Rabu, April 24, 2024

Panitia Seleksi untuk DPD Inkonstitusional?

Charles Simabura
Charles Simabura
Ketua Bagian Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

    Presiden Joko Widodo dan Ketua DPD Oesman Sapta Odang saat menghadiri acara buka puasa bersama di kediaman Ketua DPD, Jakarta, Selasa (6/6). ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

 

Proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu kembali memunculkan wacana yang potensial inkonstitusional. Di tengah terbelahnya kepemimpinan Dewan Perwakilan Daerah, DPR dan Pemerintah mewacanakan reformulasi tata cara pemilihan anggota DPD. Sebagian anggota DPR menyatakan wacana tersebut merupakan usul dari pemerintah.

Usul tersebut berupa mekanisme pre election/penjaringan calon anggota DPD oleh Panitia Seleksi. Simulasinya, calon anggota DPD diseleksi oleh panitia seleksi, kemudian dilakukan fit and proper test oleh DPRD, lalu dipilih sebanyak jumlah tertentu (semisal 20 orang calon), dan hasilnya diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Wacana Inkonstitusional

Mekanisme ini jelas bertentangan dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. UUD NRI 1945 eskplisit menyebutkan bahwa mekanisme pemilihan anggota DPD sejalan dengan pemilihan Presiden, DPR dan DPRD yang tata caranya diseragamkan melalui pemilihan langsung. Jika diawali dengan mekanisme penjaringan dengan menggunakan pansel, ketentuan tersebut secara terang berpotensi besar inkonstitusional karena mengatur berbeda sesuatu yang diatur sama oleh konstitusi.

Selain itu, wacana menggunakan pansel dalam pemilihan anggota DPD akan melahirkan problem ketatanegaraan baru. Akan muncul ruang sengketa baru ketika hasil panitia seleksi atau fit and proper test DPRD terindikasi adanya kecurangan. Bagi mereka yang tidak puas dengan hasil seleksi akan menggugat hasil seleksi. Akibatnya diperlukan ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian yang tidak sederhana.

Mekanisme penjaringan akan menghilangkan salah satu kewenangan konstitusional KPU dalam melakukan verifikasi calon peserta pemilu. Padahal sebagai penyelenggara pemilu, KPU yang semestinya menentukan apakah calon peserta pemilu memenuhi syarat atau tidak sebagai peserta pemilu dan bukan lembaga lain (baca: pansel dan DPRD).

Selain itu, proses di DPRD tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Fit and proper test oleh DPRD bukan menjadi kewenangan DPRD dikarenakan secara konstitusional DPRD berfungsi dalam pembentukan perda, legislasi, dan anggaran. Tidak ada landasan ketatanegaraan yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa DPRD sebagai unsur pemerintahan daerah melakukan seleksi bagi calon anggota DPD. Desain dimaksud seakan kembali memposisikan DPD sebagai utusan daerah yang mewakili pemerintahan daerah. Apalagi DPD merupakan lembaga negara utama dalam desain trias politica.

Dalam kondisi kualitas DPRD seperti saat ini bukan tidak mustahil mekanisme pansel dan fit and proper test di DPRD akan menimbulkan praktik kolusi. Meskipun akan dibentuk tim pengawas, tetap saja para calon senator akan berusaha melakukan manuver dan lobby politik agar lolos dalam proses penjaringan. Hal potensial yang akan terjadi adanya transaksi politik antara calon senator yang berasal dari partai politik dengan fraksi mereka yang ada di DPRD. Anggota partai politik dipastikan semakin mendominasi proses pencalonan DPD.

Penyelematan DPD

Jikalau tetap diatur, ketentuan pansel untuk DPD potensial digugat ke Mahkamah Konstitusi dan sudah bisa dipastikan dinyatakan inkonstitusional. Bahwa konstitusi mengharuskan anggota DPD dipilih secara langsung tanpa adanya proses penjaringan merupakan ketentuan yang imperatif dan tidak dapat ditafsirkan sebagai open legal policy.

Rumusan konstitusi telah menyatakan bahwa tata cara pemilihan presiden, anggota DPRD, DPD dan DPRD diatur dalam satu ketentuan pasal yang sama. Sehingga tahapan yang dilakukan dan peyelenggaranya wajib sama, yaitu oleh sebuah komisi pemilihan umum. Termasuk mekanisme dan lembaga penyelesaian sengketa oleh lembaga yang sama. Menambah mekanisme lain dalam bentuk penjaringan, panitia seleksi, dan fit and proper test adalah inkonstitusional.

Dengan demikian, sudah selayaknya wacana tersebut dihentikan. DPR dan pemerintah harus lebih fokus pada perdebatan yang lebih substansial terkait dengan ambang batas pemilihan presiden, dan pemilu legislatif, tahapan pemilu, sistem pemilu, daerah pemilihan dan pengaturan dana kampanye. Terkait DPD dalam kondisi terbelah saat ini ketika salah satu penyebabnya akibat dari parpolisasi, sudah saatnya pemerintah dan DPR fokus pada upaya penyelamatan dan penguatan DPD.

Pembajakan DPD oleh partai politik harus dihentikan. Publik sebenarnya menantikan rumusan pasal yang mencegah DPD menjadi salah satu fraksi partai politik mana pun. Jika sebelumnya UU Pemilu (8/2012) tidak mengatur larangan tersebut, maka sudah sepatutnya RUU Pemilu kembali mencantumkan larangan sebagaimana pernah diatur dalam UU 10/2008. Kalaupun larangan ini akan diuji ke Mahkamah Konstitusi setidaknya potensi untuk dibatalkan oleh MK cukup kecil.

Dalam putusan pengujian kedua UU tersebut, MK menyatakan bahwa ketiadaan larangan bukan hal yang inkonstitusional. Begitu pula sebaliknya dengan pencantuman larangan. MK menyatakan bahwa dengan atau tanpa larangan merupakan open legal policy yang diserahkan kepada pembentuk UU.

Demi mengembalikan desain konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat secara kewilayahan sudah selayaknya larangan berasal dari partai politik dimunculkan dalam UU Pemilu. Setidaknya terdapat empat bentuk pengaturan secara kumulatif atupun alternatif. Pertama, calon senator untuk berhenti sebagai anggota partai politik dengan durasi lima tahun sebelum proses pemilu.

Kedua, kewajiban berhenti sebagai anggota partai politik pada saat mendaftar sebagai calon anggota DPD. Ketiga, berhenti saat terpilih sebagai anggota DPD. Keempat, melarang anggota DPD terpilih baik yang berasal dari partai maupun non-partai untuk menjadi pengurus partai.

Jika norma ini dimunculkan, DPR dan Pemerintah telah berkontribusi dalam menyelamatkan dan mengembalikan marwah DPD sebagai wakil daerah dan bukan partai politik.

Baca juga:

Mengapa DPD Membangkang Putusan MA?

Memangkas Masa Jabatan Pimpinan DPD

Charles Simabura
Charles Simabura
Ketua Bagian Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.