Masih hangat di memori kita ucapan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo yang mengajak agar para pejabat publik mengakhiri perilaku yang korup. Dan akhir pekan lalu, kita dikejutkan dengan ditangkapnya Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dengan sangkaan menerima suap.
Ironisnya, penangkapan terhadap Irman hanya berselang dua hari dari peringatan Hari Demokrasi Internasional yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 15 September. Peringatan Hari Demokrasi Internasional menjadi momentum untuk menilai proses dan hasil demokrasi yang telah berjalan selama ini di Indonesia.
Operasi tangkap tangan tersebut menambah daftar panjang pejabat publik yang diduga melakukan penyalahgunaan wewenang, khususnya mereka yang duduk di lembaga-lembaga pengawal demokrasi seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan DPD.
Setidaknya ada 119 anggota DPR dan DPRD, beberapa menteri, 15 orang gubernur, dan 50 bupati/wali kota yang berurusan dengan KPK. Irman Gusman adalah pimpinan lembaga tinggi negara kedua yang dicokok KPK, setelah Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.
Kejadian yang menimpa Irman cukup luar biasa dan menarik atensi publik secara luas karena menyangkut seorang ketua lembaga tinggi negara yang sangat dihormati dan selama ini cukup dikenal dengan komitmennya untuk memberantas korupsi
Tragedi tersebut telah menciderai DPD sebagai salah satu lembaga pengawal demokrasi yang dilahirkan pada 1 Oktober 2004. Selama ini, anggota DPD dinilai bersih dibandingkan dengan kakak kandungnya (DPR) yang anggotanya banyak terjerat kasus korupsi.
Dengan kejadian tersebut, citra DPD pasti tercoreng, meski belum tentu tindakan Irman terkait dengan posisi dan kapasitasnya sebagai Ketua DPD. Akan tetapi, hal itu diduga kuat karena pengaruh yang melekat pada dirinya dan posisinya sebagai pimpinan lembaga tinggi negara.
Pada gilirannya, hal ini berakibat pada semakin sulitnya memulihkan kepercayaan publik lantaran sangat banyak pejabat yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum di tingkat pusat dan daerah terjerat kasus korupsi.
Meski iklim dan institusi demokrasi mulai membaik pasca reformasi 1998, kepercayaan publik pada lembaga-lembaga negara, khususnya yang bertugas mengawal demokrasi, misalnya DPR dan DPD, masih rendah.
Di tengah belum optimalnya fungsi DPR yang diisi oleh perwakilan partai politik, rakyat menaruh harapannya pada DPD dalam menyalurkan aspirasi, harapan, dan keinginannya.
DPD diniatkan sebagai lembaga demokrasi penyambung lidah rakyat sebagai metamorfosis dari utusan daerah yang bisa duduk sejajar dengan DPR.
Selama ini DPD diisi oleh tokoh-tokoh perwakilan daerah dari berbagai latar belakang dan pengalaman, di antaranya politisi dan pengusaha, yang diharapkan mampu merepresentasikan kepentingan provinsinya masing-masing untuk dibawa ke tingkat nasional.
Demokrasi telah memberikan jalan bagi rakyat untuk memilih wakil rakyat dan pemimpinnya secara langsung. Namun demikian, kebebasan dan kemerdekaan tersebut belum sejalan dengan kualitas dan output demokrasi yang seharusnya. Karena ratusan pejabat publik yang terdiri atas wakil rakyat dan pemimpin daerah terjerat kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Kendati telah menjadi media bagi rakyat dalam mengekspresikan hak-haknya, baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya, demokrasi kita masih sebatas pada tataran prosedural, yaitu hanya mengubah tata cara dan mekanisme memilih pemimpin. Namun, perilaku dan kesadaran rakyat serta elite politik tetap belum berubah.
Demokrasi yang efektif dan substantif belum terwujud dan masih gagal dalam menghasilkan wakil rakyat dan pimpinan daerah/nasional yang berkomitmen untuk memenuhi dan melindungi hak asasi manusia.
Korupsi yang dilakukan anggota parlemen dan pimpinan daerah/nasional adalah bentuk dari pelanggaran hak asasi manusia. Ya, mereka menyalahgunakan kepercayaan dan atau uang publik untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Banyaknya pejabat publik yang berurusan dengan KPK, padahal mereka adalah produk dari demokrasi langsung di tingkat pusat dan daerah, mengindikasikan bahwa ada yang perlu diperbaiki dan dikoreksi dari sistem demokrasi. Dalam konteks ini terkait dengan mekanisme dalam memilih dan kualitas para pejabat yang akan menduduki lembaga-lembaga pengawal demokrasi.
Pada 2017 mendatang, tercatat akan ada ratusan daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah secara langsung, termasuk di antaranya DKI Jakarta. Hajatan politik tersebut semestinya menjadi momentum bersama untuk memperbaiki kualitas demokrasi di tingkat daerah yang nanti juga akan berdampak secara nasional.
Untuk itu, harus ada perbaikan mekanisme dan sistem dalam menjaring para calon kepala daerah sehingga hanya mereka yang jujur dan berintegritas yang layak maju dalam pilkada langsung. Peraturan Komisi Pemilihan Umum harus tegas dalam hal ini untuk menutup peluang bagi kandidat yang korup dan tidak berintegritas agar tidak maju dalam pilkada langsung.
Dengan hanya terjaringnya kandidat yang mempunyai komitmen dan track record yang nyata dalam pemberantasan korupsi dan penegakan HAM akan mempermudah rakyat sebagai pemegang hak pilih mempergunakan haknya secara benar dan efektif. Dengan demikian, demokrasi akan mampu menghasilkan wakil rakyat dan pimpinan daerah/nasional yang anti-korupsi dan berkomitmen menegakkan HAM.