Beberapa waktu lalu Menteri Perhubungan mengeluarkan larangan operasi bagi kendaraan bermotor bukan angkutan umum yang berbasis aplikasi internet dengan alasan karena perusahaan-perusahaan tersebut tak memenuhi ketentuan regulasi angkutan umum. Larangan tersebut dicabut kembali setelah mendapat intervensi dari Presiden Joko Widodo.
Tak lama berselang, sejumlah sopir taksi berdemo di jalan-jalan di Jakarta untuk menuntut pelarangan angkutan umum berbasis online. Dalam beberapa kasus, terjadi bentrokan antara sopir taksi reguler dan pengemudi angkutan berbasis online. Kejadian-kejadian ini mengingatkan kita akan urgensi regulasi sharing economy (ekonomi berbagi) di Indonesia.
Dalam fenomena yang dikenal dengan sebutan “sharing economy”, pemilik sumberdaya, baik itu properti, kendaraan, maupun tenaga manusia, dapat memberikan akses sementara atas sumberdaya yang dimiliki kepada pelanggan. Peranan perusahaan seperti Gojek, Uber atau AirBnB dalam hal ini adalah sebagai perantara dengan menyediakan platform marketplace yang mempertemukan pemilik sumberdaya dengan pelanggan.
Karena itu, timbul berbagai pertanyaan: apakah Uber dan Gojek adalah perusahaan angkutan umum? Apakah AirBnB perusahaan perhotelan? Apakah berbagai perusahaan Crowdlending di internet merupakan lembaga keuangan? Apakah hubungan antara pengemudi dengan Gojek atau Uber bisa dikategorikan sebagai hubungan perburuhan? Sejauhmana Gojek, Uber atau AirBnB bertanggung jawab dan dapat dituntut atas keselamatan pelanggannya? Apakah peraturan kuota (dalam satu wilayah) berlaku bagi mereka?
Perusahaan angkutan umum (yang bukan roda dua), misalnya, diatur dengan berbagai ketentuan mengenai standar pelayanan minimal seperti umur kendaraan maksimal, kondisi pengemudi, kompetensi pengemudi, dan jam kerja maksimal. Apabila Uber dan Gojek digolongkan sebagai perusahaan angkutan umum, maka standar ini harus diterapkan. Tetapi, jika hanya digolongkan sebagai perusahaan IT, maka standar ini tidak berlaku.
Di satu sisi, perusahaan seperti Uber dan Gojek diuntungkan dengan ketidakjelasan regulasi karena mereka bisa berkilah bahwa regulasi transportasi tak berlaku bagi mereka dan dengan demikian terhindarkan dari pertanggungjawaban. Di sisi lain, ketidakjelasan regulasi membuat bisnis mereka diancam ketidakpastian perihal legalitasnya, di samping tentu ada lubang hukum dalam pengaturan hak-hak pelanggan, pekerja, dan lingkungan hidup.
Pertanyaan-pertanyaan di atas sulit bisa dijawab dengan peraturan yang berlaku saat ini. Revolusi teknologi informasi mendorong pola-pola hubungan konsumen ke konsumen, sementara regulasi yang sudah ada selama bertahun-tahun cenderung hanya mengatur pola hubungan bisnis ke bisnis atau bisnis ke konsumen.
Bagaimana seharusnya sharing economy diatur?
Literatur regulasi baru mulai ramai membahas hal ini sejak 2014 lalu. Satu hal yang banyak disepakati adalah perusahaan yang menyediakan platform marketplace seperti di atas membutuhkan kategori tersendiri di luar dari perusahaan IT atau perusahaan transportasi. Perusahaan-perusahaan ini sebaiknya diatur dengan model self-regulation (Cohen-Sundarajan, 2015).
Self-regulation dipraktikkan, misalnya, dalam pengaturan organisasi profesi seperti advokat, notaris, kedokteran, dan dalam beberapa hal, penjara dan sekolah. Dalam banyak contoh tersebut regulasi tak lagi terpusat pada pemerintah melainkan berkembang dalam lokus-lokus tersendiri (Black 2001).
Justifikasi atas self-regulation ini setidaknya bisa kita lihat dari (i) kapasitas regulasi dan (ii) insentif regulasi.
Dari sisi kapasitas regulasi, tampak bahwa ongkos regulasi yang harus dibayar oleh pemerintah akan besar apabila harus mendata satu persatu pengemudi Gojek dan Uber dan melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap pengemudinya atas standar pelayanan minimal. Sementara itu, Gojek dan Uber lebih memiliki kapasitas karena secara otomatis punya data dari setiap pengemudi, lengkap dengan pemeringkatannya serta keluhan penumpang atas pengemudi.
