Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, yang akrab disapa Buya, pada hari-hari menjelang Pilkada Jakarta, mungkin menjadi orang kedua yang paling banyak di-bully, atau bahkan dinista di ruang publik, setelah Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Buya dianggap membela Ahok yang dituduh menista al-Qur’an.
Buya dituduh berbohong karena mengaku tidak mengenal Ahok, sementara ada foto yang menunjukkan dirinya makan satu meja bersama Ahok. Meskipun sudah ada penjelasan soal foto yang ternyata diambil sudah lama dalam acara resmi yang mengharuskan Buya satu meja dengan Ahok, toh tidak menyurutkan tuduhan itu.
Uniknya Buya, walau sudah tahu banyak kalangan menista dirinya, ia tetap mau tampil di TVOne dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang kontroversial itu. Ibarat tungku yang apinya menyala-nyala, disiramkan pula minyak tanah ke dalamnya. Akibatnya, oh my God!, Buya tak hanya dikecam, banyak bertebaran tulisan dan pernyataan pendek di media sosial yang memintanya agar segera bertobat, kembali ke jalan yang benar.
Buya dianggap kafir karena membela orang kafir. “Dibayar berapa, sih, Buya?” Astaghfirullah, ada juga yang menuduh Buya telah “dibeli”.
Sebagai orang yang merasa mengenal sedikit tentang Buya, saya ingin membagi pandangan yang mungkin saja subjektif, tapi apa pun penilaian Anda tentang tulisan ini, tak ada masalah. Di mata saya, Buya bukanlah orang yang selalu benar, apalagi merasa paling benar. Yang saya yakini, Buya menyampaikan pendapatnya bukan karena faktor “pendapatan” atau karena interes politik.
Bahwa Buya pernah menjadi penasihat Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), sayap Islam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), benar adanya. Tapi apakah Buya pendukung kebijakan-kebijakan PDIP? Tidak juga. Kita pasti masih ingat, siapa tokoh terdepan yang menolak Budi Gunawan sebagai calon Kapolri yang didukung penuh PDIP?
Buya juga tercatat sebagai salah satu tokoh pendiri ormas Nasional Demokrat (Nasdem). Tapi apakah Buya selalu mendukung kebijakan-kebijakan Partai Nasdem? Tidak juga.
Pendapat Buya yang disampaikan dalam ILC, juga dalam kolomnya, “Ahok tidak Menghina Al-Quran”, sama sekali bukan karena interes politik, apalagi karena dibayar, tapi lebih karena keprihatinan terhadap kondisi masyarakat, terutama umat Islam, yang tidak segan-segan menjadikan agama bukan sebagai panduan moral melainkan sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan atau untuk menghantam lawan. Keprihatinan inilah yang membuat Buya (seolah-olah) membela Ahok.
Keprihatinan Buya tentang agama yang dijadikan alat politik bukan cerita baru. Sejak pulang sekolah dari Amerika awal tahun 80an, Buya sudah lantang menyuarakan itu. Bahkan dosisnya kadang berlebihan sehingga tak jarang terkesan naif, karena faktanya mungkin masih banyak politisi Muslim (a.k.a aktivis partai berasaskan Islam) yang menjadikan al-Qur’an sebagai panduan moral, tak semata alat politik. Tapi di mata Buya, bangunan politik yang sesuai moralitas al-Qur’an hanya ada pada periode Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa al-Rasyidin (empat sahabat Nabi), khususnya sebelum pecah perang Siffin.
Pada periode berikutnya (hingga saat ini?), panduan moral al-Qur’an mulai telantar di bawah duli mahkota khalifah, amir, raja, sultan, atau presiden di negara Islam yang tidak jarang saling baku hantam sesama mereka.
Pandangan-pandangan kritis Buya terhadap para politisi partai Islam tidak lepas dari pengaruh Fazlur Rahman (gurunya di Universitas Chicago, AS), Muhammad Iqbal (pemikir, penyair), dan Muhammad Hatta–tokoh Proklamator RI yang pernah menyampaikan nasihat bagi umat Islam: “Pakailah garam, terasa tapi tidak kelihatan, dan jangan menggunakan gincu, kelihatan tapi tidak terasa.”
Mirip dengan Nurcholish Madjid (teman sekampusnya di Chicago), Buya lebih mengedepankan Islam substantif ketimbang Islam politik. Islam substantif dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, itulah komitmen Buya.
Pendiri ICIP (International Center for Islam and Pluralism), M. Syafi’i Anwar, pernah bertanya pada Buya, mengapa lebih mengagumi Hatta ketimbang Muhammad Natsir, Mohamad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Kasman Singodimedjo, atau tokoh-tokoh Islam lainnya yang banyak dijadikan teladan dan rujukan para aktivis Muslim? Buya menjawab: “Karena wawasan ke-Indonesiaan dan integritasnya sebagai Muslim.”
Hatta adalah tokoh yang disebut Endang Saifuddin Anshary sebagai “nasionalis sekular”. Untuk sebagian aktivis Muslim, Hatta dianggap “menyakiti” umat Islam karena berperan besar dalam menghapus “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Bahkan ada juga yang menuduh Hatta sebagai “pendusta” karena opsir Jepang yang menemuinya dan menyampaikan pesan bahwa Indonesia Timur akan berpisah jika “tujuh kata” tidak dihapus, masih misterius hingga saat ini.
Ridwan Saidi pernah mengatakan: “Dengan segala hormat saya pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta saya harus mengatakan bahwa ia berdusta.” Kalau kita searching di dunia maya, bagi sebagian pendamba pemberlakuan syariat Islam di Indonesia, Hatta kerap disebut “pengkhianat” yang dikontraskan dengan “pejuang” seperti Ki Bagus Hadikusumo yang nota bene Ketua Muhammadiyah (1944-1953).
Dengan demikian, kalau kita cermati, “tuduhan-tuduhan sadis” yang dilontarkan para aktivis Islam terhadap pemimpin Muslim yang memperjuangkan semangat keindonesiaan bukan hal baru, dan bukan hanya menimpa Buya Syafii Maarif. Nurcholish Madjid yang melontarkan “Islam yes, Partai Islam no” juga pernah menerima tuduhan yang kurang lebih sama.
Melihat kenyataan ini, memperjuangkan nilai-nilai keislaman—dalam bahasa Buya—yang sesuai dengan semangat keindonesiaan dan kemanusiaan, masih merupakan jalan terjal yang tidak mudah kita lewati. Siapa pun boleh saja berteriak lantang NKRI harga mati, tapi di tengah makin maraknya kelompok-kelompok yang bercita-cita (baik diam-diam maupun terang-terangan) ingin membangun khilafah Islamiyah, teriakan itu masih perlu diuji.
Perjuangan makin berat karena kelompok-kelompok itu sekarang sudah memasuki institusi yang secara formal berhak mengatasnamakan ulama dan zu’ama (pemuka organisasi-organisasi Islam) dari seluruh Indonesia. Dan, Buya, sekarang “berhadapan” dengan mereka!