Ketika Ainsley Maitland-Niles berlari di tiang jauh tanpa kawalan, menyongsong bola yang menyeberang mulut gawang yang diumpan Alex Iwobi, dan kemudian membuat gol untuk Arsenal, gol pertama Maitland-Nile untuk timnya, Arsenal seperti melesat ke luar angkasa. Itu hanya sebelas menit setelah para Kopites selesai menyanyikan You’ll Never Walk Alone.
Arsenal mungkin akan menang untuk pertama kalinya atas Liverpool setelah tujuh pertemuan. Mereka boleh jadi akan memberi kekalahan pertama Liverpool musim ini di Liga. Yang pasti, mereka sedang memimpin di Anfield, tempat Liverpool lebih dari satu tahun terakhir (tepatnya 364 hari) tak pernah tertinggal.
Dan gol Maitland-Niles itu juga menunjukkan bahwa baris pertahanan Liverpool tak seketat yang digembar-gemborkan. Mereka boleh saja baru kebobolan tujuh gol sebelumnya, tapi mereka toh bisa melakukan kesalahan—mereka masih Liverpool yang lama. Fabinho, gelandang terbaik mereka dalam beberapa pertandingan terakhir, membuat salah umpan fatal yang memberi lawan kesempatan pertama. Lalu Lovren, “bek terbaik di dunia” itu, kembali ke kebiasaan buruknya, dengan melakukan sapuan lemah yang memberikan ruang bagi Arsenal untuk menekan, dan dengan mudah melepas Iwobi mengirimkan umpan bagi terjadinya gol Arsenal.
Namun, lima menit kemudian, Arsenal tiba-tiba seperti tersesat. Mereka seperti tak tahu mesti ke mana. (Ke Rwanda? Sebagaimana iklan yang menempel di bahu kiri kaus mereka?) Satu hal yang mereka tahu, mereka sedang di Anfield, dan sedang menyongsong pembantaian, sebagaimana yang mereka alami musim sebelumnya.
Liverpool menyamakan kedudukan tiga menit kemudian, dengan gol yang tipikal terjadi di depan gawang Arsenal: berawal dari kepanikan. Setelah menerima bola hadiah dari punggung Mustafi, Roberto Firmino, dengan seringai nakalnya, mencetak gol ala bocah Pantai Timur Brasilia; kaki dan bolanya ke gawang kosong, sementara mukanya ke arah penonton. Gol kedua, dengan gaya Brasil juga, tapi dari cari yang berbeda, hanya dicetak dua menit kemudian. Meliuk di antara para bek Arsenal, Firmino menggoyang pinggulnya. Sokratis, Mustafi, dan Torreira bergelimpangan. Dan kiper Bernd Leno hanya bisa menangkap angin.
Pertandingan sudah selesai ketika Sadio Mane mencetak gol ketiga, jadi mari tak usah berkepanjangan menulis soal gol keempat dan kelima. Kita simpulkan saja: itu Arsenal lama, Arsenal yang sama, yang itu-itu saja.
***
Liverpool unggul sembilan angka dari pesaing terdekatnya, Spurs, yang setengah jam sebelumnya dijungkalkan Wolves di Wembley. Para pengamat bilang, Liverpool tak tersentuh, dan sepertinya tak mungkin terkejar. Tapi jangan lupakan, hanya tiga pekan sebelumnya, Man City-lah yang mendapatkan predikat “untouchable” itu. Di kolom ini, bersama Barca, Juventus, dan PSG, City disebut menjadi salah satu tim di liga-liga terkemuka Eropa yang tampaknya akan mempertahankan gelar juara.
Semua berubah sejak mereka kalah dari Chelsea di Stamford Bridge pada pekan ke-16, kekalahan pertama mereka di musim ini. Setelah itu, City kalah dua kali dalam tiga pertandingan terakhir, dengan dua kekalahan datang dari Palace dan Leicester, tim-tim yang seharusnya bisa mereka atasi dengan mudah. Dan tiba-tiba mereka ada di peringkat ketiga, tertinggal 10 angka.
Kevin de Bruyne keluar-masuk tim karena cedera, namun tak tampak ada yang berubah dari City. Mereka seperti mesin, bekerja dengan cara yang sama dan rutin, siapa pun yang turun main. Mahrez yang baru datang dari Leicester dengan mudah nyetel. Bernardo Silva terlihat seperti sedia kala, saat kita menemukannya bermain untuk Monaco tiga musim lalu. Dan Sterling semakin menggila. Mereka, bersama Sane dan Gabriel Jesus, dan lebih dari sepertiga pemain City lainnya, bergantian mencetak gol saat Aguero minggir atau sedang tak tampil baik. Itu membuat mereka menjadi tim tersubur di Liga, dan tetap menjadi yang tersubur hingga pergantian tahun. Sementara, di sisi belakang, bek-bek mahal mereka sepertinya sedang berada di titik apinya. Stone jadi pemimpin baru, karena Kompani cuma datang untuk pergi. Laporte vital dan mematikan.
