Jumat, Maret 29, 2024

Kebiadaban Korupsi KTP Elektronik

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo (ketiga kiri) menerima kaos dukungan untuk KPK dari perwakilan BEM se-Jabodetabek dan Banten di depan gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/3). BEM mendukung KPK mengusut tuntas kasus megakorupsi pengadaan e-KTP yang menyeret sejumlah nama besar. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/ama/17

Ingar bingar korupsi di bumi pertiwi ini kelihatannya semakin merajalela. Ia bertebaran bagai virus mematikan, seolah tak ada obat mujarab yang dapat menghambat laju kencangnya. Tak tanggung-tanggung, virus ini bahkan secara sadis telah bersemayam di segala tempat. Mulai dari pemilihan ketua RT, kontestasi partai politik, birokrasi hingga parlemen, termasuk juga dalam ranah pengadilan.

Semuanya dibuat tak berdaya, eksekutif, legislatif dan yudikatif bertekuk lutut di hadapannya. Penyakit ini bahkan menjadi salah satu wabah mematikan yang hingga kini belum ditemukan cara penyembuhannya. Atas dasar itulah dalam kepustakaan, korupsi diibaratkan sebagai the root of all evils.

Bila dilihat dari modus operandinya, korupsi di negeri ini jelas dilakukan secara sistematis dan rapi. Segala sesuatunya telah dipersiapkan jauh-jauh hari, melibatkan seluruh cabang kekuasaan. Entah itu dari pemerintah, parlemen, pebisnis, hingga lembaga peradilan. Semuanya bergerak secara simultan, yang tujuan akhirnya adalah mengelabui tegaknya hukum. Intinya, tidak ada modus korupsi yang dilakukan secara sporadis, melainkan terstruktur dan sistematis.

Pada kasus Sekolah Olahraga Hambalang, misalnya, kongkalingkong korupsinya dilakukan jauh-jauh hari. Dirancang secara sistematis, mulai dari perencanaan anggaran pada Kementerian Pemuda & Olahraga, kemudian pembahasan anggarannya di parlemen hingga pelaksanaannya di lapangan telah disusun secara culas. Imbasnya, proyek tersebut hingga kini mangkrak begitu saja. Ini adalah proyek gagal, warisan pemerintahan sebelumnya. Bagaimana dengan kasus korupsi KTP Elektronik?

Proyek Bancakan
Modus korupsi sistematis kelihatannya berulang kembali pada kasus KTP elektronik. Proyek ini rasanya secara sengaja disiapkan agar menjadi bancakan para mafioso. Betapa tidak, anggaran totalnya bernilai Rp 5,2 triliun, namun dari jumlah tersebut, yang dikorupsi mencapai Rp 2,5 triliun. Artinya, sekitar 49 persen menjadi santapan empuk maling-maling berdasi.

Pengungkapan korupsi ini bermula dari pengakuan terdakwa Nazarudin di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan tindak pidana korupsi. Ia secara gambalang menyebut sejumlah nama yang diduga menerima aliran dana, mulai dari mantan Menteri Dalam Negeri, pimpinan DPR, puluhan anggota parlemen, hingga pengusaha. Ini adalah kolaborasi sempurna menuju korupsi yang paripurna. Kolaborasi antara politisi busuk, pemerintah yang nihil amanah dan pengusaha hitam.

Padahal, bila proyek KTP elektronik diselesaikan, ia akan banyak memberi manfaat, tidak hanya pada pemerintah tetapi juga kepada masyarakat umum. Secara sederhana, misalnya, kehadiran KTP elektronik akan mempu mengurai data pembuatan surat izin mengemudi (SIM), paspor, pembukaan rekening tabungan di bank, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurai kemacetan data-data kependudukan yang secara periodik menjadi salah satu masalah serius pada setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Lebih mencengangkan lagi, ternyata korupsi KTP elektronik dilakukan begitu teliti. Sebagai contoh, penggunaan printer. Ada penguncian spesifikasi yang terletak di printer dan ribbon-nya sehingga pengguna tidak dapat menggunakan printer lain dan harganya dikendalikan vendor.

