Operasi akbar menghapus militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari kota Mosul telah bergulir sejak 17 Oktober 2016. Hasilnya, kota Mosul bagian timur pada 25 Januari 2017 dinyatakan bebas dari ISIS. Di Mosul bagian barat, daerah yang lebih padat penduduk, 60% wilayah telah direbut kembali.
Sumber resmi Pemerintah Irak menyatakan bahwa ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi kini masih menguasai 7% wilayah Irak, turun dari 40% di tahun 2014.
Di Suriah, kota Raqqah yang diklaim ibu kota kekhilafahan ISIS diramal hanya menunggu waktu direbut legiun SDF (Syrian Democratic Forces) yang dibeking Amerika Serikat. Pertanyaannya, mengapa kekhilafahan ISIS begitu cepat menyusut?
Ada banyak faktor, salah satunya adalah banyaknya tokoh penting ISIS yang tewas karena serangan udara pihak musuh. Serangan udara juga membuat hancurnya sumber pemasukan ISIS seperti kilang minyak yang dijual ke pasar gelap. Keuangan kelompok mengering, ISIS dibelit krisis untuk mendanai peperangan mempertahankan kekhilafahannya.
Ketatnya perbatasan negara tetangga Irak dan Suriah juga membuat ISIS kesulitan merekrut anggota baru dari luar negeri. Praktis ISIS mengalami kekurangan petempur baru menggantikan ribuan anggotanya yang mati.
Memang, andaikata Mosul dan Raqqah lepas, al-Baghdadi dan pengikutnya mungkin masih dapat memegang beberapa wilayah kecil di timur Suriah dan Irak barat, atau berpencar berlindung di pedesaan semi padang pasir terpencil. Tapi, dengan tidak lagi mengontrol jalan, pasar, sekolah atau kantor pemerintahan, de facto kekhilafahan ISIS runtuh.
Lantas, pertanyaan berikutnya, kira-kira apa yang terjadi setelah kekhilafahan ISIS yang spektakuler itu runtuh?
Kita bisa memprediksi dari contoh kasus sejarah kelompok ekstremis serupa ISIS, yang mengendalikan wilayah dan mendirikan pseudo-pemerintahan, sampai kemudian jatuh karena invasi militer musuh.
Contohnya Taliban di Afghanistan. Kelompok ini pernah menguasai sebagian besar wilayah, dan menyulap tanah Afghan menjadi “Negara Islam” (Emirat), mengganti bendera negara lama dengan bendera kaligrafi Arab kalimat syahadat sebagaimana ISIS.
Negara bentukan Taliban ini dipimpin oleh Mullah Omar yang dielu-elukan pengikutnya dengan julukan Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman), persis seperti gelar yang digunakan Khalifah ISIS Abu Bakar al-Baghdadi saat ini.
Baik Taliban (ketika berkuasa) maupun ISIS sama-sama mempraktikkan hukuman ala Abad Pertengahan terhadap warga sipil di bawah kekuasaannya. Hingga akhirnya invasi Amerika Serikat terjadi pada Oktober 2001 menggulingkan pemerintahan gadungan Taliban yang berpusat di Kabul.
Kemungkinan besar kekhalifahan ISIS akan bernasib sama seperti Taliban. Namun ada beberapa hal yang perlu diwaspadai dengan keruntuhan kekhilafahan ISIS. Pertama, besar kemungkinan terjadi peningkatan serangan di Timur Tengah dan barat. Fenomena semacam ini bisa berkaca dari bubarnya kekuasaan Taliban setelah invasi tahun 2001, ada peningkatan gelombang kekerasan pada tahun 2002 dan 2003.
ISIS akan melakukan hal serupa, meski sebagian besar upayanya mungkin difokuskan pada ketidakstabilan Irak, Suriah, dan negara-negara tetangga, seperti Turki.
Kedua, seandainya kekhilafahan ISIS jatuh, akan ada diaspora jihadis yang lebih luas, militan akan berusaha mencapa zona kekerasan lainnya seperti di Yaman, Sinai Mesir, Libya, Filipina atau Afghanistan.
Orang asing yang telah bertempur dengan ISIS akan berusaha kembali ke negara asalnya atau menyebar ke beberapa negara. Yang dikhawatirkan adalah negara-negara yang tidak siap untuk menghadapi ancaman semacam itu.
Mungkin saja mereka banyak yang gagal, ditangkap aparat keamanan, dan dipenjara. Tapi di penjara mereka tetap menjadi ancaman, seperti meradikalisasi narapidana yang lain. Hal ini akan menimbulkan masalah lebih lanjut.
Di sisi lain, kalangan komandan ISIS yang masuk dalam lingkaran Abu Bakar al-Baghdadi kemungkinan akan tetap tinggal di Irak dan Suriah, memimpin perlawanan bawah tanah. Gerilyawan ISIS ini akan membeku menjadi organisasi teroris klandestin. Selain melakukan serangan sporadis, penyergapan, gerilyawan ini akan tiarap untuk memulihkan kekuatan.
Ketiga, yang perlu diwaspadai adalah daya tarik jarak jauh ISIS. Kekosongan khilafah akan mempengaruhi rekrutmen semacam itu. Selama ini ISIS berusah memanfaatkan keterasingan sosial anak-anak imigran kelahiran Eropa. Serangan seperti di Westminster menunjukkan masalahnya bukanlah kemampuan ISIS untuk mengatur serangan teror, melainkan kemampuan ISIS menginspirasi orang yang tidak memiliki kontak langsung dengannya.
Keempat, kembalinya pamor Al-Qaidah. Al-Qaidah selama ini bersaing dengan ISIS. Maka, kehancuran kekhilafahan ISIS akan menjadi momentum Al-Qaidah memperkokoh posisinya sebagai induk jihadisme global, dan berpeluang menjadi wadah “pelarian” jihadis ISIS yang kecewa dengan kehancuran kekhilafahan ISIS.
Lebih-lebih selama ini, di saat dunia terpusat perhatiannya pada ISIS, Al-Qaidah memanfaatkan ini untuk fokus membangun dukungan jangka panjang di dunia militan Islam.
Pendek kata, ketika kekhilafahan ISIS dikalahkan, itu hanya akan mengubah bentuk organisasi, ISIS tak lagi akan menjadi kekuatan tempur. Seperti Al-Qaidah pasca-9/11, ISIS akan menjadi merek terorisme yang hidup di dunia virtual, dengan kemampuannya untuk menginspirasi orang melakukan lebih banyak serangan.
ISIS sebagai brand terorisme sepertinya akan bersama kita lebih lama. Ini adalah sesuatu yang perlu diingat saat kita mendengar kabar baik tentang kehancuran kekhilafahan mereka di Irak dan Suriah.
Sekali lagi, kalau kita belajar dari sejarah Taliban di atas, mundurnya militan hanya akan membawa sedikit kelegaan. 16 tahun berlalu sejak keruntuhan “Negara Taliban”, faktanya secara bertahap Taliban mampu kembali membangun kontrol di beberapa wilayah Afghanistan, meskipun tak seluas dulu.
Jadi, kehancuran kekhilafahan ISIS sayangnya adalah sesuatu yang diharapkan, daripada diantisipasi.