. Karenanya, godaan jatah menteri dan bergabung dengan koalisi pemerintah selalu membuat partai politik tergiur.  

Hal ini tentu tidak baik demi masa depan demokrasi Indonesia. Demokrasi tanpa adanya subsistem oposisi yang kuat sangat berbahaya karena akan sangat lemah dari segi pengawasan dan kontrol. Pada akhirnya ketiadaan partai penyeimbang di luar pemerintahan akan berdampak pada pemerintahan tanpa kontrol yang efektif.

Apalagi saat ini ketika beberapa partai yang awalnya berseberangan dalam penyelenggaraan pemilu serentak mulai berbondong-bondong melakukan komunikasi politik yang mensinyalkan akan merapat ke kubu istana. Mulai dari pertemuan dengan Prabowo yang merupakan rival dua kali pilpres hingga sowanan yang dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Memang, tidak ada standar baku dalam langgam pengisian jabatan menteri di berbagai negara yang menerapkan sistem pemerintahan presidensial. Setiap negara memiliki kearifan dan kondisi perpolitikan domestik yang mempengaruhi politik hukum pengisian jabatan menteri. Meski demikian, hampir semua negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial meletakkan kuasa yang besar kepada presiden dalam pengisian jabatan menteri.

Sebagai contoh Pasal 128 Konstitusi Republik Dominika Tahun 2015 menyebutkan kewenangan absolut dari presiden untuk memilih, mengangkat, dan memberhentikan menteri dalam kapasitasnya sebagai kepala pemerintahan. Bahkan tidak hanya mengangkat menteri, termasuk jabatan wakil menteri, jika dibutuhkan dapat diangkat oleh presiden dalam otoritasnya. Begitu pula dengan Negara Uruguay dalam Artikel 174 Konstitusi 1966 juga mengatur hal yang sama.

Agak sedikit berbeda dengan praktik di 7 negara demokrasi presidensial seperti Sierra Leone, Filipina, Palau, Nigeria, Maldives, Liberia, Kenya, dan Burundi. Dalam hal ini presiden hanya bebas memberhentikan menteri. Sementera proses pengangkatan menteri bukanlah sepenuhnya kewenangan presiden. Dalam hal pengangkatan menteri, presiden harus mendapatkan persetujuan dari senat.

Contohnya, dalam Konstitusi Palau 1981 dikatakan bahwa anggota kabinet hanya dapat ditunjuk oleh presiden setelah persetujuan senat dan menteri tersebut tidak diizinkan secara bersamaan duduk di parlemen saat menjabat sebagai menteri. Kontras dengan Palau, di Konstitusi Burundi 2005, Artikel 129, justru mengatur kebalikannya: hak mengangkat menteri murni hak perogratif presiden, namun dalam hal presiden hendak memberhentikan, maka presiden harus mempertimbangkan suara partai politik dan parlemen.

Ragam langgam pengisian jabatan menteri ini menunjukan tingkatan pemaknaan sistem presidensial di masing-masing negara. Indonesia, pasca perubahan UUD 1945, memiliki kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial. Salah satu langkah memperkuat sistem presidensial dapat pula dimaknai dengan adanya kewenangan yang mutlak bagi Presiden dalam memilih pembantunya.

Dalam kacamata hukum tata negara, model pengisian jabatan menteri Indonesialah yang paling mendekati dan menjamin sistem presidensial yang efektif tanpa harus tersandera kepentingan parlemen. Karenanya, untuk menghilangkan asumsi bahwa sistem presidensial kita bercita rasa parlemen, maka dalam memilih pembantunya, presiden harus terbebas dari memikirkan pertimbangan partai politik yang duduk di parlemen.

Kishore Mahbubbani, profesor dan dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, menyampaikan postulatnya mengenai resep sukses Singapura dalam membangun bangsanya. Formula tersebut disingkat dengan istilah “MPH” (meritocracy, pragmatis, honesty).  

Pertama, meritokrasi. Presiden memang harus menempatkan the right man on the right place untuk mengisi jabatan menteri sehingga kabinet yang terbentuk memang zaken kabinet. 

Kedua, pragmatis. Presiden harus memikirkan sisi pragmatis memilih pembantu terbaiknya untuk meninggalkan kebijakan yang dapat menjadi warisannya di periode kedua sekaligus periode terakhir Jokowi. 

Ketiga, honesty. Memilih menteri yang memiliki integritas, kredibilitas, dan kejujuran adalah kunci utama membangun bangsa. Maka, model pelibatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk melacak jejak rekam calon-calon menteri sebagaimana dipraktikkan pada seleksi kabinet Kerja 2014-2019 lalu harus dipertahankan.

Bisakah Pak Jokowi menghapus asumsi bahwa sistem presidensial kita bercita rasa parlemen? Tunggu sebentar lagi….

Kolom terkait

Menanti Kabinet Jokowi Jilid Dua

Jokowi dan Kabinet Agile (Gesit dan Lincah)

Saatnya Jokowi Menyusun Kabinet Antikorupsi

Kala Horang Kayah Kongkow di Parlemen Kita

Sekadar Catatan untuk Menteri Dian Sastro

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.