Demikian pula dengan chip yang digunakan, tidak bersifat terbuka sehingga menyebabkan ketergantungan pada produk tertentu. Ini menjadi pembuktian empirik bahwa korupsi KTP elektronik memang disiapkan dan didesain sedemikian rupa.

Melihat fenomena bejatnya korupsi ini, sulit untuk tidak mengecam dan memberi sumpah serapah atas kebejatan para elite tersebut. Mereka terobsesi untuk hidup rakus dan culas selama-lamanya, hingga ajal menjemput. Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka dan menjauhkan negeri ini dari pemimpin rakus seperti mereka.

Mendorong KPK
Siapa pun kita mesti memberi apresisasi atas keberanian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap skandal korupsi KTP elektronik. Sebab, kasus ini melibatkan banyak orang penting dan berpengaruh dalam peta politik dan penegakan hukum di negeri ini. Karenanya, bukan tidak mungkin KPK akan mendapatkan serangan balik (corruptor fight back) sebagaimana lazimnya selama ini.

Untuk itu, seluruh elemen masyarakat sipil, penggiat antikorupsi, akademisi, agamawan dan budayawan mesti bersatu padu, mengerahkan segala upaya untuk membantu KPK, agar tetap kuat dan konsisten mengusut perbuatan yang hina dan haram itu. Harus dipastikan juga bahwa tidak ada intervensi pada KPK.

Kita juga mesti mengawal langkah-langkah KPK, agar siapa pun yang terlibat dalam kasus ini mesti diusut tuntas. Tidak boleh ada yang dilewatkan, terlepas apakah ia memiliki nama besar atau tidak, kita harus memastikan bahwa yang menerima aliran dana tersebut mesti berakhir di balik jeruji besi. Biar menjadi pelajaran dan evaluasi bagi pejabat dan elite-elite politik di masa depan. Agar perbuatan bejat seperti ini tidak terus terulang kembali dan menghantui keberadaan kita sebagai bangsa yang beradab, bukan biadab.

Melalui tulisan ini pula, saya menyarankan agar selain menerapkan undang-undang antikorupsi kepada para pelaku, KPK juga sebaiknya menerapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Sebab, sebagaimana diketahui, salah satu kejahatan inti dari pencucian uang adalah tindak pidana korupsi. Hal ini secara jelas diulas pada Pasal 2 ayat (1) UU TPPU. Saya berkeyakinan bahwa bila KPK menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang,  langkah ini akan lebih efektif untuk menyita aset dan memiskinkan para pelaku.

Kita bisa melihat dengan jelas bahwa para pelaku sudah pasti berusaha mencuci uang haram yang mereka terima dari pengusaha sehingga seakan-akan menjadi uang halal. Uang suap tersebut mereka samarkan asal usulnya sedemikian rupa, dan dengan begitu luput dari intaian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini sejalan dengan tahapan pencucian uang: yakni placement, layering, dan integration.

Tahap pertama adalah placement: menempatkan uang haram ke dalam sistem keuangan. Selanjutnya layering, yakni pelaku berusaha memutus mata rantai hubungan uang hasil kejahatan dari sumbernya. Cara ini biasa juga disebut sebagai heavy soaping. Langkah terakhir adalah integration atau spin dry, yakni menyatukan kembali uang yang disamarkan melalui sirkulasi keuangan sehingga seolah-olah menjadi uang yang sah (clean money).

Wasiat terakhir saya kepada KPK adalah agar mulai mentersangkakan korporasi dalam kasus KTP elektronik ini. Karena kita dapat melihat bahwa korporasilah yang membag-bagikan uang haram kepada puluhan politisi busuk di Senayan (corporate crime). Apalagi Mahkamah Agung (MA) baru saja memberi “hadiah” pada KPK berupa Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.