Kamis, Maret 28, 2024

Jokowi dan Negara Demokrasi Abal-abal

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)

Demokrasi adalah bentuk negara yang paling buruk dalam pandangan Plato. Sebab, menurutnya, bentuk negara terbaik bukan negara yang dipimpin oleh banyak orang melainkan cukup oleh beberapa orang yang memiliki kecakapan yang disebut dengan kaum arisktorat.

Plato menyangsikan pemerintah demokrasi dapat berjalan efektif. Dalam negara demokrasi, kata Plato, sulit sekali mencari titik keseimbangan (equilibrium) atas hasrat dan kehendak rakyat yang beragam ditambah dengan faktor determinan lainnya yang menentukan kualitas demokrasi: pendidikan, sosial, budaya, dan latar belakang politik.

Yang menjadi paradoks, gelombang demokratisasi yang dialami hampir semua negara di belahan dunia berkeyakinan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dalam tata kelola organisasi negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menganut paham ini seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.

Kedaulatan rakyat ini pun dibaluti dengan paham kedaulatan hukum dengan menempatkan hukum sebagai panglima dalam praktik ketatanegaraan Indonesia (supremasi hukum) sebagaimana dimaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Pada hakikatnya, bentuk negara demokrasi dapat menjadi bentuk terbaik dengan asumsi sepanjang ia dijalankan sesuai dengan prosedur dan sistem yang benar. Demokrasi menuju kepada bentuk negara yang dipimpin oleh banyak orang, namun dalam wajah jeleknya, mobokrasi, ketika kemudian dalam pembuatan keputusan tidak lagi berlandaskan kepada kepentingan orang banyak (the greatest happiness for the greatest numbers), melainkan hanya kepada adu kuasa dan adu kekuatan semata.

Fenomena sosial inilah yang akhir-akhir ini terpampang dalam wajah demokrasi Indonesia. Penolakan terhadap revisi UU KPK dan calon pimpinan KPK terpilih yang disampaikan sejumlah besar masyarakat sipil dan akademisi vis a vis dengan sikap tuli kaum elite parlemen dan melaju terus dalam agenda perubahan UU KPK.

Sejatinya, sikap DPR dan Presiden yang mengabaikan suara rakyat (grassroot voice) adalah bentuk pembangkang terhadap konsep negara demokrasi dalam arti filosofis. Sebab, dalam rancang bangun negara demokrasi, daulat mutlak itu adalah milik rakyat, sementara penguasa hanya orang yang diberikan kuasa untuk melaksanakan amanat pemilik daulat dimana mereka dilegitimasi melalui proses pemilihan umum.

Karenanya, ketika penguasa melakukan sesuatu yang di luar kehendak rakyat, sejatinya saat itu sudah terjadi pembangkangan yang dilakukan oleh penguasa. Maka, untuk mengembalikan demokrasi kepada khittahnya yang hakiki, konsep demokrasi harus dimaknai dalam bingkai demokrasi deliberatif (deliberative democracy). Suatu pendekatan yang berbeda dalam memandang paham demokrasi yang berkaitan erat dengan upaya meningkatkan kualitas demokrasi.

Perbaikan kualitas demokrasi tersebut diawali dengan menghadirkan demokrasi substantif dan partisipatif. Demokrasi substantif mengacu kepada inti yang hendak dicapai. Pertanyaannya, bagaimana mungkin suatu revisi UU KPK dapat mencapai kepentingan bersama kalau kemudian partisipasi masyarakat diabaikan, bahkan pimpinan lembaga KPK tidak diajak dalam membahas revisi UU yang menyangkut lembaga yang mereka pimpin.

Kaum demokrat  tentu bukan kelompok orang yang kemudian anti dengan suatu perubahan. Sebab, perubahan adalah sesuatu yang conditio sine qua non. Namun, yang dikehendaki dalam demokrasi adalah adanya pelibatan aktif masyarakat untuk melakukan perubahan, bukan sekadar ditentukan oleh elite semata.

Di sisi lain, sejumlah pasal yang diajukan untuk perubahan bermuatan konten yang melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Karena itu, sangat wajar jika kemudian masyarakat bereaksi keras dan khawatir atas masa depan pemberantansan korupsi di Indonesia. Agenda perubahan yang terkesan terburu-buru mengisyaratkan adanya sebuah maksud terselubung dalam perubahan UU KPK.

Padahal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjelaskan tahapan proses legislasi yang terdiri dari lima tahap yaitu: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan, yang dalam setiap tahapannya harus melibatkan partisipasi publik.

Selain itu, UU Nomor 12 Tahun 2011 juga memberikan rambu-rambu tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang kemudian harus dipatuhi oleh pembentuk UU (legislator) di antaranya asas kejelasan tujuan dan keterbukaan.  Namun, dengan tergesa-gesanya proses pembentukan revisi UU ini oleh DPR tentu akan rentan cacat formil atau prosedural. Karenanya, UU tersebut bisa saja kemudian dipersoalkan dalam judicial review di Mahkamah Konstitusi baik secara formil maupun materil.

Maka, Presiden Joko Widodo dan DPR perlu mengajak kembali publik berdialog demi menjaring kehendak masyarakat yang sesungguhnya terkait revisi UU KPK. Bukankah tugas pemerintah dan lembaga perwakilan itu adalah mendengar dan menghimpun aspirasi masyarakat, bukan aspirasi pribadinya. Jika aspirasi diabaikan, bisa jadi demokrasi kita saat ini merupakan demokrasi abal-abal, bukan?

Hakikat dari negara demokrasi adalah salus populi suprema lex, yakni hukum tertinggi adalah suara rakyat. Bahkan lebih lanjut suara rakyat dalam alam demokrasi disamakan dengan suara tuhan sebagai bentuk daulatnya yang utuh (vox populi vox dei).

Kolom terkait

Jokowi di Tengah “Negara Bayangan”

Bye Bye KPK…

KPK Mangkat? Lahul Fatihah…

KPK dan DPR, Sinetron Kejar Tayang

Surat Penting untuk Pak Jokowi tentang Kematian KPK

Ari Wirya Dinata
Ari Wirya Dinata
Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas 2012-2018 dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (2019- sekarang)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.