Kamis, April 25, 2024

KPK bukan Eksekutif

Allan Fatchan Gani Wardhana
Allan Fatchan Gani Wardhana
Peneliti di LPBH NU DIY & Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Melalui Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dijadikan obyek angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena KPK merupakan bagian dari lembaga eksekutif. Banyak yang kemudian menyesalkan putusan ini dan menganggap putusan MK tersebut mengacaukan struktur ketatanegaraan Indonesia.

Putusan MK memberikan legalitas bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif. Dengan logika itu, secara ketatanegaraan KPK seolah-olah dan secara nyata berada di bawah eksekutif. Padahal, selama ini KPK banyak menangkap oknum eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif.

Lihatlah data betapa banyak oknum dari eksekutif bersekongkol dalam kasus korupsi dengan anggota legislatif, baik di level nasional maupun daerah. Sebagai contoh ialah kasus proyek E-KTP, kasus Wisma Altet, dan lain sebagainya. Di ranah yudikatif, banyak jaksa dan hakim yang juga turut ditangkap.

Berdasarkan hal di atas, sulit membayangkan apabila lembaga yang bertugas memberantas korupsi di semua cabang kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) lantas ditempatkan di bawah cabang yang menjadi objek pengawasan KPK. Bagaimana mungkin lembaga pengawas seperti KPK posisinya berada di bawah yang diawasi (dalam hal ini eksekutif). Padahal, merujuk sejarahnya, KPK lahir salah satunya untuk memberantas korupsi sangat akut yang menjangkiti lembaga legislatif, yudikatif, bahkan eksekutif sekalipun.

Jauh sebelum Putusan MK ini muncul, perdebatan mengenai apakah KPK merupakan bagian dari lembaga eksekutif atau lembaga negara cabang tersendiri memang sudah mengemuka. Perdebatan itu berlangsung ketika munculnya Pansus Angket KPK hingga akhirnya masuk di ruang “pertimbangan hukum” para hakim MK.

Memang, ada dua pandangan dalam perdebatan ini. Pertama, yang menganggap bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga eksekutif, dengan asumsi bahwa praktik di beberapa negara, lembaga yang menyelenggarakan fungsi penyidikan dan penuntutan dapat dikategorikan sebagai bagian dari eksekutif.

Kedua, yang menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara independen dan bukan bagian dari eksekutif. Lantas, mana yang benar?

Pertama, KPK merupakan lembaga negara independen sehingga ia tidak berada di bawah kekuasaan dan pengaruh lembaga mana pun dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat kita rujuk dalam yurisprudensi putusan-putusan MK sebelumnya: Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011. Empat putusan ini intinya menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Empat putusan tersebut juga disinggung oleh empat hakim MK yang menyatakan disssenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017 yang lalu.

Kedua, dalam teori lembaga negara kontemporer, kedudukan lembaga negara independen (termasuk KPK) ialah sejajar dengan lembaga Trias Politica yang terdiri dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Meminjam istilah Yves Manny dan Andrew Knapp yang menempatkan lembaga negara independen sebagai cabang kekuasaan keempat atau The Fourth Branch Of Government.

Pendapat ini beresonansi dengan konsep The New Separation yang dibawa oleh Brucke Ackerman, yang intinya menganggap bahwa lembaga independen itu kedudukannya sejajar dengan lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Ketiga, dalam penjelasan UU No. 30/2002 tentang KPK, juga sangat jelas ditegaskan bahwa KPK memang dibentuk sebagai badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan mana pun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dari beberapa alasan di atas, jelas bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen yang kedudukannya sejajar dengan lembaga Trias Politica. Ke depan perlu dipertimbangkan terkait gagasan memasukkan pengaturan KPK ke dalam konstitusi.

Adanya pengaturan KPK di dalam konstitusi, selain karena materi muatan konstitusi harus mengatur terkait eksistensi kelembagaan negara, juga dimaksudkan sebagai langkah antisipasi dari upaya pelemahan KPK yang secara terus menerus digulirkan. Pengaturan tersebut juga otomatis akan menguatkan KPK sebagai lembaga negara pemberantas korupsi yang keberadaannya tidak hanya dijamin oleh undang-undang, tapi juga dijamin oleh konstitusi.

Kolom terkait:

Ketika KPK Tersandera Angket DPR

DPR Versus KPK, Mau Sampai Kapan?

KPK Dibekukan? Berapa Celsius?

Mereformasi KPK

Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK

Allan Fatchan Gani Wardhana
Allan Fatchan Gani Wardhana
Peneliti di LPBH NU DIY & Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.