Hampir tiap hari beberapa televisi nasional, seperti Metro TV, TV One, dan Kompas TV, menyiarkan secara langsung proses persidangan Jessica Wongso atas tuduhan menghilangkan nyawa Wayan Mirna Salihin di Kafe Oliver Grand Indonesia pada 6 Januari 2016 yang diduga menggunakan racun sianida. Sejak kasus ini mencuat, istilah racun sianida begitu familiar di tengah khalayak.
Kini, proses hukumnya memasuki babak krusial: tahap pembuktian. Dikatakan krusial sebab pada tahap inilah segala alat bukti akan diuji di persidangan. Bila penuntut umum tidak mampu membuktikan tuduhannya, maka konsekuensi logisnya terdakwa dibebaskan (actore non probante reus absolvitur). Sebaliknya, jika terdakwa tidak mampu membantah bukti-bukti yang diajukan penuntut umum, maka ia akan dijatuhi pidana (actori incumbit onus probandi).
Jadi, ini ibarat pertarungan bukti antara terdakwa versus penuntut umum. Saya sendiri sengaja menahan diri untuk tidak menuliskan gagasan akademis atas masalah tersebut sebab prosesnya tengah berjalan. Tetapi dalam sepekan terakhir benang merah masalah ini semakin jelas warnanya.
Dimulai dari pemeriksaan ahli, seperti Prof. Eddy O.S. Hiariej (ahli hukum Pidana UGM, guru saya sendiri) hingga ahli patalogi forensik dari Australia bernama Prof. Beng Beng Ong. Hal ini semakin menggugah nalar kita dan terus bertanya apakah benar Jessica membunuh Mirna dengan menggunakan sianida?
Delik Materil
Penuntut umum mendakwa Jessica dengan tuduhan melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Secara terminologi pasal ini sering disebut sebagai pasal pembunuhan berencana (moord), sebagai pembeda dari pembunuhan biasa (doodslag) yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.
Kedua bentuk pembunuhan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan tidak membutuhkan motif dalam implementasinya. Dalam perspektif hukum pidana, istilah “perbuatan” dalam frasa perbuatan pidana mengandung dua hal yakni kelakuan (handeling) dan akibat (gevolg). Imbasnya, dalam melihat perbuatan pidana arahnya terbagi dua, yakni ada yang menitikberatkan pada perbuatan saja (delik formil) tetapi ada juga yang menitikberatkan pada akibat (delik materil).
Dalam delik formil seseorang sudah dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana ketika perbuatannya telah memenuhi unsur-unsur pasal. Sedangkan dalam delik materil perbuatan seseorang tersebut telah menimbulkan akibat, misalnya hilangnya nyawa seseorang. Jadi, seseorang baru dapat dikatakan menghilangkan nyawa orang lain apabila korban benar-benar meninggal dunia.
Konsekuensi yuridis nan logis dari delik materil adalah penyelidikannya harus dimulai dari akibat. Sebab, karakteristiknya adalah menitikberatkan pada akibat. Dalam konteks pembunuhan berencana, fokus utama penyidik dan penuntut umum adalah harus mengetahui mengapa seseorang kehilangan nyawa? Korelasinya dengan kasus Jessica adalah bahwa penuntut umum mesti memulai dengan pertanyaan mengapa Mirna meninggal dunia?
Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan kajian lebih lanjut, misalnya melalui otopsi forensik oleh dokter ahli di bidangnya. Masalahnya kemudian adalah ternyata ada perbedaan pandangan dan keyakinan signifikan antara ahli forensik yang dihadirkan oleh penuntut umum dan yang dihadirkan oleh kubu Jessica.
Di satu pihak, ahli forensik dari penuntut umum meyakini bahw Mirna meninggal karena racun sianida dengan konsentrat 0,2 ml yang terdapat di lambung. Di pihak lain, ahli dari Jessica meragukan keberadaan sianida 0,2 ml tersebut sebagai penyebab kematian Mirna. Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa konsentrat 0,2 ml sianida bila melalui mulut seharusnya rentan waktu matinya korban cukup lama dan takaran 0,2 ml tersebut tidak mutatis mutandis membunuh seketika.
Pada titik ini hakim akan mengalami dilema (keragu-raguan), sebab belum diketahui persis penyebab kematian korban. Masalah lain yang mesti dijawab juga adalah jika benar terdapat sianida dalam lambung Mirna, maka siapakah yang menaruh racun tersebut?
Sampai sidang pada Rabu pekan lalu belum dapat dipastikan bahwa Jessica yang menaruh racun sianida di minuman Mirna. Parahnya lagi pada bukti CCTV tidak ada tayangan yang menunjukkan bahwa Jessica yang menaruh racun di minuman Mirna. Intinya, kematian Mirna masih menjadi misteri yang mesti diungkap dalam persidangan.
Ihwal Alat Bukti
Dalam hukum acara pidana Indonesia, ketentuan tentang alat bukti diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Secara implisit baik pihak penuntut umum maupun terdakwa mengajukan alat bukti di persidangan berupa: keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan bukti CCTV.
Perlu diketengahkan di sini bahwa penggunaan CCTV sebagai bukti belum dikenal dalam KUHAP. Namun demikian, dalam praktiknya di Indonesia keberadaan CCTV telah berulang kali digunakan sebagai alat bukti, misalnya dalam perkara tindak pidana terorisme. Saya pun berkeyakinan bahwa CCTV dapat dijadikan sebagai alat bukti, yakni bukti petunjuk. Jadi, tidak perlu ada perdebatan di situ.
Masih mengenai alat bukti, berdasarkan alat-alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan, kekurangan utamanya adalah alat bukti yang dapat menunjukkan keterlibatan Jessica sebagai orang yang menaruh racun sianida di kopi Mirna. Jika melihat tayangan CCTV, tidak ada satu potongan gambar pun yang dapat menunjukan bahwa ada pergerakan badan atau tangan dari Jessica ketika ia sedang menaruh sianida.
Apalagi bila mencermati keterangan saksi, tidak ada satu saksi pun yang melihat atau mendengar bahwa Jessica sedang menaruh sianida di kopi Mirna. Inilah yang saya katakan sejak awal bahwa majelis hakim akan mengalami dilema ihwal penentuan siapa yang membunuh Mirna. Sebab, penuntut umum dengan merujuk pada alat-alat bukti yang diajukannya belum dapat membuktikan bahwa Jessica-lah yang menaruh racun.
Padahal, dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Yakni, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Secara teori peraturan ini sering disebut sebagai negatief wettelijk bvewijstheorie (pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif). Jadi, untuk menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak pidana, selain berdasarkan dua alat bukti, hakim juga harus yakin bahwa terdakwalah yang melakukannya.
Jika dua alat bukti tidak terpenuhi (bewijs minimum-prima facie evidence), hakim tidak dapat menjatuhkan pidana, meski ia sendiri meyakini bahwa pelaku bersalah. Demikian pula sebaliknya. Konsekuensinya, bila terdapat keragu-raguan pada diri hakim, maka ia harus menjatuhkan putusan yang paling meringankan bagi terdakwa (in dubio pro reo atau lex favor reo). Hal ini selaras dengan postulat yang biasa disebut lex favor reo dalam hukum acara pidana.