Minggu, April 28, 2024

Kaleidoskop 2017: Tahun-Tahun Komodifikasi dan Stagnasi HAM

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.

Tahun 2017 segera berlalu, diganti oleh 2018 yang akan segera menghampiri. Tahun demi tahun berlalu, waktu terus berganti, namun kondisi penegakan HAM masih belum beranjak dari tempatnya semula: stagnan.

Hal ini diakui oleh Presiden Joko Widodo dalam kesempatan memberikan sambutan di acara Peringatan Hari HAM Internasional di Solo pada 10 Desember 2017. Jokowi mengakui bahwa penegakan HAM belum dituntaskan, sehingga ia mengajak seluruh komponen masyarakat membantunya. Jokowi tidak menjelaskan secara gamblang apa yang menjadi hambatan dalam penegakan HAM.

Pernyataan Presiden Jokowi seakan mengkonfirmasi atas segala bentuk protes, ketidakpuasan, kekecewaan, tuduhan, dan kekritisan berbagai kelompok masyarakat atas masih maraknya berbagai bentuk pelanggaran HAM, termasuk belum tuntasnya tujuh kasus pelanggaran HAM berat. Era Presiden Jokowi dinilai tidak ada kemajuan yang berarti dalam penegakan HAM.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, pengakuan Jokowi bahwa penegakan HAM belum tuntas, patut diapresiasi, namun juga amat disayangkan. Kenapa?

Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang terdesentralisasi saat ini, tentu tidak semua tuduhan pelanggaran HAM menjadi tanggung jawab seorang presiden. Hal ini karena kewenangan yang sudah terlimpahkan ke daerah, sehingga regulasi, kebijakan, program dan aktivitas yang menjadi pangkal pelanggaran HAM adalah produk dari pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat tidak lagi menjadi “bawahan” langsung dari presiden atau pemerintah pusat.

Berdasarkan data Komnas HAM selama beberapa tahun terakhir, pemerintah daerah adalah aktor yang paling banyak diadukan oleh masyarakat selain kepolisian dan korporasi. Pada 2016, terdapat 913 berkas pengaduan terkait dengan pemerintah daerah, pada 2015 sebanyak 1.011 dan 2014 sebanyak 711.

Namun demikian, bukan berarti lantas pemerintah pusat tidak berwenang berbuat apa pun ketika ada indikasi pelanggaran HAM di daerah. Pemerintah pusat bisa mempergunakan kewenangannya untuk melakukan review dan merekomendasikan pencabutan atas regulasi atau kebijakan yang melanggar HAM. Di ranah pencegahan, pemerintah pusat bisa menyediakan asistensi dalam perumusan peraturan daerah agar selaras dengan HAM.

Sebelumnya, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri bisa membatalkan peraturan daerah, namun kewenangan ini telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016. Kini, setiap peraturan daerah hanya bisa dicabut melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Agung.

Adanya pengakuan bahwa penegakan HAM belum tuntas adalah juga merefleksikan dari performa para kepala daerah yang masih belum cakap dalam menjalankan kewajibannya menegakkan HAM. Akumulasi dari ketidakcakapan para kepala daerah dalam menegakkan HAM itu disampaikan oleh Jokowi mewakili otoritas pemerintahan yang tertinggi.

Di sisi lain, pernyataan Jokowi itu juga patut disayangkan dan sebagai bentuk pelimpahan tanggung jawab. Dalam pernyataannya, Jokowi meminta masyarakat bersama-sama menuntaskan penegakan HAM.

Dalam konteks dan mekanisme penegakan HAM, yang mempunyai kewajiban dan otoritas menegakkan HAM adalah penyelenggara pemerintahan, baik di ranah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Hal ini dimandatkan dalam Pasal 71 jo Pasal 72 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. Penyelenggara pemerintahan diberikan kewenangan, sumber daya, dan infrastruktur fisik dan nonfisik untuk menegakkan HAM tanpa terkecuali.

Maka, tidak tepat jika kegagalan pemerintah, setidaknya selama tiga tahun Jokowi berkuasa, ditimpakan dan dilimpahkan ke masyarakat. Justru masyarakatlah yang mempunyai hak untuk menagih janji penuntasan penegakan HAM oleh negara. Konteks ini harus jelas dan tegas agar tidak ada pengaburan otoritas dan tanggung jawab dalam penegakan HAM.

Setelah tiga tahun berjalan tanpa arah penegakan HAM yang jelas, prospek di tahun 2018 juga patut diduga akan tidak jauh berubah. Apalagi dua tahun ke depan sudah masuk dalam tahun politik. Pada 2018 ada setidaknya 170 pemilihan kepala daerah, termasuk pemilihan gubernur di tiga provinsi favorit, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketiga provinsi itu merupakan penyumbang suara dominan yang berharga dalam Pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2019.

Jokowi telah membuang kesempatan tiga tahun pertama untuk memenuhi janjinya menuntaskan pelanggaran HAM, khususnya tujuh kasus pelanggaran HAM berat. Padahal, hal itu menjadi harapan dan modal sosial bagi Jokowi ketika akan dan menjadi presiden. Karenanya, akan sangat berat bagi Jokowi untuk memenuhi janjinya di sisa dua tahun pemerintahannya, karena agenda politik kekuasaan akan menjadi prioritas dan isu strategis untuk dua tahun ke depan.

Dua tahun mendatang akan menjadi ajang pertarungan politik identitas dan pembentukan kongsi-kongsi politik untuk memenangkan pilkada dan pilpres. Kalaupun HAM disebut atau dipergunakan, patut diduga hanya sebagai alat saja atau HAM dikomodifikasi sebagai alat transaksi dan pencitraan politik untuk mendulang suara secara pragmatis.

Padahal, di tengah kuatnya arus politik identitas berbasis pada agama, ras, dan etnis, yang juga menjadi fenomena global saat ini, HAM mempunyai posisi yang strategis. Politik identitas telah menciderai prinsip dan norma dasar HAM yaitu kesetaraan, nondiskriminasi, partisipasi, pemberdayaan kelompok minoritas/rentan, dan akuntabilitas. Pilihan dan keterpilihan yang berbasis pada politik identitas akan menghasilkan kepala daerah/negara yang tidak kapabel dan berpotensi melahirkan kebijakan yang diskriminatif dan menciderai HAM.

Semestinya prinsip dan norma HAM menjadi arus utama di tahun-tahun politik ke depan karena menjadi jangkar dan pedoman, agar proses dan arah politik lokal dan nasional tidak salah arah dan tidak salah kaprah.

Jangan sampai ke depan kita hanya akan menyaksikan tahun-tahun komodifikasi dan stagnasi HAM seperti halnya tiga tahun yang lewat dan tahun-tahun sebelumnya. Sudah saatnya prinsip dan norma HAM ditempatkan secara benar dan tepat agar kehidupan politik dan kebangsaan kita lebih memanusiakan dan bermartabat.

Kolom terkait:

Hari Hak Asasi Manusia, Merayakan Kemanusiaan Kita

Hak Asasi Ekonomi dan Intoleransi

HAM dan Penggusuran Warga Kulon Progo

Penegakan Hukum yang Dilupakan Jokowi-JK

Munir dan Negara yang Akrab dengan Kehilangan dan Menghilangkan

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.