Kamis, Maret 28, 2024

Menegakkan Hukum Progresif Korupsi E-KTP

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Ketua DPR Setya Novanto (kiri) diduga menerima sejumlah uang dalam kasus korupsi megaproyek E-KTP. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

Separuh dari anggaran pengadaan KTP elektronik (E-KTP) senilai Rp 2,3 triliun diduga dikorupsi. Program yang sedianya bertujuan untuk memperbaiki pelayanan publik dengan menyediakan kartu identitas tunggal kependudukan itu terancam gagal.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi, korupsi E-KTP diduga, selain melibatkan 63 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari berbagai unsur, juga mengalir ke tiga partai politik, yaitu PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Demokrat (Media Indonesia, 10/3/2017).

Baru-baru ini Global Corruption Barometer merilis survei yang menyimpulkan bahwa DPR adalah lembaga terkorup di Indonesia. Temuan ini bukan hal baru karena dalam survei-survei sebelumnya juga menyimpulkan DPR sebagai lembaga yang sangat korup.

Korupsi yang melibatkan mereka yang berprofesi sebagai anggota DPR bukan hal baru, namun perilaku suap ini selalu berulang meski KPK tiada henti melakukan pencegahan dan penindakan. Penegakan hukum atas tindak pidana korupsi selama ini seolah gagal membuat koruptor jera.

Menurut penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata koruptor hanya divonis selama 2 tahun 2 bulan penjara selama 2016. Pada 2013, rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan, pada 2014 selama 2 tahun 8 bulan, pada 2015 selama 2 tahun 2 tahun. Vonis itu artinya hanya 1/8 hukuman maksimal.

Padahal, mereka “wakil rakyat” telah mengkhianati mandat dan kepercayaan rakyat. Anggota DPR yang terbukti korupsi harus dihukum seberat-beratnya, termasuk dengan mencabut hak politiknya. Sedangkan atas dugaan aliran dana korupsi E-KTP ke partai politik,  bisa diusulkan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi.

Pencabutan Hak Politik

Menurut penelitian ICW, dari 576 vonis kasus korupsi pada 2016, hanya ada tujuh vonis yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.

Pada awal 2017, vonis itu dijatuhkan kepada mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman. Sedangkan pada 2016, di antaranya dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Djoko Susilo, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hasan Lutfi Ishaaq, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewi Yasin Limpo.

Hak politik adalah salah satu rumpun hak asasi manusia (HAM), sebagaimana diatur Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol).

Di dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, pembatasan atau pencabutan HAM hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang, dengan tujuan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.

Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu bahwa hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Di dalam Pasal 25 Kovenan Hak Sipol disebutkan bahwa setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak, untuk:

  1. a) Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
  2. b) Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;

Jika merujuk pada Pasal 25 huruf b Kovenan a quo, lingkup jabatan publik adalah jabatan yang diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum, seperti jabatan sebagai anggota DPR/D, bupati, gubernur, dan presiden.

Dalam kasus korupsi mantan anggota DPR Dewi Yasin Limpo, Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung memutuskan memulihkan haknya untuk memilih yang dicabut oleh pengadilan sebelumnya dan memperpendek pencabutan hak untuk dipilih dari 12 tahun menjadi 5 tahun.

Belajar dari vonis pencabutan hak politik yang bervariasi antara satu hakim dengan yang lain dan rendahnya vonis pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, Mahkamah Agung perlu merumuskan Peraturan MA sebagai basis untuk memadukan dan menyelaraskan putusan hakim atas vonis pencabutan hak politik.

Pencabutan hak politik terhadap koruptor adalah tindakan yang patut didukung supaya memberikan efek jera dalam kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR, di tengah rendahnya vonis kasus korupsi.

Pembubaran Partai Politik

Atas dugaan adanya aliran dana korupsi E-KTP ke partai politik, jika terbukti, bisa diusulkan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK diberikan kewenangan di antaranya untuk memutus pembubaran partai politik.

Di dalam Pasal 68 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi jo. Pasal 40 ayat (2) jo. Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, partai politik bisa dibubarkan di antaranya oleh karena melakukan kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan atau melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika nanti terbukti ada aliran dana korupsi E-KTP ke partai politik, maka putusan pengadilan bisa dijadikan dasar bagi pemohon yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengusulkan permohonan pembubaran partai politik ke MK.

Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014, pemohon ke MK bisa merupakan perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik/privat atau lembaga negara.

Namun, dalam konteks pembubaran partai politik, hanya pemerintah yang diberikan kewenangan sebagai pemohon sebagaimana diatur di dalam Pasal 68 ayat (1) UU tentang MK.

Korupsi adalah kejahatan luar biasa, merugikan kepentingan bangsa dan publik dalam skala yang luas, dan pelanggaran atas konstitusi serta berbagai peraturan perundang-undangan. Tak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk tidak mengusulkan permohonan pembubaran partai politik yang terbukti korupsi ke MK. Sebab, mekanisme hukum telah mengaturnya dengan jelas, tinggal komitmen dan keberanian dari pemerintah untuk melaksanakannya.

Kasus megakorupsi E-KTP harus menjadi pembelajaran bersama untuk memutus mata rantai korupsi yang banyak di antaranya dilakukan oleh mereka yang berasal dari unsur partai politik dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat.

Jika bangsa ini serius memberantas korupsi ke akar-akarnya, keberanian pemerintah dan hakim untuk mencabut hak politik dan membubarkan partai politik adalah melalui langkah hukum progresif. Ini kewajiban konstitusional untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan negara dari lilitan korupsi yang semakin menggurita.

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.