Sedangkan dari sisi insentif regulasi, kita dapat menilainya lewat dua faktor: (a) insentif untuk menegakkan dan (b) insentif untuk menaati aturan. Dari sisi insentif untuk menegakkan, aparat pemerintah memiliki insentif, misalnya, lewat lewat promosi jabatan. Namun demikian, Gojek/Uber memiliki insentif lebih karena berhubungan dengan reputasi dan kualitas layanannya. Biaya yang diperlukan perusahaan tersebut dalam memutuskan pemilik sumberdaya dari jaringan sangat kecil dibandingkan dengan, misalnya, biaya dalam melakukan sidang tilang.
Demikian juga dari sisi ketaatan. Soal memberikan helm bagi penumpang, misalnya, insentif utama bagi pengemudi ojek adalah akan ditangkap polisi. Namun, apabila ada ancaman lain seperti dilaporkan oleh penumpang kepada perusahaan, maka insentifnya dalam menaati peraturan akan bertambah.
Dengan demikian, peranan pemerintah (atas menu-menu regulasi tertentu) bukanlah sebagai penegak langsung atas aturan (enforcer) melainkan penegak tidak langsung. Pemerintah cukup membuat kerangkanya regulasinya dan meminta akuntabilitas ketaatan secara umum dari perusahaan. Yang menjadi pelaksana dan penegak regulasi adalah perusahaan-perusahaan tersebut langsung kepada para pengemudi.
Pemerintah bisa membuat standar tingkat ketaatan rata-rata minimal dari pengemudi (misalnya, jumlah rata rata kecelakaan) dan kemudian menjatuhkan denda apabila perusahaan tidak memenuhinya. Dengan cara ini, Uber/Gojek akan dipacu untuk terus melakukan penyuluhan keselamatan kepada pengemudi.
Namun, bagaimana Kementerian Perhubungan bisa tahu bahwa data yang dilaporkan oleh perusahaan adalah benar? Untuk mengurangi informasi asimetris diperlukan kewenangan akses data.
Data lain yang diperlukan, misalnya, adalah data pemeringkatan dan komentar pelanggan (untuk menilai kualitas layanan), data Global Positioning System (untuk memonitor jam kerja, jumlah armada, penyalahgunaan posisi dominan) serta data kondisi setiap kendaraan (untuk mengevaluasi ketaatan terhadap standar keselamatan kendaraan). Data yang dikumpulkan tersebut dapat dibandingkan antar perusahaan sejanis dan digunakan untuk mengetahui standar pelayanan minimum yang optimal.
Maka dari itu, regulator harus dibekali dengan kewenangan konkuren–yakni kewenangan yang dimiliki bersama-sama regulator lainnya–dalam aspek teknologi informasi dan persaingan usaha di samping kewenangan sektoral yang sudah mereka miliki saat ini.
Di samping self-regulation, metode regulasi command-and-control seperti larangan beroperasi tetap diperlukan, tetapi hanya sebagai senjata pamungkas dalam arsenal regulasi. Pemerintah bisa melarang Uber/Gojek beroperasi dan/atau melakukan blokir atas akses terhadap situsnya.
Saat ini dua kewenangan ini berada pada dua kementerian yang berbeda. Namun, agar regulasi efektif, Kementerian Perhubungan harus dibekali kewenangan konkuren untuk melakukan blokir apabila ada pelanggaran serius dan berulang terhadap standar pelayanan, sedangkan berbagai upaya lain seperti menjatuhkan denda tidak berhasil.
Mengapa kewenangan blokir ini tidak cukup berada pada Kementerian Komunikasi dan Informatika? Karena Kementerian Perhubunganlah yang bisa mengevaluasi apakah standar keselamatan transportasi sudah diterapkan oleh perusahaan tersebut.
Saat ini mungkin sulit bagi perusahaan untuk memberikan data-datanya kepada pemerintah. Pernyataan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, “Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah, seharusnya ditata”, sebenarnya cukup relevan menurut teori regulasi. Ihwal legitimasi, regulasi tidak boleh membuat susah, karenanya perlu ada “consent of the governed”. Pemerintah perlu duduk bersama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membangun kepercayaan dan legitimasi regulasi.
Tulisan ini hanya memberikan sekelumit permasalahan regulasi sharing economy yang harus bersama-sama dipecahkan. Masih banyak masalah lain, misalnya soal status pekerja (dan perlindungan sosial yang tercakup didalamnya), masalah perpajakan, persaingan usaha, dan perlindungan konsumen yang harus dikaji lebih lanjut.