Mari kita kembali ke tahun 1974, saat Yuko Shimizu, seorang ilustrator muda berusia 24 tahun, bergabung dengan Sanrio, perusahaan Jepang yang terkenal dengan desain bermotif stroberi. Sanrio ingin menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda. Mereka memberi Shimizu arahan singkat: “kawaii”, yang berarti “imut” dalam bahasa Jepang. Shimizu pun mulai menggoreskan pena di atas kertas, melahirkan karakter kecil berkepala bulat dengan pita di kepalanya. Hello Kitty pun lahir!
Kini, 50 tahun kemudian, Hello Kitty masih eksis dan semakin berkembang. Berawal dari sebuah dompet koin, Hello Kitty telah bertransformasi menjadi ikon pop, sebuah fenomena unik, dan yang terpenting, sebuah kerajaan bisnis yang menghasilkan sekitar $4 miliar per tahun. Lebih dari 50.000 jenis produk Hello Kitty dijual di 130 negara, mulai dari pernak-pernik kecil hingga barang-barang mewah.
Hello Kitty telah berkolaborasi dengan berbagai merek ternama seperti Adidas, Swarovski, dan Balenciaga. Wajahnya hadir di mana-mana, mulai dari restoran, taman hiburan, museum, kereta peluru, hingga McDonald’s Happy Meal. Hello Kitty bahkan menjadi duta UNICEF dan utusan khusus Kementerian Luar Negeri Jepang. Lil Yachty menyanyikan lagu tentang Hello Kitty, Lady Gaga mengenakan pakaian bergambar Hello Kitty, dan Raja Charles pun mengucapkan selamat ulang tahun padanya.
Hello Kitty adalah franchise media terlaris kedua di dunia setelah Pokémon, dan telah meraup keuntungan sebesar $80 miliar sepanjang “hidupnya”. Kesuksesan Hello Kitty ini tentunya tidak hanya karena kelucuannya, tetapi juga karena strategi bisnis yang cerdas. Berikut adalah tiga kunci sukses Hello Kitty:
Pertama, ekspansi bisnis yang cerdas. Sanrio awalnya fokus menjual produk Hello Kitty di toko mereka sendiri. Namun, margin keuntungan yang kecil membuat mereka mengubah strategi. Pada tahun 2008, Sanrio mulai melisensikan Hello Kitty secara agresif. Strategi ini mengurangi risiko, mempertahankan kontrol atas citra Hello Kitty, dan menghasilkan miliaran dolar dari royalti.
Kedua, target audiens yang tepat. Seperti kebanyakan merek sukses lainnya, Hello Kitty menargetkan penggemar muda. Hal ini sangat penting karena para penggemar muda ini akan terus menyukai Hello Kitty hingga mereka dewasa dan mewariskan kecintaan ini kepada anak-anak mereka. Hello Kitty hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari mainan untuk anak-anak, sensasi TikTok untuk remaja, hingga lini riasan di Sephora dan maskot bola basket untuk orang dewasa.
Ketiga, kemampuan beradaptasi. Satu dekade lalu, popularitas Hello Kitty sempat menurun. Namun, Sanrio berhasil membalikkan keadaan dengan menyesuaikan Hello Kitty dengan perkembangan zaman. Hello Kitty yang ekspresif, tidak mengancam, dan terbuka untuk interpretasi memudahkannya untuk berintegrasi dengan berbagai merek dan tren.
Hello Kitty memiliki sebuah paradoks yang menarik. Desainnya sederhana, mudah diproduksi, dan mudah dikenali, namun karakternya sulit untuk didefinisikan. Menurut alur cerita yang dibuat oleh Sanrio, Kitty lahir di Jepang tetapi tinggal di London. Kitty juga bukanlah seekor kucing, melainkan seorang gadis kecil. Meskipun tidak memiliki mulut, Hello Kitty dipandang sebagai simbol pemberdayaan. Kelucuan Hello Kitty tidak hanya sekedar penampilan, tetapi juga sebuah “soft power” yang membuatnya tetap relevan dan dicintai hingga kini.
Hello Kitty, si kucing imut tanpa mulut ini, telah mencuri hati jutaan orang di seluruh dunia. Kesuksesannya tak lepas dari strategi jitu yang diterapkan oleh Sanrio, perusahaan di baliknya. Seperti banyak merek ikonik lainnya seperti Pokémon, Mickey Mouse, dan Star Wars, Hello Kitty memanfaatkan tiga taktik ampuh: lisensi, kolaborasi, dan brand extension. Namun, ada sesuatu yang unik pada Hello Kitty, sebuah paradoks yang membuatnya berbeda dari yang lain.
Kesederhanaan desainnya yang hanya terdiri dari beberapa bentuk dasar membuatnya mudah diproduksi ulang dan dikenali di mana pun. Namun di balik kesederhanaan tersebut, tersimpan misteri yang menarik. Hello Kitty adalah teka-teki yang sulit dipecahkan.
Meskipun “lahir” di Jepang, ia diceritakan tinggal di London. Lebih membingungkan lagi, ia bukanlah seekor kucing, melainkan seorang gadis kecil! Keunikannya semakin lengkap dengan wajahnya yang tanpa mulut, yang justru menjadi simbol pemberdayaan. Hello Kitty membuktikan bahwa kelucuan tidak hanya sekadar penampilan, tetapi juga kekuatan yang mampu menembus batas budaya dan bahasa.
Dengan strategi yang cerdik dan paradoks yang memikat, Hello Kitty telah membangun kerajaan bisnis yang tak tergoyahkan. Ia telah menjelma menjadi ikon budaya pop yang tak lekang oleh waktu. Selama Hello Kitty terus menebar pesona kelucuannya, ia akan terus menjadi bagian penting dari kehidupan kita, menemani generasi demi generasi.