Kamis, April 25, 2024

Habibie, Musik, dan Jasanya Pada Indonesia

Ananda Sukarlan
Ananda Sukarlan
Pianis, komponis yang menurut The Sydney Morning Herald “one of the world’s leading pianists … at the forefront of championing new piano music”. Penerima Dharma Cipta Karsa RI 2014 Dan Anugerah Kebudayaan RI 2015. Aktivis dan pengidap Asperger's Syndrome.

Ada dua presiden RI yang sangat penting dalam karir artistik saya, yaitu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan BJ Habibie. Banyak yang sudah tahu bahwa Gus Dur adalah pecinta musik klasik, tapi banyak yang tidak tahu tentang sisi estetika BJ Habibie dan visinya dalam dunia seni. Dia lebih dikenal sebagai seorang teknokrat dan ilmuwan. Dua presiden ini berhubungan erat visi keseniannya, makanya saya harus mulai dengan kisah saya bersama Gus Dur.

Presiden ke-4 RI, Gus Dur-lah yang “membawa pulang” saya dengan mengundang saya dari Eropa (saat itu saya sudah lama tidak pulang ke Indonesia) untuk main piano di Istana tahun 2000. Katanya, sejak diusirnya Bung Karno dari istana, tidak ada seniman (maksudnya hanya musikus atau seniman pada umumnya? Saya agak lupa sih apa yang beliau katakan) yang masuk ke istana, dan ini baru pertama kalinya setelah puluhan tahun.

Gus Dur adalah pecinta berat musik Beethoven, dan secara spesifik meminta saya untuk memainkan “Moonlight Sonata” di konser saya, serta karya-karya Beethoven yang lain di Istana. Konser di sana cukup bikin canggung, karena tentu yang mengerti dan mencintai musik ya hanya Gus Dur dan istrinya, sedangkan belasan pegawai serta ajudan istana ya harus duduk di situ dengan tampang bosan (saat itu belum zamannya mainan handphone). Untung tidak ada yang tidur!

Saya sudah tidak begitu ingat lagi, tapi di ruangan itu ada sekitar 60-70 orang, termasuk beberapa duta besar dan ada beberapa pejabat yang saya benar-benar lupa (itu kunjungan saya ke Indonesia setelah beberapa tahun tinggal di luar negeri, dan internet belum terlalu aktif, jadi saya betul-betul tidak kenal siapa-siapa).

Saya pernah cerita tentang ini kepada wartawan Abi Hasantoso, dan ia ceritakan ulang di blognya. 13 tahun kemudian Ilham Habibie, teman saya yang juga putra presiden ke-3 RI Pak B.J. Habibie, mengajak saya bertemu dengan ayahnya. Dia sudah bercerita sedikit tentang kecintaan ayahnya terhadap musik klasik serta visinya untuk kemajuan bangsa.

Saya sudah beberapa kali bertemu beliau sih, dan ngobrol sedikit (terakhir setahun sebelumnya, di mana kami sama-sama menerima penghargaan Diaspora Award di Jakarta) tapi belum pernah seintens saat itu.

Bapak belum pernah datang ke konser saya, tapi Ilham (yang sering menghadiri konser saya) telah bercerita banyak tentang saya dan membawakan beberapa CD saya ke ayahnya. Nah, siang itu di rumahnya, Bapak berapi-api menceritakan cita-citanya membawa Indonesia ke jenjang hi tech and hi touch (teknologi tinggi dan sentuhan seni yang tinggi), dan ingin saya membuat musik dengan ide yang sama seperti Rapsodia itu tapi untuk orkes kamar (sekitar 10 sampai belasan instrumen).

Karya ini ingin beliau dedikasikan untuk mengenang almarhumah istrinya yang meninggal tahun 2010. Beliau meminta bentuknya adalah sebuah simfoni, kalau di dunia sastra, seperti sebuah novel, yang ada alur ceritanya, flashbacks, dan pengembangan karakter yang cukup detial.

Chamber Symphony ini saya desain berdurasi sekitar 20 menit dan beliau menyetujuinya. Saya ingin ada eksplorasi aspek berbeda dari karya baru yang saya buat ini. Saya mengambil ide Pak BJH “hi tech & high touch” dengan membuka Chamber Symphony ini dengan mengimitasi sejumlah mesin yang berdetak dengan kecepatan yang berbeda-beda. Pendengar saya “paksa” untuk bisa mendengarkan 6 ritme yang berbeda-beda di pembukaan itu, yang akhirnya semua melebur ke sebuah melodi cinta.

Setelah itu, saya menggunakan melodi dari lagu rakyat Jawa Tengah, Lir-Ilir. Banyak porsi solo piano di karya ini yang kemudian saya sedot dan olah menjadi Rapsodia Nusantara no. 17 yang saya tulis 2 tahun kemudian sebagai hadiah untuk Anthony Hartono seusai kemenangan pianis muda brilian di Ananda Sukarlan Award 2014 ini.

Bapak senang sekali atas hasil ini dan meminta saya untuk tahun berikutnya membuat Chamber Symphony no. 2, kali ini menggunakan motif dasar lagu rakyat Sulawesi Selatan (tanah kelahiran BJH), yaitu Anging Mamiri dan Pakarena.

