Sabtu, April 20, 2024

Dokter itu Playing “God”!

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Filsafat sebagai induk segala ilmu tentu memiliki peran dan pengaruh mendasar dan signifikan dalam setiap cabang keilmuan. Salah satu yang utama adalah pada ranah etik. Tanpa kesadaran etik, ilmu bisa menggiring peradaban justru pada kekacauan (chaos). Karena memang dalam filsafat, ilmu dihukumi bebas nilai. Maka, dibutuhkan komitmen etik-moral pada subjeknya untuk menjadikan ilmu sebagai berita gembira bagi peradaban dan masa depan. Tanpa itu, kemajuan ilmu pengetahuan bisa menjadi kegelapan peradaban.

Yang akan menjadi fokus kolom kali ini adalah “ilmu kedokteran”. Dua nama filosof besar dalam tradisi Islam dan Yunani juga merupakan “Bapak Kedokteran”. Yang pertama adalah Ibnu Sina yang merupakan salah satu filosof terbesar Islam yang juga dikenal sebagai “Bapak Kedokteran Muslim” dengan karya fenomenalnya al-Qanun fi al-Thib. Yang kedua, dari peradaban Yunani kuno, ada nama Hippocrates yang, selain dikenal sebagai salah satu filosof pertama Yunani, juga “Bapak Ilmu Kedokteran” (The Father of Medicine). Minimal, biografi keduanya perlu dibaca oleh para dokter, jika tak punya waktu atau kesempatan untuk membaca bab etika dalam filsafat.

Ibnu Sina, misalnya, selain menegaskan adanya keterkaitan antara fisik dan jiwa yang itu penting sebagai wawasan bagi seorang dokter, juga konon ia mati dalam usia yang belum tua lantaran “mewakafkan” dirinya untuk menjadi “kelinci percobaan” bagi ramuan-ramuan obatnya yang itu tak lain untuk memajukan ilmu kedokteran. Sedangkan Hippocrates mungkin para dokter mengenalnya sebagaimana akan disinggung di beberapa paragraf selanjutnya di kolom ini.

Pada ranah filosofis-etik, dokter memegang amanat atau peranan yang bukan hanya signifikan, tapi juga sakral. Peranan itu yang coba dirangkum oleh dokter senior Rully Roesli dalam karyanya Playing “God” (2012). Secara singkat, peran itu terangkum dalam judul karya itu, yakni dokter sebagai Playing “God”.

Seperti ditulis dalam pengantar karyanya itu, Playing “God” yang dimaksud yakni peran yang membuat seorang dokter patut menyadari wewenangnya untuk membuat keputusan terpenting yang mempengaruhi kehidupan orang lain, yang wewenang itu sebenarnya wewenang Tuhan. Karenanya, Playing “God” berarti bertindak seperti Tuhan. Lebih tepatnya mungkin adalah “kepanjangan tangan” Tuhan.

Nilai filosofis-etis mendasar bagi seorang dokter itu kemudian secara spesifik dan formalistik diterjemahkan 400 tahun SM oleh Hipokrates dalam “Sumpah Hipokrates” (Hippocrates Oath) yang secara umum memuat prinsip filosofis-etis dasar yang patut dipegang, dipertahankan, dan diperjuangkan oleh dokter sebagai Playing “God”, yakni etika, kemanusiaan, ketulusan, dan kehormatan.

Bahkan, dalam poin terakhir sumpah itu, Hipokrates telah mewaspadai peluang adanya penyelewengan dan dengan besar hati, bijak, dan sakral bersumpah agar jika itu terjadi semoga–minimal–ia mendapat hukuman dari masyarakat berupa jatuhnya reputasi hidup dan ilmunya.

Ironisnya, seperti dikemukakan Sir William Osler (dokter terkenal asal Kanada), pada tahun 1913, sebagian dokter zaman modern kerap menjadi sosok yang hanya mengucap dan memposisikan sumpah sebagai kata-kata formalitas semata, sebatas sebagai syarat kelulusan di universitas. Maka, seperti ditulis Profesor Edmund Pellegrino dalam sebuah editorial yang diterbitkan oleh The Medical Journal of Australia, praktik kedokteran hanya menjadi sebatas bisnis komersial, industri, atau proletar semata.

Padahal, jika sumpah itu dihayati, dokter bukan sebatas dipahami sebagai sebuah profesi, melainkan pengabdian agung seperti Hipokrates yang dijuluki Hipokrates Agung (The Great Hippocrates) oleh Aristoteles–yang tanpa pamrih bagi siapa yang membutuhkannya tapi berada dalam ketakmampuan ekonomi. Seperti diteladankan dr Rully Roesli yang memprakarsai program cuci darah gratis bagi pasien tak mampu.

Seperti pesan Albert Einstein pada 1838, perhatian pada manusia dan nasibnya harus selalu menjadi minat utama dari semua ikhtiar keilmuan (bukan hanya kedokteran tentunya), agar buah pikiran kita menjadi berkah–bukan justru kutukan–bagi kemanusiaan. Sehingga, para ilmuwan (dokter, hakim, cendekiawan, dan lain-lain) tak menjadi seperti Faust dalam karya sastra Goethe dan opera Wagner yang melacurkan hati nurani kemasyarakatannya pada iblis Mephistopheles modern dengan cara memasang sikap normatif dan tak peduli, seolah tak mau mengakui bahwa mereka mengemban tugas dan tanggung jawab kemasyarakatan.

Dalam konteks itu, ditersangkakannya dokter RS Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus yang menimpa Setya Novanto dengan sangkaan upaya mencegah, merintangi, atau menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap tersangka dan terdakwa atau saksi dalam perkara korupsi melempar ingatan saya pada dokter Rully Roesli sebagai antitesanya.

Di antara dokter Bimanesh Sutarjo dan dokter Rully Roesli itulah ilmu kedokteran berada. Ia bebas aktif. Karena itu, ia butuh sumpah, sumpah dalam arti yang sebenar-benarnya dan setulus-tulusnya. Sumpah itu yang nantinya menentukan gerak sang dokter: menuju pada sosok tersangka seperti Bimanesh Sutarjo dengan segala kepalsuannya atau sosok mulia seperti Rully Roesli dengan ketulusannya.

Bagaimana menghayati sumpah itu agar diucapkan secara tulus? Ingatlah pesan dokter Rully Roesli bahwa dokter adalah Playing “God” atau syukur-syukur para dokter membaca karyanya.

Adapun KPK, dalam kasus ini, mengingatkan saya pada sosok Gabbar dalam film Bollywood “Gabbar is Back” (2015), yang menjadi semacam algojo yang menghantui dan menikam siapa saja yang mempersekongkolkan kompetensi profesinya dengan koruptor. Bedanya, KPK menjalankan perannya melalui mekanisme hukum di bawah payung konstitusi. Dan beruntunglah dokter Bimanesh Sutarjo tak ditangkap oleh Gabbar dalam film itu. Mengapa? Tontonlah film itu!

Kolom terkait:

Setya Novanto dan 3 Kir (Mangkir, Mungkir, Terjungkir)

Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK

Pesan Keras Putusan Praperadilan

Tiga Kolom “Maut” Setelah Setya Novanto Tersangka

Dokter bukan Robot

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.