Sabtu, April 20, 2024

Sesat Nalar terhadap KPK

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Angket KPK (KOMAS TAK) membentangkan spanduk saat mendatangi gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/7). Kedatangan mereka untuk memberikan dukungan kepada KPK serta menyampaikan petisi untuk menolak hak angket DPR yang dinilai melemahkan KPK. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Upaya menghabisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin nyata wujudnya akhir-akhir ini. Publik bisa merasakan itu ketika menyaksikan derap langkah anggota DPR di Parlemen yang bergerak secara perlahan, sistematis, dan simultan dalam membentuk hak angket KPK. Saya meyakini hak angket ini hanyalah sasaran antara tetapi tujuan akhirnya adalah menggerus kekuatan KPK, paling tidak dalam kasus KTP elektronik (e-KTP). Ini salah satu bentuk banalitas terhadap KPK.

Banalitas tersebut sesungguhnya dinakhodai oleh beberapa aktor di Senayan yang berkolobarasi dengan pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime) berwajah koruptor, mafia atau nama lain dalam habitat yang sejenis. Hal ini ditegaskan oleh John E. Ferguson Jr, dalam White Collar Crime (2010) bahwa korupsi sesungguhnya adalah kombinasi antara pengusaha hitam, birokrasi, culas dan politisi busuk.

Kombinasi inilah kiranya yang mengayuh gelombang keras ke arah KPK yang diharapkan mampu meluluhlantahkan KPK secara kelembagaan. Pertanyaannya adalah mengapa anggota DPR mendorong hak angket terhadap KPK?

KTP Elektronik

Bergulirnya hak angket KPK di Parlemen sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kasus KTP elektronik yang sedang ditangani KPK. Sebab, dalam kasus ini, beredar beberapa nama anggota parlemen yang diduga telah menerima aliran dana haram dari pelaku. Bahkan ada satu nama yang kemudian menjadi awal mula perseteruan antara KPK dan DPR, yakni Miryam S. Haryani.

Miryam adalah politisi Hanura, yang sebelum ditangkap KPK adalah buronan dan saksi atas beberapa tersangka KTP elektronik. Ia dikabarkan membagi-bagikan fee ke beberapa anggota DPR guna memuluskan proyek KTP elektronik. Belakangan nama-nama yang disebut Miryam bersuara lantang sembari meminta hak angket terhadap KPK.

Pendeknya, hak angket adalah serangan balik terhadap KPK yang dirancang oleh sejumlah anggota parlemen karena terancam dibui oleh KPK. Untuk itulah mereka berusaha menyelamatkan diri melalui sarana kekuasaan yang legal. Tegasnya, hak angket adalah abuse of power by parlement.

Selain cara legal, modus lain yang sering digunakan juga untuk mengamputasi spirit pemberantasan korupsi oleh KPK adalah melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Inilah yang dialami oleh Bambang Wijojanto, Abraham Samad, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Masih mengenai serangan balik terhadap KPK, bentuk lain adalah serangan secara ilegal seperti yang dialami oleh Novel Baswedan, penyidik senior KPK yang menjadi sasaran kekerasan oleh orang tak dikenal. Dalam wawancaranya dengan majalah TIME baru-baru ini di Rumah Sakit di Singapura, Novel membeberkan fakta bahwa dalang di balik serangan brutal kepadanya adalah seorang jenderal polisi. Ihwal kebenaran informasi ini, kepolisian perlu menunggu Novel sehat terlebih dahulu untuk segera memeriksanya.

Serangan secara legal maupun ilegal diharapkan dapat mengganggu, merusak atau menghambat kinerja KPK dalam memberantas korupsi, terutama mengungkap kasus KTP elektronik. Bila cara ini terus dilakukan dan gagal diselesaikan oleh pemerintah, maka negara kita akan menjadi sarang para mafioso. Tempat mereka berpesta pora sembari mengeruk harta kekayaan negara. Dengan demikian, sebagai bangsa yang besar, kita tinggal menunggu saatnya Indonesia untuk bubar.

Obstruction of Justice

Secara etimologis, kata obstruction of justice diambil dari hasil konvensi internasional tentang pemberantasan korupsi di Merida-Meksiko yang acapkali disebut sebagai United Nations Convention Against Corrruption (UNCAC) 2003. Pada Article 25 UNCAC secara eksplisit mengatur tindakan yang sifatnya menghalang-halangi atau merintangi proses peradilan korupsi.

Ketentuan semacam ini kemudian diadopsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Pasal 21 peraturan a quo, disebutkan bahwa diancam pidana penjara atau denda bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara korupsi.

Pertanyaannya kemudian, apakah hak angket terhadap KPK adalah sebagai bentuk obstruction of justice? Jawabannya jelas bahwa sikap anggota parlemen yang mendorong hak angket terhadap KPK, terutama hubungannya dengan kasus KTP elektronik, adalah suatu tindakan yang menghalang-halangi atau merintangi atau berusaha menggagalkan baik secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan kasus KTP elektronik. Ia adalah obstruction of justice.

Hal ini dapat dilihat dari modus operandi hak angket, yang meminta rekaman pemeriksaan KPK terhadap Miryam S. Haryani. Permintaan rekaman ini merupakan bentuk intervensi terhadap penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK. Anggota parlemen yang terhormat itu seharusnya membiarkan proses hukum KTP elektronik berjalan. Adapun hasil pemeriksaan atas Miryam di KPK akan terungkap di pengadilan ketika Miryam disidangkan di Pengadilan Tipikor.

Lagi pula jika KPK bekerja tidak profesional seperti yang disuarakan oleh pendorong hak angket itu, maka sudah pasti KPK sendiri yang menanggung risikonya. KPK akan berhadap-hadapan dengan kekuatan rakyat. Tetapi jika anggota DPR tetap memaksakan hak angket, maka yang akan terjadi adalah hal sebaliknya, mereka akan berhadap-hadapan dengan people power.

Dalam sudut pandang lain, permintaan rekaman pemeriksaan atas Miryam tersebut sesungguhnya menunjukkan bahwa anggota parlemen yang mendorong hak angket itu justru tidak paham undang-undang. Sebab, dalam Pasal 17 huruf a butir 1 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ditegaskan bahwa yang termasuk dalam informasi yang dikecualikan adalah informasi yang apabila diberikan dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana.

Augustine Brannigan, profesor di Oxford University, dalam bukunya, Beyond the Bannality of Evil (2013), menjelaskan bahwa banalitas adalah kedangkalan pikiran atau tindakan tanpa pikiran. Dalam kosa kata lain, banalitas lahir dari orang-orang yang tidak berpikir secara otentik dan komprehensif. Mereka bisa saja birokrat, parlemen, aparat penegak hukum, dan kalangan akademik.

Dalam bayangan saya, anggota parlemen yang mendorong hak angket terhadap KPK adalah mereka yang pikirannya dangkal terhadap integritas dan KPK itu sendiri.

Baca juga:

Menuju Kehancuran KPK

KPK dan Kebrutalan Politisi Senayan

Menanti Komitmen Jokowi untuk KPK

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.