Seperti yang pertama, karya itu saya desain untuk bisa ditampilkan di panggung yang kecil untuk musik kamar. Di hampir semua gedung konser simfonik di Eropa, satu gedung terdiri dari 2 hall, yaitu Symphonic Hall yang panggungnya bisa menampung ratusan musikus untuk orkes dan kapasitasnya minimal 1.000 penonton, dan Chamber Hall yang panggungnya hanya bisa memuat maksimum 10 musikus, dengan perkusi dan piano yang biasanya makan banyak tempat.

Biasanya kapasitas penonton Chamber Hall itu sekitar 400-600, seperti Erasmus Huis atau Soehanna Hall di Jakarta. Nah, perpustakaan Pak BJH itu itu pas sekali untuk musik kamar yang dimainkan 10 musikus. Sejak itu secara berkala Bapak meminta saya menulis karya. Biaya produksinya serta penyelenggaraan konsernya menjadi kerjasama Yayasan Habibie-Ainun (dengan Ilham Habibie dan Santhi Serad yang menjadi motornya) dan Ananda Sukarlan Center. Yayasan inilah bagian “hi touch”-nya dari visi Bapak.

Salah satu hasilnya antara lain “An Ode to the Nation” yang, walau formatnya tetap chamber orchestra, akhirnya saya perbesar untuk orkes sekitar 50 orang untuk dibawakan di World Culture Forum, 2016. Karya ini untuk tenor, orkes dan paduan suara anak-anak, dan teksnya saya ambil dari doa dan pidato Pak BJH yang beliau berikan ke saya.

Selain itu Pak BJH juga senang ngobrol dengan para musikus klasik (muda), dan sejak permulaan kerjasama kami di tahun 2014, saya telah membawa dan memperkenalkan puluhan musikus ke beliau. Beliau selalu hadir di-rehearsals kami di rumahnya, dengan keingintahuan yang tinggi tentang proses kreatif sebuah pertunjukan.

Saya bukanlah komponis pertama yang diminta BJH untuk menulis dan memapankan identitas musik klasik Indonesia. Beliau sudah meminta almarhum Yazeed Djamin (1951-2001), waktu itu masih ada Ibu Ainun. Yazeed sudah menuliskan 1 karya, yaitu “Variations on Ismail Marzuki’s Sepasang Mata Bola”, untuk piano dan orkes. Sebetulnya dia itulah yang sudah diminta BJH untuk merealisasikan visi “hi touch”nya ini di tahun 1990-an, tapi kemudian Yazeed keburu wafat.

Buat saya, Yazeed adalah komponis Indonesia terpenting di genre “classical music”, dan sayang sekali karya-karyanya banyak yang hilang.

Yazeed jugalah yang sebetulnya berniat menuliskan serangkaian Rapsodia Nusantara, dan sebetulnya dia sudah memulai Rapsodia rusantara no. 1 (dari lagu daerah Aceh) sewaktu ia wafat, tapi manuskripnya tidak ketahuan ada di mana. Ada dua persamaan yang persis sama dalam visi seni Gus Dur dan BJ Habibie. Keduanya mengerti pentingnya identitas Indonesia yang kuat dalam karya seni, dan bagaimana menggunakannya untuk membawa negara ke panggung internasional.

Ada pesan yang sama dari mereka berdua ke saya: “Ananda, kamu orang Indonesia. Jangan sampai kehilangan ke-Indonesiaanmu dalam karyamu, selama kamu bisa berkarya”. Gus Dur yang menegur saya setelah konser saya di istana untuk beliau tahun 2000 dengan pertanyaan: “Kok, mainnya cuma Beethoven sama Bach? Mana musik Indonesianya? Kan kamu orang Indonesia?”, dan BJ Habibie yang melanjutkannya, 13 tahun kemudian dengan kalimat “Kalau tidak ada musik Indonesia, ya kita yang harus bikin!” Gus Dur membawa saya ke pintu yang masih terkunci, dan BJ Habibie yang memberi saya kuncinya.

Terima kasih kepada mereka berdua, saya bisa melalui pintu tersebut dan menemukan pengalaman sonik yang baru, dan kini tugas kami para musikus untuk memperkenalkan dunia baru itu ke seluruh penjuru dunia.

Terakhir, ini secuplik dari Chamber Symphony no. 2 yang beliau minta untuk didedikasikan ke istri tercinta. Kali ini, izinkanlah saya post di sini dan saya dedikasikan untuk melambangkan cinta abadi antara Habibie dan Ainun. Selamat bahagia selamanya, Bapak dan Ibu, terimakasih atas cinta Anda berdua untuk bangsa.

Ananda Sukarlan
Ananda Sukarlan
Pianis, komponis yang menurut The Sydney Morning Herald “one of the world’s leading pianists … at the forefront of championing new piano music”. Penerima Dharma Cipta Karsa RI 2014 Dan Anugerah Kebudayaan RI 2015. Aktivis dan pengidap Asperger's Syndrome.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.