Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Sudiwardono, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Manado, dan Aditya Moha, anggota legislatif dari Partai Golkar. Seperti diwartakan oleh beberapa media arus utama, Sudiwardono dijanjikan uang sejumlah 100 ribu SGD oleh Aditya jika mampu “mengamankan” putusan banding Marlina Moha, ibu kandung Aditya, yang perkaranya kini di meja hakim banding PT Manado.
Apa yang dilakukan oleh kedua sosok tersebut sesungguhnya adalah dagang perkara, yang dalam pembacaan UU Anti Korupsi Indonesia tahun 2001 maupun United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 disebut sebagai suap menyuap. Aditya patut diduga sebagai penyuap (active bribery), sedangkan Sudiwardono sebagai yang menerima suap (pasive bribery).
Meskipun demikian, kasus ini bukan hal baru dalam narasi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jauh sebelum perkara ini mencuat ke permukaan, telah ada kasus lain yang serupa. Misalnya, di tahun 2015, ada dagang perkara yang melibatkan tiga orang hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dengan pengacara kondang OC Kaligis.
Lebih dari itu, KPK bahkan telah puluhan kali melakukan OTT atas dagang perkara ini tetapi tidak juga memberikan efek jera. Pertanyaan kemudian, apa gerangan yang terjadi dengan peradilan kita, sehingga praktik dagang perkara tak pernah berhenti?
Integritas Hakim
Samuel Johnson, sastrawan Inggris abad ke-18, dalam salah satu karyanya mengatakan, integrity without knowledge is weak and useless, and knowledge without integrity is dangerous and dreadful. Artinya, integritas tanpa pengetahuan adalah lemah dan tidak berguna, serta pengetahuan tanpa integritas itu berbahaya dan mengerikan.Inilah arti pentingnya pengetahuan dan integritas dalam kehidupan keseharian kita. Keduanya ibarat dua sisi dari satu mata uang, tidak terpisah-pisahkan satu sama lain.
Praktik suap menyuap yang acapkali melibatkan aparat penegak hukum kita, terutama hakim, sesungguhnya bukan masalah ketidaktahuan atau kurangnya pemahaman terhadap peraturan hukum. Raimo Sitala dalam A Theory of Precedent (2000) menyebut hakim sebagai the juris to make law atau judge made law dalam kepustakaan Anglo Saxon. Seorang hakim dianggap sebagai ahli hukum yang dikonotasikan sebagai pembuat hukum, bukan perusak hukum.
Jika dicermati seksama, stimulan utama terjadinya praktik dagang perkara adalah minimnya integritas, bukan masalah pengetahuan hukum hakim. Imbasnya, kepercayaan publik begitu mudah dikhianati. Putusan hakim yang seharusnya menjadi sarana untuk memperbaiki peradaban bangsa malah berpotensi menciptakan manusia yang tidak beradab. Sepertinya cukup sulit mencari dan menemukan hakim yang benar-benar dapat dipercaya ketika menangani sebuah perkara.
Padahal, pendapatan hakim pada saat ini jumlahnya cukup signifikan. Berdasarkan PP No. 94/2012, gaji pertama hakim adalah gaji pokok sesuai dengan golongan PNS, yaitu IIIA. Mereka juga mendapatkan tunjangan Rp 8,5 juta. Jadi, untuk bulan pertama, seorang hakim pemula bisa mengantongi gaji Rp 12 jutaan.
Di samping itu, hakim yang baru dilantik mendapat tunjangan uang kemahalan yang disesuaikan dengan penempatan, jumlahnya bisa sampai Rp 10 juta. Maka, sudah dapat dikalkulasi ada puluhan juta rupiah pendapatan hakim dalam sebulan.
Apakah jumlah ini masih kurang? Jika tolok ukurunya adalah syahwat alias hasrat nafsu belaka, tentu saja tidak cukup. Dalam hal ini tidak cukup untuk membuat rumah mewah, mobil mewah atau fasilitas mewah lainnya yang instan. Tetapi jika standarnya adalah soal pemenuhan kebutuhan dasar, maka jumlah tersebut sebetulnya sudah cukup untuk mendanai aktivitas hakim dan keluarganya sehari-hari.
Pendekanya, praktik suap menyuap atau dagang perkara di peradilan yang melibatkan oknum hakim adalah soal mental atau integritas. Bukan masalah pengetahuan atau juga pendapatan. Itulah mengapa Susan Rose-Ackerman, ahli hukum dari Yale University dalam Greed, Corruption and Modern State: Essays in Political Economy, (2015) mengenalkan term corruption by greed atau korupsi karena kerakusan atau ketamakan.
Dalam hal ini korupsi dilakukan sudah melampaui batas kebutuhan (corruption by need). Karenanya, berapa pun gaji, tunjangan, dan pendapatan lainnya tidak akan pernah dirasa cukup, sebab ia hanya memenuhi hasrat nafsunya.
