Jumat, April 26, 2024

Jokowi dan Fobia Jurnalis Asing

Ignatius Haryanto
Ignatius Haryanto
Pemerhati media dan Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta
Presiden Joko Widodo (kiri) menerima jaket media dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono (kanan) saat acara Silaturahim Pers Nasional di Jakarta, 27 April 2015. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
Presiden Joko Widodo (kiri) menerima jaket media dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono (kanan) pada Silaturahim Pers Nasional di Jakarta, 27 April 2015. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

Pekan lalu Pengadilan Negeri Batam mengadili dua orang wartawan asal Inggris, Neil Richard George Bonner dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser, karena dianggap menyalahgunakan visa mereka untuk kegiatan jurnalistik.

Keduanya ditangkap oleh tim Reaksi Cepat TNI Angkatan Laut Batam yang terdiri dari pasukan Lantamal IV Tanjungpinang, Lanal Batam, dan Batalyon Marinir 10 SBY pada akhir Mei lalu bersama 11 orang lainnya saat melakukan pembuatan film dokumenter bertema perampokan di Selat Malaka. Dua jurnalis tersebut sempat ditahan selama empat bulan sebelum akhirnya diajukan ke Pengadilan Negeri Batam.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Suwarjono dalam siaran persnya, Kamis (1/10), menyebut bahwa tindakan pemerintah Indonesia tersebut terlalu berlebihan hingga mengadili dua jurnalis ini. Menurut Suwarjono, jika pemerintah Indonesia menilai keduanya bersalah, seharusnya dua jurnalis anggota National Union of Journalist, Inggris, ini segera dideportasi ke negara asalnya.

Jika dicermati, sudah setahun lebih pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memegang kendali kekuasaan, dan perlahan-lahan sejumlah janji yang pernah dikemukakan Jokowi pada saat kampanye dan pada saat awal pemerintahannya tak lebih dari hiasan bibir semata.

Belum lama berselang menyangkut jurnalis asing yang hendak meliput di Papua, Presiden Jokowi mengatakan akan melunakkan aturan soal peliputan wartawan asing di Papua. Toh, ini juga tak menunjukkan bukti konkretnya. Faktanya, Pemerintah RI pada Oktober 2014 juga menghukum dua jurnalis asal Prancis, Thomas Dandois (40) dan Valentine Bourrat (29), yang meliput di Papua.

Kedua jurnalis Prancis ini sempat dikenai vonis hakim hukuman penjara dua bulan untuk penyalahgunaan visa. Tetapi di luar sekadar urusan pelanggaran visa, ini pertanda Pemerintah RI belum cukup siap menerima keterbukaan dan peliputan yang dilakukan oleh para jurnalis asing.

Pemerintahan Jokowi pada masa kampanye memberi kesan kuat sebagai figur yang demokratis, mau terbuka, memberi kesempatan adanya dialog, bahkan memberi ruang untuk suara yang berbeda. Namun, dua fakta yang terkait para jurnalis luar negeri, rupanya pemerintahan Jokowi belum lagi sanggup membuktikan sejalannya janji dan perbuatan. Entah siapa yang membisiki Jokowi.

Sikap Pemerintah RI yang seperti ini sebenarnya tak mengherankan karena trauma atas liputan para wartawan asing itu sudah lama bercokol dalam diri pemerintah, khususnya di masa Orde Baru. Di zaman Orde Baru, wartawan asing dianggap sebagai “foreign devil”–menyitir judul buku yang ditulis menggambarkan hubungan antara Indonesia dan para wartawan asing, khususnya Australia.

Harus dipahami bahwa di zaman Orde Baru, informasi mudah dikendalikan oleh pemerintah, arus informasi gampang disetop, wartawan asing bisa dilarang masuk ke Indonesia. Atau jika ada terbitan luar negeri yang menulis kritis soal Indonesia, esoknya kita akan melihat halaman tertentu dari media tersebut berwarna hitam atau disobek.

Sekarang hampir 20 tahun lalu Orde Baru berakhir, betulkah ketakutan pada jurnalis asing (semacam xenophobia juga) masih ada? Mengapa fobia semacam itu masih kuat bercokol? Bukankah pemerintahan Jokowi bukan pengulangan dari pemerintahan Orde Baru?

Lagi pula, dengan segala teknologi informasi yang ada, apakah kontrol atas informasi masih efektif dilakukan? Apakah menahan wartawan asing untuk tidak meliput Indonesia (Papua atau daerah lainnya) masih tetap efektif? Siapa yang sesungguhnya senang memelihara semangat fobia ini?

Wajah kebebasan pers di Indonesia sering diukur dengan peringkat yang dikeluarkan lembaga-lembaga seperti Reporters San Frontiers (Paris) atau Committee to Protect Journalist (New York). Dan insiden penahanan wartawan asing tak lebih dan tak kurang hanya akan memperburuk citra Indonesia jika dikaitkan dengan kebebasan pers.

Perlu diingat, Indonesia sempat dianggap “champion” dalam hal kebebasan pers di Asia Pasifik pada akhir 1990-an dan awal 2000-an. Kalau dalam waktu satu setengah dekade posisi kita dianggap setara dengan Myanmar atau Korea Utara, bukankah ini justru celaka?

Jika kita sebagai negara dan bangsa ingin menampilkan diri dan wajah kita apa adanya pada masyarakat dunia, persilakan para jurnalis asing menjelajahi Indonesia dan menulis apa yang mereka mau. Jika ada yang tidak akurat atau kurang pas, selalu ada tempat untuk menunjukkan ketidakakuratan pengamatan tersebut. Tapi melarang para jurnalis meliput ke Indonesia? Hal ini cuma memperburuk wajah Indonesia.

Kita masih berharap pemerintahan Jokowi serius memikirkan soal kebebasan pers di Indonesia dan melaksanakan komitmen demokrasinya terkait media. Jika tidak, percayalah posisi Indonesia makin terus melorot jika janji-janji di awal kampanye tak dibuktikan dalam kenyataannya.

Ignatius Haryanto
Ignatius Haryanto
Pemerhati media dan Peneliti Senior Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.