Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan/Ormas (Perppu No. 2 Tahun 2017), secara tekstual pemerintah mengindikasikan adanya kegentingan yang memaksa sehingga harus dibentuk sebuah perppu. Namun, secara kontekstual ada banyak tanda tanya mengapa Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut harus dibentuk.
Wacana pembubaran ormas memang belakangan ini muncul. Yang paling kuat muncul dan mengundang banyak perdebatan adalah sikap pemerintah yang hendak membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun, sebelum terlalu dini menjustifikasi bahwa Perppu No. 2 Tahun 2017 ini dibentuk secara khusus atau sengaja hanya untuk membubarkan HTI, patut ditelaah lebih jauh hal ihwal kegentingan dan memaksa apa yang menjadi dasar Presiden menetapkan Perppu No. 2 Tahun 2017.
Ihwal Perppu
Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 memang menyatakan bahwa, “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”
Penetapan perppu memang merupakan kewenangan subjektif yang dimiliki Presiden. Akan tetapi, ada syarat konstitusional yang harus dipenuhi oleh Presiden, yaitu frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.” Frasa ini merupakan syarat objektif, sehingga kemudian kelahiran perppu memang didasari oleh kebutuhan hukum, bukan atas dasar kepentingan politik.
Dalam penafsiran frasa “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan nomor 138/PUU-VII/2009 telah menjelaskan apa yang menjadi parameter bagi Presiden tentang hal ihwal kegentingan yang memaksa. Ada beberapa tolok ukurnya. Pertama, adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Sementara itu, dalam padangan AALF van Dullemen dalam bukunya, Staatsnoodrecht en Democratie, (1947) menyebutkan bahwa ada empat syarat hukum tata negara darurat. Pertama, eksistensi negara tergantung tindakan darurat yang dilakukan. Kedua, tindakan itu diperlukan karena tidak bisa digantikan dengan tindakan lain.
Ketiga, tindakan tersebut bersifat sementara. Keempat, ketika tindakan diambil, parlemen tidak bisa secara nyata dan sungguh-sungguh. Menurut Dullemen, keempat syarat itu harus berlaku secara kumulatif.
Parameter dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan menurut pandangan Dullemen tersebut sejatinya cukup menjelaskan bagaimana posisi Perppu No. 2 Tahun 2017 secara materil.
Melihat isi pasal per pasal dari Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut, sangat jelas terlihat bahwa pemerintah, selain memperluas ruang lingkup pengaturan terkait dengan kehidupan ormas, juga melakukan penyingkatan prosedur pembubaran terhadap ormas yang dianggap layak dibubarkan menurut hukum. Hal tersebut tergambar dengan sangat jelas, persisnya dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 yang menghapus mekanisme tahapan penjatuhan sanksi secara berjenjang terhadap ormas sebagaimana diatur pada Pasal 62 hingga Pasal 81 UU Ormas.
Sejauh menggunakan pendapat Mahkamah Konstitusi dan Dullemen dalam mendefinisikan kondisi objektif hal ihwal kegentingan yang memaksa, memang sulit mencari titik temu dengan penghapusan pasal-pasal dalam UU Ormas melalui Perppu No. 2 Tahun 2017.
Sebab, keberadaan Perppu No. 2 Tahun 2017 tersebut sama sekali tidak mencerminkan dan memenuhi parameter sebagai syarat objektif sebuah perppu layak ditetapkan oleh Presiden. Bahkan dapat dikatakan Perppu No. 2 Tahun 2017 sebagai sebuah aturan hukum yang mencerminkan kemunduran peradaban hukum serta mencederai prinsip keadilan.
Jika dicermati, mekanisme pembubaran ormas yang diatur menurut Perppu No. 2 Tahun 2017 tidak memberikan ruang kepada ormas yang hendak dijatuhi sanksi pencabutan status badan hukum melakukan pembelaan terhadap dirinya di dalam maupun di luar pengadilan sebagai bagian dari tahapan proses pembubaran ormas.
Otoritas pembubaran ormas berada tunggal di tangan pemerintah. Tanpa mengabaikan ada beberapa perubahan positif, jika rezim saat ini (terkhusus Presiden) tidak ingin disebut bertindak dan berwatak otoriter, barangkali akan lebih mungkin disebut rezim terkhusus Presiden yang tak mampu menunjukan cara berhukum yang baik.
Adapun beberapa waktu lalu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menyatakan bahwa pemerintah telah memutuskan akan menempuh langkah hukum untuk membubarkan HTI. Setidaknya ada lima poin pernyataan pemerintah terkait HTI yang pernah disampaikan oleh Wiranto.
Pertama, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Ketiga, aktivitas HTI nyata-nyata telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat serta membahayakan keutuhan NKRI. Keempat, mencermati pertimbangan di atas serta menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI.
Kelima, keputusan ini diambil bukan berarti pemerintah anti terhadap ormas Islam, namun semata-mata dalam rangka merawat dan menjaga keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kini setelah Perppu No. 2 Tahun 2017 ditetapkan oleh Presiden dinyatakan tidak secara khusus hanya untuk menyasar HTI. Hal tersebut memang benar. Sebab, ketentuan dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 semakin membuka ruang dan mempermudah pemerintah untuk membubarkan ormas mana saja yang dinilai layak oleh pemerintah untuk dibubarkan.
Namun, setelah lama tak terdengar kabarnya terkait langkah pemerintah yang hendak membubarkan HTI, kemunculan tiba-tiba Perppu No. 2 Tahun 2017 memang semakin mempermudah pemerintah membubarkan HTI.
Baca juga: