Setiap masa punya ikonnya sendiri. Masa pergerakan kemerdekaan Indonesia di luar negeri misalnya ada Bung Hatta. Ia belajar di Rotterdam, Belanda. Setelah Indonesia merdeka, yakni masa pascakolonial, ada Habibie. Ia belajar di Achen, Jerman.
Celakanya, karena kebesaran kedua tokoh bangsa ini, generasi muda setelahnya punya beban berat. Ibarat di depan kaca, generasi muda yang bersekolah di Eropa mempunyai bayang-bayang Bung Hatta atau Habibie ketika bercermin.
Dalam tiap pertemuan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di seantero Eropa, dan saya kira belahan bumi lainnya, mereka selalu merujuk pada protogenesis gerakan pemuda tahun 1920-an. Lalu, ikon berikutnya selalu terpaut tentang iptek yang terwakili secara abadi oleh Rudi, nama panggilan yang beken dari Habibie muda.
Kita sering menyebut, the next Habibie, the next Nurcholish Madjid, the next Abdurrahman Wahid dan sejumlah the next tokoh lainnya. Nurcholish Madjid sendiri pernah dielu-elukan sebagai “Natsir Muda” ketika ia mempin HMI. Tidak ada yang salah menyebut seseorang sebagai perwujudan dari tokoh tertentu, memang.
Dalam sejarah Islam – dan sejarah lainnya juga – banyak yang menyandang Ghazali pada masanya, Imam Suyuti pada eranya, dan seterusnya untuk menyematkan ulama dari zaman yang berbeda yang kemampuan intelektualnya dipandang serupa dengan beberapa tokoh klasik yang ternama.
Tapi, kita perlu mengubah sudut pandang. Kita perlu mengalihkan orientasi kita. Anak muda ialah pemilik zamannya. Penghormatan pada tokoh lama yang berjasa tetap tak bisa dilupakan. Mereka sudah menyusun batu bata tersendiri dalam bangunan keindonesiaan. Jika perlu deretan tokoh besar masa silam itu diabadikan melalui beragam nama penghargaan untuk menghidupkan gairah ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tapi, apa yang perlu diubah ialah pandangan bahwa generasi muda setelahnya, termasuk generasi milenial dan generasi Z yang lahir pasca-1995, sama-sama memiliki agensi dalam peran sejarah keindonesiaan masa kini dan mendatang.
Dengan menganggap bahwa generasi muda berada dalam bayangan tokoh dan momen masa silam berarti menihilkan peran agensi mereka dalam dimensi kehidupan masa kini. Padahal mereka punya konsepsi waktu, kerja, pemahaman, dan alam pikiran yang berbeda.
Dari deretan unsur ini saja, kita bisa berkata bahwa agensi tokoh masa lalu dan generasi muda masa kini berbeda. Banyak faktor lainnya, termasuk perubahan sosial di masyarakat dan tantangan zaman yang semakin mengglobal lagi di era digital ini, membuat mereka menjadi generasi yang berbeda.
Pada peringatan Sumpah Pemuda di Bonn, 26 Oktober 2019 lalu, generasi muda abad ini sangat menggandrungi inovasi teknologi. PPI Bonn bekerjasama dengan PPI Jerman mengundang beberapa pembicara, termasuk penulis, untuk mengungkapkan pendapat mengenai gebrakan pemuda dalam berbagai bidang.
Di antara sesi menarik itu ialah presentasi dari tiga pemuda dengan proyek start-up mereka yang inovatif. Mereka berlatarbelakang pendidikan teknologi. Wirausahawa start-up kini menjadi proyek besar dari generasi muda. Sosok muda inovatif, yang kini diwakili secara ‘paripurna’ oleh Nadiem Makarim, adalah idaman para pemimpin muda zaman saat ini dalam bidang teknologi dan kewirausahaan.
Tetapi, ada yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Saat ditanya dalam forum di Bonn itu mengenai gebrakan pemuda apa yang perlu diupayakan, penulis punya pandangan tradisional: generasi muda yang kuliah di luar negeri perlu masuk dalam birokrasi atau anggota Aparatur Sipil Negara (ASN). Ini sangat penting, karena roda pemerintahan di daerah dan pusat ke depan dikendalikan oleh mesin ini.
