We are no different, we need the world, we need the international community, and international guarantees for our security.
Kalimat tersebut terlontar dari salah seorang warga Palestina ketika mendengar kabar dunia bahwa Amerika Serikat (AS) akan memotong bantuan dana melalui United Nation Relief and Works Agency (UNRWA).
Setelah 70 tahun lamanya UNRWA menyokong bantuan berupa suplai makanan, pengelolaan pendidikan, peningkatan kualitas kesehatan, dan menekan angka pengangguran, baru kali ini pada tahun 2018 bantuan tersebut akan dipotong bahkan menjurus dihentikan.
Entah apa yang menjadi pijakan keputusan Amerika Serikat untuk menghentikan bantuan. Mereka, melalui salah satu bagian Departemen AS, hanya menjelaskan bahwa UNRWA membutuhkan reformasi. Namun, tidak dijelaskan seperti apa reformasi yang dibutuhkan. Reformasi struktural atau reformasi pendanaan? Atau memang sengaja program UNRWA diberhentikan?
Selama ini AS, melalui UNRWA, telah menggelontorkan dana yang bombastis. Setidaknya terlihat pada tahun 2017, dana yang dikeluarkan mencapai US$350 juta. AS mengklaim tetap akan membantu Palestina, namun dana yang dikeluarkan bisa jadi tak sebanyak seperti tahun 2017.
Padahal, selama ada bantuan dana dari UNRWA, sedikitnya 525 ribu anak-anak ditampung di beberapa sekolah yang digagas UNRWA. Tidak hanya itu, sebanyak lima juta rakyat Palestina pun terbantu atas keberadaan UNRWA.
Jika bantuan dana benar-benar dihapuskan, tidak hanya Palestina yang menjadi korban, melainkan juga negara-negara sekitar seperti Libanon, Suriah, dan Yordania.
Taktik AS
AS jelas memainkan peranan penting dalam konstelasi Palestina. Setelah mengumumkan tentang rencana pemindahan Yerusalem menjadi ibu kota Israel, pekan lalu AS melalui Wakil Presiden Mike Pence mengunjungi Israel.
Tentu saja kedatangannya ditentang oleh masyarakat dan otoritas pemerintahan Palestina. Bahkan, mereka menolak untuk bertemu dengan perwakilan AS tersebut. Tapi, AS tetap bersikukuh datang karena ada hal yang harus diperjuangkan “demi tercapainya perdamaian”.
Berbeda dengan pernyataan Palestina, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyambut hangat kedatangan Pence. Bahkan, ia menganggap pertemuan tersebut sebagai pertemuan bersejarah. Ia menilai bahwa AS tak pernah ingkar janji dalam mewujudkan cita-cita Israel kembali menjadi negara pemilik Yerusalem.
Pernyataan Netanyahu jelas menodai perasaan masyarakat Palestina. Tidak hanya orang-orang Islam yang terluka, melainkan juga masyarakat Kristen, bahkan Yahudi. Mereka menganggap bahwa Yerusalem adalah kota suci. Kota yang bernuansa perdamaian, hidup berkelindan dengan Islam, Kristen, ataupun Yahudi.
Yang patut diingat adalah tidak semua masyarakat Israel setuju dengan keputusan Netanyahu. Mereka pun menilai, jika mereka hidup berdampingan dengan berbagai suku dan agama, yang terjadi adalah puncak perdamaian.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Keputusan otoritas beserta masyarakat Palestina yang menolak kedatangan Pence berbuah kemarahan sang penguasa AS, Donald Trump. Ia menganggap bahwa yang mereka lakukan justru mencederai nilai-nilai perdamaian. Apalagi Trump pun merujuk bahwa AS selalu ingin memulihkan keceriaan masyarakat Palestina dengan memberikan bantuan dana.
Buah Simalakama Palestina
Dunia internasional tidak tinggal diam. Belgia adalah salah satu negara yang langsung memberikan reaksi ketika pernyataan Trump tersiar di media. Mereka akan menyuplai dana sebanyak US$23 juta. Selain itu, ada pernyataan yang menggelitik dari salah seorang petinggi UNRWA yang berasal dari Norwegia, Jan Egeland. Ia berkata, “Memotong dana kepada anak-anak yang membutuhkan merupakan preseden buruk terhadap bantuan kemanusiaan.”
Perkataan maupun pernyataan memang tak pernah surut dalam hal mengutuk kebijakan AS. Namun, seperti yang pernah saya jelaskan dalam Dunia Melawan Penjajahan di Yerusalem bahwa Palestina dalam kondisi serba sulit. Pilihan yang harus dilakukan pun tak banyak.
Sekarang, Palestina bak buah simalakama. Jika mereka tidak ingin bantuan dipotong, kemungkinan mereka harus menyetujui kepindahan ibu kota Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Namun, jika mereka bersikukuh untuk melawan, bisa jadi bantuan tersebut benar-benar dipotong.
Apa yang bisa dilakukan oleh Palestina? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, menyerukan Pan-Islamisme. Sebenarnya, hal ini telah didengungkan sejak pertama kali Israel didirikan tahun 1947. Namun, saat itu tidak banyak negara yang cukup kuat mendukung keberadaan Palestina. Lain hal dengan sekarang. Indonesia, meskipun bukan negara Islam, adalah negara yang berjuang penuh demi kemerdekaan Palestina. Begitu juga dengan Turki dan Iran.
Kedua, menegaskan Pan-Arabisme. Meskipun tak sepenuhnya Palestina adalah Arab, tapi Arab adalah bagian dari Palestina. Sentimen tersebut perlu digelorakan kembali. Arab Saudi maupun negara-negara Teluk harus dirangkul sedemikian rupa. Bukankah seharusnya sentimen karena Arabisme lebih mengena daripada sentimen kepentingan? Kecuali jika negara-negara Arab sudah dicekoki agar tidak berkompromi dengan Palestina, maka itu adalah lain persoalan.
Ketiga, merangkul negara-negara yang pernah dijajah negara lain. Cara yang terakhir mungkin semu tapi tidak ada salahnya mereka untuk bertemu. Perasaan karena sesama negara pernah dijajah justru lebih kuat dibandingkan kedua hal di atas. Mereka, seperti Indonesia, Venezuela, atau Kuba akan rela membantu Palestina. Mereka akan saling bahu-membahu menyuarakan pendapat bahwa Palestina bisa dan harus merdeka.
Akan tetapi, sekali lagi, saya tegaskan bahwa tak mudah meluluhkan kepentingan AS. Sebagai negara adikuasa, segala cara akan ditempuh demi memuaskan nafsu kepentingan. Yang lebih dibutuhkan Palestina tidak hanya dukungan maupun pernyataan, melainkan tindakan nyata.
Mematikan harapan adalah sesuatu yang mengerikan karena mengendurkan perlawanan jauh lebih bijak daripada meningkatkan pertikaian.
Kolom terkait:
Yerusalem Sayang, Yerusalem Malang
Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]
Yerusalem, Pembuka Jalan Negara Palestina?