Sejak lima hari lalu, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat ( AS) memerintahkan Kedutaan AS di seluruh dunia untuk memperketat keamanan menjelang pengakuan AS bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Kementerian di kawasan Foggy Bottom, Washington DC, itu memperingatkan kekerasan mungkin akan terjadi dan Kedutaan AS akan menjadi sasaran. Peringatan ini wajar karena seluruh negara di dunia mengecam atau setidaknya “ngeri” dengan keputusan Washington tersebut.
Presiden Trump pada Rabu (6/12) mengatakan keputusan pemerintahnya berdasarkan fakta sejarah bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel. Lagipula, itu sudah merupakan amanat Undang-Undang sejak tahun 1995. Parlemen dan banyak lembaga pemerintahan Israel berkantor di kota itu.
Dalam pidatonya, Trump memerintahkan pembangunan gedung kedutaan di Yerusalem. Akan tetapi, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan perlu waktu tiga tahun untuk itu. Karenanya, Kedutaan AS tetap akan berada di Tel Aviv. Besar kemungkinan, Konsulat AS di Yerusalem akan semakin ditingkatkan peranannya setingkat Kedutaan sampai pembangunan selesai.
Potensi Kekerasan
Segera setelah pengumuman Trump, seluruh negara di dunia mengecam keputusan tersebut. Negara-negara Timur Tengah bereaksi karena khawatir kekerasan dan terorisme akan meningkat. Usaha menangkal kekerasan dan gelombang protes dampak keputusan AS itu akan menjadi beban berat bagi pemerintahan di sana.
Bagi negara-negara di Eropa, pengakuan AS atas Yerusalem ini memperbesar peluang aksi terorisme yang kemungkinan dilakukan oleh kaum pendatang. Setiap kejadian teror yang melibatkan imigran akan semakin memperkuat kelompok ultranasionalis hingga bisa menumbangkan kelompok moderat baik di parlemen maupun pemerintahan.
Sejauh ini, gerakan tersebut bisa diredam di Belanda dan Prancis. Sementara Jerman sekarang berada di ujung tanduk setelah koalisi partai Angela Merkel pecah akibat isu imigran. Kini dia menghadapi kemungkinan memerintah dengan koalisi minoritas.
Sementara itu, di Israel, pengakuan AS disambut gembira, meski ada nada kehati-hatian. Harian Israel Haareztz mengutip pernyataan PM Benjamin Netanhayu bahwa “identitas nasional dan sejarah Israel mendapatkan pengakuan setiap hari, terutama hari ini”. Ini disebabkan Israel tidak bisa lagi memainkan isu Yerusalem sebagai “bargaining chip” untuk menindas Palestina. Tidak hanya itu, politisi Israel juga tidak bisa lagi memainkan isu Yerusalem untuk mendulang suara.
Mereka juga khawatir ancaman keamanan atas wilayah dan kepentingannya di luar negeri semakin besar. Iran yang punya pengaruh besar di negara-megara tetangga Israel, yakni Lebanon dan Suriah, bisa saja memanfaatkan proxi-proxi mereka untuk menyerang Israel secara sporadis. Tekanan demi tekanan, baik secara politis maupun militer sporadik, membuat Israel justru makin terkucil dan pada satu titik mungkin akan menyerah pada keinginan Internasional.
Solusi Dua Negara Bisa Jadi Kenyataan ?
Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 181/2012 memutuskan mengakui Palestina sebagai negara pengamat non-anggota. Langkah ini diambil setelah Israel membangun pemukiman Yahudi di wilayah yang merupakan garis batas wilayah Palestina dan Israel sesuai resolusi No. 242 tahun 1967. Resolusi tersebut dijadikan acuan bagi terbentuknya negara Israel dan Palestina. Reaksi keras dunia internasional itu kemudian diikuti dengan resolusi PBB pada 10 September 2015 yang membolehkan bendera Palestina berkibar di Markas Besar PBB.
Resolusi ini menjadi dasar bagi dunia internasional, termasuk Indonesia, mendorong terbentuknya negara Palestina berdampingan dengan Israel. Namun, kenyataannya, gagasan itu hanya bisa terwujud lewat campur tangan Amerika. Dalam 50 tahun terakhir, Washingtion DC menyukai status quo konflik Israel dan Palestina untuk melindungi kepentingannya di Timur Tengah. Tapi, kini, Washington nampaknya akan menambah tekanan dan pengaruh mereka di Timur Tengah.
Strategi Arab Spring yang digagas kalangan neo konservatif di Washington DC sejak pemerintah George Bush Junior telah membuahkan hasil. Sebagian besar negara Timur Tengah rontok oleh aksi demontrasi dan berkutat membangun ekonominya di masa sulit. Arab Saudi yang menjadi jangkar pengaruh politik di Timur Tengah juga disibukkan oleh suksesi dan bergulat mengelakkan bencana minyak ala Venezuela. Malah Riyadh bisa jadi tersenyum karena harga minyak dunia bisa naik akibat eskalasi konflik yang mungkin terjadi. Jadi, Amerika melihat lemahnya negara-negara di kawasan ini memberi peluang untuk menjadi satu-satunya penentu nasib di Timur Tengah.
Selain itu pula, Trump adalah pribadi yang pragmatis sekaligus rasional. Dia melihat bahwa bertele-telenya perundingan solusi dua negara harus diakhiri. Keputusannya bakal memaksa dunia internasional untuk menyadari bahwa konflik Israel Palestina tidak bisa diposisikan pada status quo terus menerus. Sudah saatnya isu Palestina tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik luar negeri mereka. Negara-negara yang terlibat dan bersimpati harus memberi solusi untuk mewujudkan negara Palestina dalam jangka waktu yang jelas.
HAMAS dan Al-Fatah harus bersikap untuk menyudahi konflik internal mereka sendiri yang memisahkan Gaza dan Tepi Barat Sungai Yordan. Bukan rahasia lagi bahwa para petinggi dua faksi itu juga “menikmati” konflik tersebut untuk mendapatkan bantuan keuangan internasional.
Israel juga demikian. Pengakuan AS menjadi beban tersendiri bagi Israel hingga tidak bisa serampangan lagi dalam menindas Palestina. Dunia akan semakin menyoroti dan mengecam habis-habisan setiap tindakan represifnya. Mereka akan berpikir bahwa sebuah negara Palestina adalah sebuah keniscayaan ketimbang terus-terusan dikecam dan diserang.
Dari skenario ini sangat boleh jadi pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel justru menjadi pintu bagi percepatan pembentukan negara Palestina. Namun tentu saja dengan syarat-syarat yang ditentukan Amerika, termasuk apakah Yerusalem harus dibagi dua.
Apa boleh buat. Harus diakui, Trump memang jago.
Kolom terkait:
Trump dan Status Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel
Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]