Rekrutmen Hakim
Salah satu variabel penting dalam mengulas praktik dagang perkara yang melibatkan hakim adalah masalah rekrutmen atau seleksi calon hakim. Tahapan ini sesungguhnya sangat krusial, sebab bertalian erat dengan proses jangka panjang ketika seseorang menyandang status sebagai hakim dan akan menyidangkan suatu perkara. Jika tahapan ini dimulai dengan proses yang koruptif, tidak ada standar yang jelas, nihil keterbukaan dan pengawasan, maka sudah bisa dipastikan akan lahir calon-calon hakim yang bertindak layaknya sapu kotor.
Selama ini Mahkamah Agung (MA) kukuh berpandangan bahwa seleksi hakim sudah dilakukan dengan baik dan benar. Tetapi di saat bersamaan kita dipertontonkan dengan perilaku tidak etis dan melanggar hukum yang dilakukan oleh oknum-oknum hakim. Praktik suap menyuap atau dagang perkara telah berpuluh-puluh tahun berlangsung, celakanya MA selalu membela diri seraya mengatakan itu hanyalah oknum.
MA lupa jika proses seleksi benar-benar dibuat terbuka dan akuntabel, mudah dipastikan tidak ada oknum hakim yang berani mengotori tangannya dengan dagang perkara. Karena itu, saya berpandangan bahwa akar masalah korupsi peradilan letaknya ada di MA. Tidak dibangun suatu sistem yang terpercaya dan bertanggungjawab.
Atas dasar itulah saya harus mengatakan bahwa dalam perkara Ketua PT Manado yang terjaring OTT KPK, dengan rasa penyesalan yang mendalam, secara moril Ketua MA idealnya mengundurkan diri, sebab ia gagal mengawasi hakimnya. Ia juga gagal membangun sistem yang bersih dan berintegritas di lingkup MA.
Nalar publik mengatakan, jangankan hakim-hakim di lingkungan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi, hakim sekaliber Mahkamah Konstitusi (MK) pun jatuh terjerambab dalam kubangan korupsi. Ini, misalnya, bisa kita saksikan dari perkara mantan ketua Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mohtar dan Patrialis Akbar. Padahal, proses seleksi hakim MK tentu saja jauh lebih akuntabel dan kompetitif. Sistemnya pun dalam bayangan saya masih lebih baik dan terukur.
Maka, saya berpandangan bahwa menekan laju korupsi peradilan harus dimulai dari perbaikan seleksi calon hakim. MA tidak boleh lagi menjadi aktor tunggal dalam melaksanakan rekrutmen hakim. Tidak boleh lagi ada tirani mayoritas bagi MA. Meskipun Pasal 24A UUD 1945 telah secara tersirat memberi kewenangan kepada MA, tetapi jika ditelaah lebih jauh tidaklah demikian adanya. Sejak konstitusi digagas, tugas MA hanyalah melakukan pengawasan peradilan, bukan semata-mata menyeleksi calon hakim.
Proses seleksi hakim sejak awal seharusnya sudah melibatkan banyak pihak. Misalnya Komisi Yudisial, penggiat anti korupsi semacam ICW, KPK, PPATK, dan lembaga lain yang kompeten. Bertalian dengan tolok ukur seleksi, mungkin kita bisa mengambil perbandingan dengan seleksi hakim yang ada di Amerika Serikat. Di sana, seperti tulis Lawrence M. Friedman, dalam American Law an Introduction, (1994) seleksi hakim selain didasarkan pada kompetensi keilmuan juga harus berintegritas.
Dalam konteks Indonesia, untuk menggali integritas calon hakim dapat dimulai dari riwayat perkuliahannya hingga ia menyelesaikan studi, lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar, termasuk lingkungan tempat ia bekerja sebelumnya. Harus ditelusuri sejauh mungkin sehingga kita dapat memastikan bahwa orang yang lolos seleksi adalah benar-benar berintegritas dan layak mengemban amanah sebagai officium nobile alias pekerjaan terhormat. Bukan pekerjaan khianat.
Demikian pula, ketika tes kompetensi hingga wawancara dilakukan, prosesnya harus fair dan terbuka, publik bisa ikut mengawasi dan hasilnya bisa segera diketahui. Dengan demikian, tak ada lagi kongkalingkong dalam menentukan kelulusan. Semua proses harus dilalui dengan cara yang terhormat dan bijaksana. Sebab, menjadi hakim, kata Plato, adalah membutuhkan kebijaksanaan.
Terjaringnya ketua PT Manado oleh KPK seharusnya menjadi momentum untuk meninjau kembali proses seleksi hakim dari segala tingkatannya. Dan ini juga bisa menjadi momentum untuk membenahi wajah carut marut peradilan kita.
Kolom terkait:
Mengurai Polemik Rekrutmen Hakim
Pancaran Sinar Ketuhanan untuk Yang Mulia Patrialis Akbar
Ada Apa dengan Mahkamah Konstitusi?
La Nyalla dan Kegagalan Hakim Memahami Kewenangan Praperadilan