Istilah hijrah dalam satu dekade terakhir menjadi sangat terkenal. Kita menyaksikan dan mendengar para selebritis, musikus, pegawai kantor, pegawai perusahaan, guru, anak muda, dan sebagainya, menyatakan bahwa mereka telah “berhijrah.”
Kini, mereka menempuh hidup baru. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sayyid Qutb, seorang ideolog gerakan Ikhwanul Muslimin, bahwa mereka kini keluar dari kejahiliyyahan menuju Islam yang sebenarnya.
Masalah tindakan hijrah ini sangat penting karena banyaknya cerita dan pengalaman hidup yang mengitarinya. Ada yang karena hijrah mereka tidak mau lagi bekerja di sektor perbankan konvensional, karena bunga bank yang dianggap riba.
Bahkan, tidak hanya bank konvensional, banyak dari mereka yang hijrah juga menolak bank syariah. Menurut mereka, bank syariah yang ada di Indonesia tidak dipandang syariah. Ada yang karena hijrah mereka tidak mau memberikan vaksin kepada anak-anak mereka, karena vaksin adalah produk Barat yang mengandung barang yang tidak halal.
Ada yang karena hijrah mereka tidak mau lagi bernyanyi dengan alat musik, karena itu bukan bagian dari ajaran Islam. Ada yang karena hijrah mereka tidak mau bertegur sapa dengan orang tua dan keluarga mereka, karena orang tua dan keluarga mereka masih hidup dalam situasi jahiliyyah.
Itulah cerita dan pengalaman di sekitar tindakan hijrah yang kita bisa temukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Pertanyaannya, apakah untuk berhijrah harus bertindak dan bersikap demikian adanya?
Catatan ini menyoroti fenomena hijrah yang meliputi asal-usul kata hijrah, pengertiannya, serta bagaimana generasi di Indonesia memaknainya pada masa sekarang, serta bagaimana sesungguhnya hijrah dalam makna historis Nabi Muhammad SAW.
Hijrah berasal dari Bahasa Arab, dari kata dasar “hajara” yang secara bahasa (lughatan) berarti bergerak, berpindah, berpisah, mengambil bagian, menyerahkan diri, berlibur dan masih banyak lagi.
Secara terminologis, istilah hijrah digunakan untuk menggambarkan perpindahan dan pergerakan Rasulullah dan kalangan Sahabat dari Mekah ke Ethiopia dan atau dari Mekah ke Madinah.
Makna hijrah yang terkenal adalah perpindahan dan pergerakan Rasulullah dari kota Mekkah ke kota Medinah. Dari sini kita melihat bahwa di dalam “hijrah” ada konotasi perpindahan ruang-spatial, karena orang bergerak secara fisik dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
Tradisi hijrah ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kalangan umat Islam saja, namun juga terjadi di kalangan umat agama-agama lainnya. Bukan hanya Rasulullah SAW saja yang melakukan hijrah, tapi nabi-nabi lain juga melakukannya, seperti Nabi Musa, Nabi Luth dan lain sebagainya.
Meskipun makna awal dari hijrah itu perpindahan fisik dari satu lokasi ke lokasi lain atau disebut dengan istilah hijrah fisik dari Rasullullah, namun dari sini, kemudian muncul pemaknaan moral, di mana pemaknaan moral ini merujuk pada kondisi-kondisi moral yang dialami oleh Rasulullah saat berhijrah.
Kondisi moral tersebut misalnya ketika Rasulullah berhijrah dari Mekah ke Medinah, Rasulullah dan umat Islam dalam keadaan tertekan oleh masyarakat kafir Quraish pada saat itu.
Dengan hijrah ke Medinah, Rasulullah mendapat kondisi baru yang lebih baik. Hijrah moral ini adalah semua upaya manusia yang bergerak pada tataran kebaikan. Kebaikan itu bukan hanya kebaikan menurut tafsir kelompok tertentu, namun semua Muslim yang setiap harinya memang mencari kebaikan adalah pelaku hijrah moral.
