Karena pan dan demos bermakna semua orang. Begitupun dengan informasi. Etimologi kata pandemi berasal dari bahasa Yunani πᾶν ‘pan‘ yang berarti ‘semua’ dan δήμος ‘demos‘ yang artinya orang. Walau pandemi dikaitkan secara medis dengan penyakit atau wabah. Kini, pandemi informasi pun kita hadapi.
Google trend di Indonesia sejak akhir Januari sudah menangkap pencarian menyoal virus Corona dan turunannya. Data yang dikumpulkan sampai 20 Maret mendapat beberapa statistik mengejutkan.
- Pencarian kata ‘virus corona‘ naik +430% selama 7 hari sebelum tanggal 16 Maret
- Jika dibandingkan 2 minggu ke belakang dengan 1 minggu ini, kenaikan pencarian terkait corona naik +220%
- Selama 7 hari ke belakang pencarian ‘cara penyebaran virus corona‘ mencapai +8.050% dan ‘social distancing‘ mencapai +6.330%
- Selama 7 hari ke belakang pula, pencarian ‘gejala corona menurut who‘ mencapai +5.260%
- Dengan daerah tertinggi pencarian trend ini berasal dari Jawa Barat, Bali dan DKI Jakarta.
Sementara itu, manuver dan kebijakan pemerintah Indonesia sejak awal pandemi cenderung santai. Dari mulai statement Menkes, dr. Terawan kalau virus Corona (Covid-19) yang tidak lebih mematikan dari flu biasa di awal Maret. Atau sebelumnya, pernyataan beliau yang menjadi bulan-bulanan media tentang doa sebagai penolak virus Corona di akhir Januari.
Dan semakin kesini, Menkes kita malah semakin blunder. Saat gerakan social distancing dikampanyekan. Beliau malah mengadakan acara penghargaan bagi para penyintas virus Covid-19 ini. Dilangsungkan secara seremonial mengundang banyak orang dan media pada 16 Maret lalu.
Sebenarnya pandemi informasi Corona bukan saja dari sisi Kemenkes. Walau sebagai garda terdepan informasi pandemi. Publik melihat tidak adanya perencanaan, penanganan, dan pencegahan yang adekuat di awal pandemi Corona. Tetapi kini, kita rasakan berbeda setelah ada Jubir informasi pandemi Corona.
Yang paling fatal adalah penyebaran informasi personal pasien oleh Walikota Depok di awal Maret lalu. Dampaknya bukan saja kepanikan lingkungan di sekitar PDP awal. Namun juga kehidupan personal dan keluarga besar PDP (Pasien dalam Pengawasan) tersebut. Netizen menyesalkan manuver dan mengecam Walikota Depok.
Setelah pemerintah kini sigap dengan mengeluarkan beragam aturan dan larangan. Pandemi informasi soal Covid-19 cukup terkendali. Namun jangan sampai luput dari fokus kita adalah, pandemi bersifat global. Selain secara medis pandemi adalah penyebaran wabah secara global.
Informasi tentang Corona menjadi juga menjadi pandemi. Indonesia seolah bertekuk lutut dalam hal ini.
Saat lebih dari 170 juta penduduk Indonesia terkoneksi internet. Informasi menjadi kebutuhan dasar sekaligus komoditas yang berlimpah. Setiap detik, informasi tentang persebaran Corona dari beragam belahan dunia terpantau di linimasa. Begitu juga desas-desus sebaran Corona diobrolkan dalam ruang gelap WAG (WhatsApp Group).
Banyak oknum yang mengkapitalisasi gelombang kepanikan publik pada Corona. Beberapa mungkin ingin mengacaukan dan meracuni linimasa dengan beragam informasi toxic.
ZDNet mengungkap penipuan (scamming) berbasis situs dan aplikasi di Android. Lebih dari 3.600 situs yang bodong dibuat hanya antara 14-18 Maret, walau akhirnya diblokir. Situs ini menawarkan obat-obatan palsu mengobati Corona sampai mengunduh malware. Aplikasi pemantau virus Corona untuk Android juga ditemukan mengunduh ransomware.
Hoaks bernada rasis juga ditemukan Mafindo sejak akhir Januari tahun lalu. Seperti postingan Facebook foto korban virus Corona yang bergeletakan di sebuah jalan di kota Wuhan. Walau foto tersebut sebenarnya adalah foto re-kreasi penghormatan korban Nazi Katzbach tahun 2014 di Frankfurt. Selain memprovokasi, tujuan polarisasi juga terasa dalam hoaks macam ini.
Secara global, laporan akademis gurem yang mengklaim telah menemukan vaksin Corona pun beredar di Internet sejak outbreak. Teori konspirasi menyoal siapa pembuat dan tujuan virus Corona menjadi bahan diskusi di banyak forum digital. Bahkan anjuran yang berkedok tips kesehatan malah berisi pesan rasis di dalamnya viral beredar di sosial media.
Karena bukan tidak mungkin informasi-informasi di atas sampai ke linimasa kita. Lalu disebarkan dan didiskusikan dengan kepanikan di WAG. Untuk kemudian diulang prosesnya kepada banyak WAG yang kita ikuti. Sebuah lingkaran setan epidemi informasi Corona.
Tidak mempercayai informasi pencegahan Corona dari Kemenkes bukan hal sulit di sosmed. Menyebarkan kabar bohong soal PDP di sebuah kelurahan dekat dengan rumah kita tidak sulit di WhatsApp.
Kepanikan pada pandemi Corona tidak saja memicu social distancing, city lock down, sampai panic buying. Tetapi juga pandemi informasi tentang virus Corona yang bak tsunami menghempas linimasa dan chat di smartphone kita setiap saat. Kita menjadi jengah sekaligus lelah yang bukan tidak mungkin memantik kebingungan (chaos).
Informasi di sosmed atau grup chat bukan lagi soal sumber dan validitas. Tetapi seberapa genting, viral dan personal sebuah informasi menginisiasi kita untuk bertindak. Terlepas dari informasi yang didapat fakta atau dusta.
Dalam kekalutan ancaman dan bahaya virus Corona, ada kekacauan pandemi informasi global yang terjadi. Tiada yang bisa membendung. Sekalipun itu platform sosmed atau internet itu sendiri.
Karena saat ini kita bukan saja informatif. Tetapi kini kita adalah informasi itu sendiri.