Ada sebuah anekdot: ketika lulusan Universitas Indonesia (UI) melamar sebagai anggota ASN, mereka langsung dicentang masuk, tanpa memeriksa hasil ujian. Itu disebabkan karena secuil lulusan UI yang melamar, sementara banyak kementerian menginginkan lulusan dari kampus terbaik. Anekdot ini mungkin berlaku bagi lulusan luar negeri.
Beberapa keluhan yang diwakili oleh angkatan generasi Gustika Hatta yang menganggap mereka tak cukup punya jaringan dalam negeri, bisa saja terpatahkan. Memang, masih banyak lulusan luar negeri yang tidak langsung bisa terserap pekerjaan atau lahan pengabdian, seperti misalnya bidang studi robot.
Ahmad Ataka, doktor kita yang sangat muda lulusan robotik di sebuah kampus keren di London, mungkin mengalami dilema serupa. Ketimbang belum bisa bersumbangsih pada pengembangan keilmuan mereka, mereka tentu saja bisa berkiprah di luar negeri tanpa harus takut dengan tudingan anti-nasionalisme yang terlalu berlebihan. Biarkan mereka ikut mengharumkan bangsa dari sudut pandang yang lain.
Selain memasuki birokrasi, ada satu hal lagi yang cukup patut diperhitungkan. Yakni, menggabungkan inovasi start-up dengan pemikiran sosial. Gojek mungkin cukup inovatif, dan Jokowi secara vis major alias darurat telah mengizinkan kendaraan bermotor sebagai moda transportasi publik meskipun sebetulnya dilarang undang-undang. Tapi kita butuh terobosan lain.
Misalnya begini, bagaimana jika ada silang inovasi berupa proyek start-up yang tak berorientasi pada bisnis/keuntungan. Maksudnya, start-up yang sukses atau investor lain bisa menghibahkan tanggung jawab sosial perusahaannya (CSR) untuk membangun start-up baru yang berorientasi pada solusi sosial-ekonomi.
Mirip seperti program Indonesia Mengajar, tapi tidak berdimensi jangka pendek, proyek seperti ini berupaya mengawinkan antara lulusan ilmu sosial dan humaniora dengan para lulusan sains dan teknologi. Contoh sederhananya ialah start-up dalam memetakan demografi di seluruh kepulauan di Indonesia.
Ketika kita berbicara tentang Papua, misalnya, kita tidak tahu pasti medan sosial dan data kependudukan yang pasti secara akurat. Kalangan militer, patut diakui, dengan perjalanan panjang mereka yang menguasai medan darat, laut dan udara. Sementara kalangan sipil belum bisa mengaksesnya secara langsung, karena persoalan infrastruktur salah satu di antaranya.
Untuk itu, generasi muda masa kini diharapkan bisa menjawab tantangan ini untuk ikut merebut supremasi sipil dalam mengetahui dan menguasai data, peta, dan seluruh persoalan di Indonesia. Mereka bisa saja kerja dari Heidelberg, Oxford, Boston, atau Sydney yang bekerjasama dengan para inovator di Merauke dan Aceh.
Tentu, yang paling perlu diperhatikan lagi ialah jangan sampai inovasi digital atau revolusi industri 4.0 selalu soal penyediaan perpustakaan digital, atau desa digital, dan seterusnya. Sementara pelembagaan perpustakaan fisiknya ketinggalan, sepi pengunjung, dan tidak hidup.
Kampung yang sempat kita tinggali juga masih sama saja: stagnan dan penuh dengan feodalisme serta persaingan lokal ala kampung yang tak sehat. Inovasi terbesar yang ditunggu-tunggu ialah persilangan antara terobosan teknologi dan pembangunan sosial-kemasyarakatan secara bersama-sama. Bisakah, kita generasi muda masa kini, mendayagunakan agensi kita, bukan hanya untuk tujuan bisnis? Bisa!