Namun kaum hijrah di Indonesia memberikan pemaknaan hijrah dengan hal-hal khusus yang berkaitan dengan madzhab yang mereka pahami dan yakini. Mereka mengklaim hijrah mereka sebagai hijrah yang sesuai dengan sunnah.
Beberapa ciri utama dari hijrah menurut sunnah yang mereka maksudkan antara lain adalah: memakai celana cingkrang (menjauhi isybal), membiarkan jenggot panjang tanpa rawatan, meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan bunga (riba), menggunakan panggilan-panggilan Arab seperti akhi, akhwat, abi dan ummi dalam pergaulan mereka sehari-hari, dan masih banyak ciri yang lainnya.
Hal-hal di atas sebenarnya tidak ada masalah sama sekali, karena cara berpakaian, cara berpenampilan diri dan cara berkomunikasi tidak selalu memiliki kesamaan dengan keluhuran moralitas mereka. Itu adalah teorinya.
Namun hal yang paling berbahaya bagi pelaku hijrah ini adalah soal adanya klaim kebenaran yang hanya ada pada diri mereka sendiri. Klaim kebenaran yang saya maksudkan di sini bukan klaim kebenaran antara mereka dan pihak yang berbeda agama, katakanlah dengan non-Muslim, namun justru antara kelompok hijrah ini dengan kelompok umat Islam yang lain. Di sini yang terjadi, “Muslim vs Muslims.”
Dengan hijrah yang sebagaimana mereka praktikkan, seolah-olah tindakan dan perilaku merekalah yang paling lurus dan perasaan inilah yang memunculkan ego menjadi pihak yang paling benar.
Jika sudah terjangkit ego merasa paling benar ini, mengkafirkan pihak yang berbeda dalam bermazdhab terasa lebih enteng. Misalnya, mengucapkan selamat Natal, merayakan hari kasih sayang, melakukan tahlil, ziarah kubur, meminta didoakan orang sholeh seperti kyai dan wali, mengazani bayi yang baru lahir, bagi mereka otomatis menjadi kafir, karena semua perbuatan itu dianggap bukan bagian dari Islam. Budaya tidak mau menerima perbedaan tafsir (khilafiyah) inilah yang menjadi bahaya bagi para pelaku hijrah kekinian.
Sebagai Muslim pada dasarnya kehidupan kita sehari-hari adalah berhijrah, bukan berhijrah dalam pengertian mereka, namun berhijrah menurut pengertian Rasulullah yang lebih luas. Hijrah bukanlah hanya milik mereka yang bercelana cingkrang, namun juga milik mereka yang bersarungan.
Hijrah bukan hanya milik mereka yang berjenggot panjang menjuntai, tapi juga milik mereka yang tidak berjenggot sama sekali. Hijrah bukan hanya milik mereka yang bertutup kepala model Ustadz Abdussomad dan Hanan Attaqi, namun juga milik mereka yang berkopiah model Sukarno. Intinya adalah menuju kebaikan.
Sebagai catatan, saya mengamati dari banyak gerakan hijrah ini, ternyata tindakan dan prilaku hijrah mereka itu lebih mirip pada pengamalan ajaran-ajaran kelompok Salafi dan Wahabi daripada ajaran Islam yang biasa dipraktikkan oleh kaum Nahdliyyin dan juga oleh kaum Muhammadiyah secara umum.
Hijrah Nabi itu pada dasarnya bukan untuk tujuan seklusi dan eksklusi, meniadakan kelompok muslim yang lain. Tapi untuk tujuan inklusi, yaitu menyatukan kaum Anshar dan kaum Muhajirin.
Hijrah tanpa pengkafiran terhadap sesama Muslim adalah hijrah semua Muslim, hijrah plus pengkafiran adalah hijrah yang menjadi karakteristik hijrah kaum Salafi dan Wahabi.
Terkait: