Rabu, April 24, 2024

Ketika Sejarawan Israel Menentang Sejarah Israel

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.

Ketika menerbitkan bukunya, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949 (1988), Benny Morris mengagetkan publik dan sejarawan-sejarawan tradisional Israel. Premis yang ia tawarkan dalam bukunya memang termasuk kontroversial. Morris berargumen, dan mempersembahkan data-data, bahwa sebenarnya 700.000 orang Palestina meninggalkan rumah-rumah mereka selama Perang Arab-Israel tahun 1948 akibat paksaan tentara Israel, bukan karena keinginan cari selamat untuk menghindari perang atau mengikuti instruksi mengungsi dari pemimpin koalisi negara-negara Arab, seperti yang tertulis dalam sejarah Israel yang resmi diketahui saat itu.

Di tahun yang sama, Morris mendeklarasikan apa yang disebutnya sebagai New Historians, atau Sejarawan Baru, sebuah terminologi untuk menyebut para sejarawan yang karya-karyanya menawarkan tafsir ulang terhadap sejarah kelahiran Israel, dengan dokumen-dokumen sejarah yang baru dibuka untuk publik sebagai sumber penulisannya, dan berani mengambil posisi menentang pakem historiografi resmi negara yang begitu bias.

Sampai akhirnya pada akhir 1980-an, karya-karya Morris dan Sejarawan Baru lainnya, menimbulkan perdebatan panas di kalangan sejarawan dan intelektual Israel di institusi-institusi akademis dan juga ruang-ruang publiknya.

Setidaknya ada empat buku utama yang membahas polemik kelahiran Israel tersebut dan menandakan kebangkitan para Sejarawan Baru, serta penentangannya terhadap sejarah resmi Israel, yakni buku Benny Morris yang telah disebutkan sebelumnya, The Birth of the Palestinian Refugee Problem, 1947-1949 (1988), The Birth of Israel: Myths and Realities (1988) oleh Simha Flapan, Britain and the Arab-Israeli Conflict, 1947-1951 (1994) oleh Ilan Fappe, dan Collusion Across the Jordan: King Abdullah, the Zionist Movement, and the Partition of Palestine (1988) oleh Avi Shlaim.

Para Sejarawan Baru mengkritisi historiografi kelahiran Israel yang cenderung bertendensi Chauvinistik, mengingat para “Sejarawan Lama” yang menulisnya pernah mengalami langsung euforia perjuangan di zaman tersebut, sehingga objektivitas sejarah yang ditulis meragukan. Hasilnya, sejarah yang dihasilkan pun merupakan hasil data-data yang diseleksi dan terdistorsi; bentuk arogansi historis inilah yang dianggap menghambat wacana-wacana perdamaian Israel-Palestina dan mengawetkan permusuhan antara orang-orang Arab dan Yahudi.

Para Sejarawan Baru juga menyatakan bahwa baik Israel maupun negara-negara Arab sama-sama bertanggung jawab dalam menciptakan masalah pengungsi Palestina.

Menurut Avi Shlaim, terdapat lima pertanyaan sejarah yang jawabannya coba dikoreksi oleh para Sejarawan Baru: kebijakan Inggris di akhir masa mandatnya di Palestina, keseimbangan kekuatan militer Arab-Israel tahun 1948, sebab-musabab eksodus Palestina, tujuan perang negara-negara Arab, dan alasan mandeknya pembicaraan politik Arab-Israel setelah perang usai.

Sejarawan tradisional Israel cenderung memberikan jawaban-jawaban yang seakan menempatkan Israel sebagai pihak yang dizalimi, dan menyebutkan bahwa kemenangan mereka dalam tiap peperangan melawan koalisi negara-negara Arab adalah keajaiban, sehingga membuat publik internasional bersimpati kepada Israel.

Sedangkan para Sejarawan Baru menyatakan bahwa propaganda status underdog Israel dalam konfliknya dengan negara-negara Arab hanyalah mitos belaka, dan tentara Israel memang tercatat pernah melakukan pembantaian terhadap orang-orang Palestina. Fakta-fakta tersebut membuat politisi-politisi Israel melunak. Setidaknya pada 1999, Perdana Menteri Ehud Barak menyampaikan penyesalan dan simpatinya terhadap penderitaan orang-orang Palestina.

Menteri Pendidikan Yossi Sarid bahkan melayangkan permohonan maaf terhadap pembantaian yang dilakukan tentara Israel di desa Kafr Qasim pada Oktober 1956 silam, dan meminta peristiwa tersebut untuk diajarkan di sekolah-sekolah.

Namun, upaya para Sejarawan Baru tidak lantas diamini dan didukung oleh para akademisi pro-Arab, yang melihat bahwa penulisan ulang sejarah yang terkesan apologia tersebut tidak benar-benar mengkritisi apa yang dipermasalahkan kelompok pro-Palestina di seluruh dunia: Zionisme. Mereka menganggap wacana pembentukan dua negara, Palestina untuk orang-orang Arab dan Israel untuk orang-orang Yahudi, justru malah melegitimasikan penjajahan Israel di tanah Palestina.

Penolakan Yasser Arafat terhadap tawaran Israel dalam Pertemuan Camp David (2000) dan polarisasi Fatah-Hamas membuat proses pembicaraan damai Israel-Palestina tersendat.

Gerakan Sejarawan Baru masih tetap bertahan, meski pengaruhnya tidak sebegitu besar dibandingkan selama periode 1990-an, ketika Israel tengah mendorong kebijakan untuk membicarakan potensi solusi damai dengan Palestina. Namun, kegagalan mencapai solusi tersebut dalam Pertemuan Camp David, dan tragedi Intifada Kedua setelahnya yang mengakibatkan tewasnya kurang lebih 3.000 orang Palestina dan 1000 orang Israel, bahkan membuat Morris berpikir ulang mengenai keampuhan solusi politik untuk menghentikan konflik Israel-Palestina; sebuah pesan yang sejatinya disampaikan oleh Morris dan para Sejarawan Baru melalui karya-karya mereka.

Salah satu buku karya para Sejarawan Baru yang telah masuk ke Indonesia adalah The Ethnic Cleansing of Palestine (2006) karya Ilan Pappe, diterjemahkan menjadi Pembersihan Etnis Palestina (2009). Saya rasa membaca buku-buku para Sejarawan Baru, atau paling tidak memahami pandangan-pandangan mereka, merupakan sebuah kewajiban bagi siapa pun yang mendukung penyelesaian konflik Israel-Palestina.

Kita jadi mengerti bahwa tidak semua orang Yahudi  mendukung politik agresif Israel terhadap Palestina, sehingga kebencian membabi buta yang kerapkali diperlihatkan massa anti-Israel dan anti-Yahudi merupakan sebuah kekeliruan.

Saya masih percaya bahwa solusi politik, bukan militer, adalah kunci bagi konflik Israel-Palestina. Dengan semakin banyaknya dokumen-dokumen rahasia Israel yang dibuka untuk publik, maka akan semakin gencar pula revisi terhadap sejarah Israel; langkah yang seharusnya diikuti negara-negara Arab untuk memperjelas sudut pandang mereka dalam tiap momen-momen panas konflik Israel-Palestina beberapa dekade belakangan.

Harapannya adalah untuk menuliskan sejarah konflik Israel-Palestina secara lebih utuh, dan menjadikannya panduan untuk menggapai cita-cita masa depan bersama yang damai dan adil bagi orang-orang Israel maupun Palestina.

Kolom terkait:

Yerusalem Sayang, Yerusalem Malang

Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]

Palestina Setelah HAMAS Merevisi Manifestonya

Trump yang Songong, Palestina, dan Khilafah

Urat Cinta Palestina-Indonesia

Rahadian Rundjan
Rahadian Rundjan
Penulis dan peneliti sejarah. Berdomisili di Bogor.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.