Senin, Oktober 14, 2024

Isra’ Mi’raj dan Paradigma Islam Progresif

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)

jokowi-mirajPresiden Joko Widodo tertawa saat mendengarkan tausiah pada peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (4/5) malam. ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjid al-Haram di Makkah menuju Masjid al-Aqsa di Palestina. Dari Masjid al-Aqsa, Nabi melanjutkan perjalanan dengan “menumpang” Buraq bertemu Allah SWT dengan melewati langit-langit. Sejak peristiwa itu, dimulailah perintah salat lima waktu kepada umat Islam yang menandai hubungan transenden antara hamba dengan Tuhan-Nya.

Pada tahun ini, Isra’ Mi’raj jatuh pada Jumat, 6 Mei 2016. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian umat Islam di sejumlah daerah di Indonesia ada yang memperingatinya dengan menyelenggarakan pengajian, membaca salawat Nabi (sholawatan) secara berjamaah, dan membagi-bagikan makanan kepada warga kampung. Berbagai acara menyambut Isra’ Mi’raj tersebut patut diapresiasi sebagai sebuah upaya penghormatan terhadap Nabi.

Akan tetapi, Isra’ Mi’raj akan jauh lebih memberikan pesan mendalam bila umat Islam menjadikan momentum peringatan ini sebagai langkah awal memusatkan perhatian terhadap berbagai problem kemanusiaan universal. Dalam hal ini, penting kiranya bagi umat Islam untuk mengambil peran-peran signifikan dalam menuntaskan persoalan diskriminasi sosial, perubahan iklim, konflik agraria, bahkan perjuangan terhadap hak-hak buruh.

Isra’ Mi’raj juga bisa menjadi momentum bagi umat Islam untuk “menggertak” kepada sebagian penegak hukum yang senantiasa pongah terhadap keadilan. Saat ini, mereka yang menduduki kursi-kursi sebagai “wakil Tuhan di muka Bumi” seolah tampak memperkaya diri dengan korupsi, gratifikasi, dan menerima suap untuk pengurusan perkara tertentu yang tidak lazim. Hal ini, misalnya, berkaca pada kasus ditangkapnya seorang pejabat Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini.

Dengan memaknai Isra’ Mi’raj yang seperti itu berarti umat Islam dapat dikatakan telah mengamalkan semangat Islam profetik sebagaimana yang dikatakan Kuntowijoyo dalam bukunya Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi (1991). Dalam perspektifnya, Kuntowijoyo menyebut tiga hal penting yang termuat dalam misi kenabian (profetik), yaitu moderasi, liberasi, dan transendensi.

Spirit moderasi dan liberasi berarti bukan hanya menempatkan Isra’ Mi’raj sebagai sebuah peristiwa pengangkatan Nabi Muhammad ke langit dan dimulainya perintah ibadah salat lima waktu, melainkan juga memposisikannya sebagai satu dari sekian kejadian penting dalam Islam yang bisa diperlakukan sebagai momentum untuk kerja-kerja sosial.

Ketika “kepulangan” Rasulullah dari perjalanan yang jauh itu tidak dipercaya para sahabat di sekitarnya, kecuali Abu Bakar ash-Shiddiq, maka di era kekinian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini perlu diterjemahkan dengan mulai memupuk kepercayaan dan optimisme bahwa bangsa ini bisa terbebas dari belenggu kezaliman sosial.

Dengan demikian, manusia beragama akan lebih memiliki arti karena bermanfaat bagi penyelesaian berbagai problem di sekitarnya, bukan semata menjalin hubungan yang bersifat transenden antara seorang hamba dengan Tuhan-Nya. Pada titik inilah keberadaan agama tidak lagi hanya sebatas seperangkat identitas simbolik melainkan menjadi pencerah bagi misi kedamaian alam semesta.

Mengingat peristiwa Isra’ Mi’raj telah berlangsung beratus-ratus tahun yang lalu, dan terus diperingati setiap 27 Rajab dalam kalender Islam, maka spirit keteladanannya harus terus menyala. Menurut hemat saya, tidaklah cukup bila meneladani Isra’ Mi’raj hanya dengan lomba-lomba, perayaan keliling kampung, atau bagi-bagi makanan ke tetangga. Bila hanya itu, peringatan ini tidak akan ada bedanya dengan ritual tahunan, yang jika selesai momentumnya, hilang pula spiritnya.

Semangat moderasi, liberasi, dan transendensi perlu dibaca dan dipraktikkan di tengah momentum peringatan Isra’ Mi’raj ini. Umat Islam perlu memahami arti penting dari ketiganya agar semakin peka terhadap berbagai permasalahan sosial yang tak ada habis-habisnya. Ketidakadilan semakin merajalela, pisau hukum kita hanya tajam untuk masyarakat berekonomi bawah, sementara tumpul ketika berhadapan dengan elite politik dan pengusaha.

Selain itu, Isra’ Mi’raj pada tahun ini juga bisa menjadi momentum bagi umat Islam untuk berbenah diri, berperilaku toleran, dan membibitkan sikap terbuka terhadap segala bentuk pemikiran yang beraras pada kemajuan. Sikap inklusif mendorong umat Islam untuk berfikir, menggunakan akal dan pikirannya untuk semakin mengerti keberadaannya sebagai kelompok individu yang menjujung tinggi perdamaian. Sementara itu, sikap tertutup hanya akan menjadikan umat Islam terus berjalan di tempat dan tertinggal dari perubahan zaman yang terus berlangsung.

Menafsir ulang peringatan Isra’ Mi’raj yang lebih berparadigma kontekstual seperti ini memiliki maksud yang sangat mendalam dan progresif. Apalagi, akhir-akhir ini, potret Islam seringkali diidentikkan sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, terorisme, dan tidak menghargai hak asasi manusia. Padahal, nilai dan ajaran yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad sesungguhnya menuntun umat-Nya pada jalan yang lurus dan selaras dengan berbagai bentuk pikiran modern yang berkembang di era kekinian, seperti demokrasi, HAM, cinta tanah air, dan menghormati pemimpin negara.

Ke depan, bertepatan dengan perayaan Isra’ Mi’raj, umat Islam berharap agar kehidupan beragama di Indonesia dapat terjalin toleran, penuh kedamaian, dan tak ada lagi orang-orang yang suka menyebar ujaran kebencian. Sedangkan dalam kehidupan berbangsa dan bertanah air, umat muslim berharap semoga ketenangan publik tidak lagi dicederai oleh aksi-aksi ekstrimisme, juga pola pemberantasan terorisme yang tidak memandang hak asasi manusia.

Nafi Muthohirin
Nafi Muthohirin
Peneliti di Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang. Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PW Muhammadiyah Jawa Timur. Penulis buku "Fundamentalisme Islam: Gerakan dan Tipologi Pemikiran Aktivis Dakwah Kampus" (2015)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.