Sampai kemudian Fernandinho cedera.
Menurut sebuah statistik, Fernandinho membuat City punya kemungkinan menang sepuluh persen lebih besar jika turun lapangan. Tapi lupakan hitungan pelik itu. Yang jelas, dari tiga kekalahan yang telah diderita City, dua kekalahan terakhir—dua kekalahan yang tak semestinya—dialami ketika Fernandinho tak bermain. Ia tidak turun ketika mereka kalah dari Crystal Palace di kandang sendiri, dan tendangan voli sentuhan pertama dari jarak jauh oleh Andros Townsend hanya jadi penegasnya saja. Fernandinho tak turun lagi di pertandingan melawan Leicester City, dan mereka kalah untuk ketiga kali. Yang paling mencolok, jumlah angka kebobolan mereka dalam 5 pertandingan terakhir lebih dari separuh jumlah kebobolan mereka dalam 15 pertandingan sebelumnya.
“Ia pemain hebat,” kata Pep Guardiola tentang Fernandinho. Itu dikatakan setelah kekalahan dari Leicester City, dan ditujukan untuk menjelaskan betapa City sangat kehilangannya. Dan Pep pantas cemas, sebab ia tak kunjung menemukan pelapis yang sepadan untuknya, sementara ia telah menua dan mulai kerap dihampiri cedera. Gundogan terlalu flamboyan, Yaya Toure sudah pergi, sementara Delph sudah diubah Pep jadi bek kiri—itu pun cadangan.
Pada pertandingan di pengujung tahun melawan Southampton, Fernandinho kembali ke lapangan. Man City pun kembali menang. Ketika ia digasak dari belakang dengan tekel gunting oleh kapten Soton Piere-Emile Hojbjerg, pemain yang oleh Pep diberikan debut Bundesliga saat masih bermain untuk Bayern Munchen, Fernandinho segera ditarik keluar.
Pep tahu, menjaga kaki Fernandinho tetap fit berarti juga menjaga City dari kepincangan. Dan itu artinya, menjaga persaingan dengan Liverpool.
***
Wajah—tapi terutama kaki—Paul Pogba tampak sangat bahagia. Itu pemandangan langka sejak kedatangannya kembali ke Old Trafford dari Juventus. Ia mencetak gol (dua, dengan sontekan dan sundulan) dan membuat umpan dan berjoget dan tertawa. Tapi, yang paling utama, ia menebar kebahagiaan.
Selama ini Mourinho menekan dan membatasinya, begitu komentar legenda Arsenal Ian Wright. Mario Melchiot, bekas pemain Chelsea dan Wigan, menambahkan bahwa Pogpa tak bermain di posisi favoritnya dan ia gagal mengeluarkan permainan terbaiknya, sesederhana itu. Dan “Solskjaer membebaskannya,” tandas teman setimnya, Jesse Lindgard.
MU menang beruntun pada tiga pertandingan terakhir. Ya, mereka memang menghadapai lawan-lawan ayam sayur (Cardiff, Huddersfield, dan Bournemouth), tapi menang tetaplah menang. Dan mereka menang dengan skor-skor besar: 5-1, lalu 3-1, kemudian 4-1. Itu belum akan menebus rasa kering dan bosan selama dua setengah musim sebelumnya, tapi jelas itu air bening yang menyegarkan untuk pengembara kehausan. Dari 12 gol yang dihasilkan MU dalam tiga pertandingan terakhir, Pogba mencetak empat gol, lebih banyak dari seluruh gol yang dihasilkannya dalam 15 pertandingan sebelumnya.
Tak perlu ditutupi, Pogba bahagia dengan kepergian Mourinho. Ia telah memasang wajah tersenyum di akun instagramnya, hanya beberapa jam setelah pemecatan Mourinho. Dan ia kini tertawa dan menari dan mencetak gol.
***
Sementara itu …
Milan menang lagi—dari SPAL. Akhirnya … Higuain mencetak gol lagi, setelah dua bulan lebih. Dan San Siro berpesta, seperti baru saja memenangkan Serie A. Rino Gattuso mencengkeram kuat-kuat kepala El Pipita, sebab boleh jadi karena gol kemenangan itulah masih ada pekerjaan untuknya, sampai setidaknya hingga melewati akhir tahun.
Juventus menang lagi. Seperti biasa. Ronaldo mencetak gol lagi. Dua, seperti biasa juga. Sampdoria, lawannya, juga mencetak dua gol, tapi wasit menengok VAR dan memutuskan membatalkan yang terakhir. Memang siapa yang bisa mencegah Juventus juara?
Inter menang juga? Tentu saja. Apa kalian tak mendengar suara-suara kera dari tribun penonton mereka? Mereka memang juaranya menirukan suara kera.