Kota Aden hingga saat ini menjadi rebutan pemberontak dan Pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi.
Ada banyak orang Yaman yang mengadu nasib di Saudi Arabia. Pernah ketika saya naik taksi di Mekkah sopirnya orang Yaman. Kalau sudah begini, kadang saya “kepo” apa pendapat dia tentang konflik Yaman dan soal intervensi militer yang dilakukan Arab Saudi terhadap Yaman misalnya.
Masih soal naik taksi di Mekkah, tapi pengalaman kali ini sopirnya warga Arab Saudi asli. Saya tidak tanya pendapat dia tentang perang di Yaman, tapi ingin tahu pendapatnya tentang fenomena Negara Islam (ISIS) yang membawa nama Islam. Sopir ini dengan berapi-api mengatakan ISIS bukan Islam!
“Mereka menyembelih manusia seperti ternak, membantai manusia tak peduli itu kaum perempuan atau anak-anak. Mereka menghidupkan praktek perbudakan. Apakah ini Islam? Islam tidak seperti itu,” kata dia.
Ada sebuah pernyataan dari seorang bernama Adel Al-Kalbani. Dia tentu bukan sopir taksi seperti yang saya ceritakan di atas. Dia seorang ulama dan mantan Imam Masjidil Haram, Mekkah, yang mengatakan, “Literatur yang dipelajari ISIS sama dengan yang kami pelajari di sini (Saudi).”
Ia katakan itu pada 22 Januari saat wawancara di saluran televisi MBC yang berbasis di Dubai. Sejujurnya saya pribadi tidak kaget, namun saya respek dengan kejujuran dia bahwa “perangkat lunak” ISIS adalah Salafisme atau Wahabisme, paham resmi Kerajaan Saudi Arabia.
Namun perlu dicatat tidak semua pengikut Wahabi setuju dengan tindakan ISIS, meski mereka tentu saja dalam pandangan dan pemikiran sama-sama ultrakonservatif. Misalnya, semua pengikut Wahabi sependapat kalau orang murtad dihukum mati, tapi mereka tidak setuju dengan ISIS yang gampang mengumbar vonis murtad pada siapa saja.
Tuduhan ini tidak berlebihan. Saya pernah membaca majalah Dabiq volume 13 (majalah online yang diterbitkan ISIS). Di situ ISIS tak hanya melabeli ulama Kerajaan Arab Saudi murtad, tapi pemimpin kekafiran (the imam of kufr). Di majalah tersebut ISIS merilis 13 daftar ulama kerajaan dan menyerukan kepada pengikutnya untuk menghabisinya. ISIS tegas menolak teologinya disamakan dengan mereka; ISIS merendahkan mereka dengan sebagai Wahabi gadungan.
Dunia Islam, khususnya kalangan ulama atau intelektual Islam yang tidak setuju dengan ISIS, tidak cukup menolak dan melawan ISIS hanya dengan pernyataan “ISIS bukan Islam” atau umpatan “ISIS Wahabi”. Perlu ada penafsiran tandingan terhadap dalil-dalil agama yang ISIS gunakan. Dalam hal ini justru agamawan Salafi Wahabi yang semestinya paling terdepan menyuarakan jika ingin mempertegas bahwa pahamnya sama sekali berbeda dengan ISIS.
Ini jauh lebih positif dan mendidik umat dibandingkan melempar tuduhan ISIS khawarij atau ISIS rekayasa luar Islam.
Tak bisa diabaikan ketika mempraktikkan kesadisannya, nyatanya ISIS memang selalu mengunakan dalil pembenaran keagamaan dengan mengacu pada sumber-sumber otentik Islam dan pandangan-pandangan ulama-ulama klasik yang banyak dirujuk oleh umat Islam. Tak jarang ISIS menggunakan potongan ayat suci untuk dijadikan judul-judul video sadis yang diproduksinya. Sungguh menyedihkan.
Terlepas dari pro-kontra adanya dasar-dasar agama yang digunakan ISIS bertindak sadis, pada saat bersamaan ISIS berhasil mencuri perhatian dengan mengunggah pandangannya ini di dunia maya, yang kemudian disambut oleh pengikut netizen-nya kemudian diteruskan lagi ke berbagai platform media sosial. Akibatnya, di media sosial pesan-pesan dan tafsir Islam yang damai, toleran, dan Islam yang berperikemanusiaan kalah “nyaring” dengan konten yang disebarkan pengikut dan simpatisan ISIS.
Ini bukan karena mereka mayoritas di dunia maya dan media sosial, tapi karena kaum intelektual Islam anti-ISIS sedikit sekali yang menjadikan dunia maya, khususnya media sosial, wadah untuk menandingi tafsir ekstremis ala ISIS. Kalaupun meng-counter, usulan saya sebaiknya tak cukup hanya sekadar jargon “ISIS bukan Islam”. Bukankah ini sama seperti jawaban yang saya terima dari sopir taksi Saudi di atas?
Kolom Terkait: