Kamis, Maret 28, 2024

Setelah Setya Novanto Jadi Tersangka

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto seusai memberikan keterangan pers terkait hasil rapat pleno tertutup di Kantor DPP Partai Golkar, Palmerah, Jakarta, Selasa (18/7). DPP Partai Golkar memutuskan Setya Novanto akan menjalankan tugasnya sebagai Ketum hingga akhir masa jabatan tahun 2019, walau telah menjadi tersangka kasus korupsi KTP-el oleh KPK. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc/17.

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Setya Novanto, Ketua Umum Partai Golkar, sebagai tersangka korupsi pengadaan E-KTP [KTP Elektronik] (17/07/2017). Penetapan ini tak disangka-sangka sebelumnya. Meski begitu, langkah komisi antikorupsi tersebut sangat patut diapresiasi.

Pasca-penetapan Setya Novanto, hemat saya, eskalasi serangan politik dan fisik ke komisi antirasuah bakal bertambah. Asumsi demikian terbangun karena didasarkan pada dua kenyataan.

Fakta atas serangan politik diukur dari pelaksanaan hak angket untuk KPK yang sedang berlangsung. Sebagaimana dicatat oleh media massa—dan tentu sudah dibaca, dilihat, dan/atau didengar oleh publik—pengusulan hak angket KPK dimulai tatkala lembaga antikorupsi itu menolak untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani, salah satu saksi korupsi E-KTP dari unsur legislatif. Sikap KPK membuat 26 anggota DPR melayangkan usul angket.

Walau ditengarai melanggar prosedur hak angket, sidang paripurna DPR yang dipimpin Fahri Hamzah tetap memutuskan bahwa hak angket untuk KPK sah. Lalu serangan terhadap KPK pun dimulai dalam bentuk meluncurkan informasi yang didaur-ulang yang menyudutkan KPK.

Misalnya, audit BPK tentang lebih bayar negara atas gaji komisioner KPK (Taufiqurrahman Ruki, Johan Budi, dan Indriyanto Seno Aji); sangkaan atas penggelembungan pembangunan gedung KPK; sampai pada tuduhan bahwa institusi negara antikorupsi itu “menyewa” lembaga swadaya masyarakat untuk membantunya menutupi kebobrokannya. Padahal, semua tuduhan tersebut telah dijawab oleh otoritas auditor negara.

Boleh jadi, setelah Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka, serangan politik ke KPK akan semakin gencar lagi. Informasi recycle seperti KPK tebang pilih kasus, menjadi antek luar negeri, atau semacamnya akan dilemparkan (lagi) ke publik.

Selanjutnya, fakta meningkatnya potensi serangan fisik terhadap unsur KPK. Pemikiran seperti ini dilandasi oleh kasus penyiraman air keras ke Novel Baswedan, penyidik KPK, yang terjadi setelah KPK membawa korupsi E-KTP ke sidang pengadilan tindak pidana korupsi. Meski mungkin bukan satu-satunya motif—sebab ada informasi kasus korupsi lainnya yang juga ditengarai sebagai pemicu penyerangan terhadap Novel—pemikiran bahwa kasus korupsi E-KTP adalah motif penyerangan Novel menguat di kesan publik.

Selain itu, sebagai informasi, belum lama ini, anggota Polri Brigade Mobil yang menjaga rumah Novel mengalami kecelakan akibat ditabrak mobil dari belakang. Kasus ini juga dipandang masih ada kaitan dengan kasus Novel. Jangan-jangan, setelah Setya Novanto diumumkan sebagai tersangka, keselamatan unsur KPK melaju kencang ke titik kritis.

Potensi serangan politik dan/atau serangan fisik ke KPK hampir-hampir tak bisa dihindarkan sebagai konsekuensi dari tugas dan kewenangan lembaga antikorupsi. Bahkan, menurut mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, serangan ke KPK sudah ada sejak 2005. Lalu apa yang harus dilakukan oleh KPK untuk menghindari atau mengurangi potensi serangan tersebut?

Selain yang sudah disediakan oleh peraturan perundang-undangan untuk pengamanan aparat penegak hukum dan penegakan hukum itu sendiri, KPK wajib tetap konsisten dalam jalan hukum. Tidak hanya untuk kasus korupsi E-KTP, tetapi juga untuk semua kasus korupsi yang sedang ditangani oleh KPK. Setelah Setya Novanto, KPK harus menetapkan tersangka lainnya dari unsur eksekutif, legislatif, dan korporasi.

Surat dakwaan KPK atas tersangka korupsi E-KTP menyediakan keterangan tentang keterlibatan tiga unsur itu. Jalan hukum diyakini mampu menyelamatkan KPK dari fitnah politik—di samping juga KPK mempunyai segudang pengalaman mengatasi model serangan politik dan/atau fisik terhadapnya.

Apakah KPK harus bertanggung jawab sendirian menghentikan serangan dan potensi serangan itu? Idealnya semua elemen yang mendukung pemberantasan korupsi juga harus mendukung KPK. Tetapi dengan polarisasi pendapat yang terjadi di masyarakat tentang dukungan terhadap KPK, maka siapa yang harus bertanggung jawab melawan serangan ke KPK juga akan terbelah.

Harapannya, masyarakat yang mendukung KPK berkontribusi aktif menjaga lembaga antikorupsi itu dari serangan balik pelaku korupsi (corruptor fightback). Misalnya, memberi dukungan moral ke KPK, baik sendiri atau bersama-sama. Ini bentuk dukungan paling minimal. Menjaga diri tetap dalam kewarasan dan tidak sekali-kali berpikir bahwa KPK sedang mengada-ada dan bersandiwara dengan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi E-KTP.

Yang menarik adalah membaca polarisasi dukungan partai politik—yang mungkin saja terjadi—di parlemen terhadap KPK pasca-penetapan Setya Novanto sebagai tersangka. Partai Golkar sendiri telah menyelenggarakan Rapat Pleno untuk menyikapi penetapan tersangka Setya Novanto. Hasil rapat menyatakan, Partai Golkar solid tetap mendukung ketuanya. Pilihan Partai Golkar jelas dalam hal ini berseberangan dengan KPK.

Dukungan partai penting untuk memprediksi elektabilitas dalam Pemilihan Umum 2019 nanti. Apabila partai mendukung langkah Partai Golkar terkait posisi Setya Novanto, maka kemungkinan besar simpati pemilih akan menurun. Sebaliknya, jika berbalik mendukung langkah KPK, jaminan atas simpati pemilih bakal naik. Semestinya, partai dapat memanfaatkan momentum penetapan tersangka Setya Novanto ini. Di samping itu, kapan lagi waktu yang tepat untuk mendeklarasikan diri sebagai partai antikorupsi, kalau bukan sekarang?

Akhirnya, semua kembali ke keputusan politik elite partai. Siapa yang jeli mengambil peluang, dapat dipastikan merekalah yang akan memenangkan kontestasi politik. Dan ini sangatlah rasional.

Baca juga:

Setya Novanto dan Ketidakabsahan DPR

Sesat Nalar terhadap KPK

Angket Akal-akalan

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.