Menjelang satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditasbihkan dengan tuding-menuding soal siapa sebetulnya yang berinisiatif memasukkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas di tahun 2015. Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan, revisi UU KPK merupakan usulan pemerintah dalam rapat bersama DPR pada Juli lalu. Ketika itu pemerintah diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM. Adapun pemerintah berdalih tak ada keinginan untuk merevisi, apalagi mereduksi, kewenangan KPK. Artinya belum ada keinginan dari pemerintah untuk merevisi UU KPK.
Meski revisi UU KPK ini diputuskan untuk ditunda, bukan berarti praktik “teror legislasi” pada pemberantasan korupsi ini akan berhenti. Boleh jadi, rencana revisi UU KPK ditunda setelah mendapat kecaman keras dari banyak kalangan, karena diyakini merupakan stimulan untuk “menutup” KPK.
Dari draf revisi UU KPK yang beredar luas ke publik, ada beberapa ketentuan yang hendak membonsai habis keberadaan lembaga antirasuah itu. Pertama, ketentuan limitasi keberadaan lembaga KPK selama 12 tahun sejak revisi UU KPK disahkan. Kedua, kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan akan dihilangkan. Keberadaan KPK hanya terbatas pada proses penyelidikan dan penyidikan saja, dan itu pun hanya untuk kasus korupsi yang bernilai minimal Rp 50 miliar. Ketiga, kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan dipaksa untuk harus didahului dengan izin pengadilan.
DPR dan pemerintah memang dua lembaga yang punya kewenangan sama kuat dalam menjalankan fungsi legislasi. Keduanya sama-sama berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk dibahas bersama agar mendapatkan persetujuan. Namun, setelah hampir setahun berjalan, rezim pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang sangat mengecewakan, khususnya untuk fungsi legislasi. Pemerintah dan DPR seolah berjalan tanpa arah dan bahkan minus prioritas.
Sejak awal mulai dilantik, jalannya fungsi legislasi DPR dan pemerintah tak pernah lepas dari kontroversi. Mulai dari revisi kilat UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Proses revisi yang hanya berlangsung kurang dari 14 hari, hanyalah dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan elite partai politik di DPR dalam membagi kuasa pimpinan alat kelengkapan dewan, pascabloking politik sebagai kelanjutan persaingan pemilihan presiden 2014.
Setelah itu, DPR dan pemerintah juga melakukan revisi terbatas terhadap beberapa ketentuan di dalam UU Pilkada yang sebelumnya berasal dari Perppu yang dikeluarkan Susilo Bambang Yudhoyono. Hasilnya pun juga jauh dari kata baik–kalau tidak mau dibilang mengecewakan. Revisi yang dilaksanakan dengan terburu-buru dan sarat tawar menawar politik melahirkan banyak lubang dalam UU Pilkada hari ini. Salah satunya adalah soal rumusan sanksi untuk pelanggaran politik uang nihil di dalam UU Pilkada.
Dalam perkembangannya, perdebatan tajam juga dimunculkan oleh DPR dan pemerintah dalam merumuskan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pembahasan rancangan KUHP nasional yang sudah bertahun-tahun kembali terhenyak ketika muncul protes terhadap langkah para pembentuk undang-undang yang hendak memasukkan ketentuan beberapa tindak pidana khusus ke dalam rancangan KUHP. Salah satunya adalah tindak pidana korupsi.
Ketika tindak pidana korupsi masuk ke dalam rancangan KUHP, ini tentu saja akan berujung pada pengkerdilan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Setelah tindak pidana korupsi tak lagi menjadi tindak pidana khusus, seketika itu juga KPK kehilangan peran dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Ini jelas salah satu langkah legislasi yang sulit diterima akal sehat, karena eksistensi KPK masih sangat dibutuhkan bersama aparat penegak hukum lainnya dalam melawan praktik korupsi di Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah selama ini tentu mengkhawatirkan eksistensi lembaga ini dalam hal legislasi nasional. Kebutuhan ketatanegaraan dan kebutuhan publik yang terus berjalan dan berkembang pasti akan terhambat ketika DPR dan pemerintah masih saja belum menentukan arah yang jelas dalam prioritas legislasinya. Langkah-langkah kontroversial yang bertentangan dengan kebutuhan dan keinginan publik banyak mesti dihentikan.
Padahal, di luar langkah para pembentuk undang-undang yang menuai banyak keberatan, ada beberapa kebutuhan legislasi yang harus segera dimulai dan diselesaikan. Salah satunya UU terkait pelaksanaan Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan secara serentak antara pemilu legislatif dan pemilu presiden. Desaian pemilu yang sangat baru ini tentu butuh pengkajian dan persiapan yang jauh lebih matang dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Idealnya, pembahasan UU terkait dengan penyelenggaraan pemilu serentak harus sudah dimulai pada tahun 2016, dan selambat-lambatnya sudah selesai di awal tahun 2017. Dengan demikian, ada waktu yang cukup untuk pembahasan dan persiapan dalam penyelenggaraan pemilu serentak.
Karena itu, satu tahun pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mesti berkaca dan berbenah. Prestasi mereka dalam hal legislasi begitu sangat mengecewakan. Semoga hari jadi pertama pemerintahan hasil Pemilu 2014 menjadi momentum emas dalam pembenahan kerja legislasi.