Konon, jika umat Islam bersatu, maka tak butuh rudal, tank, senapan atau peralatan militer apa pun untuk melawan Israel. Cukup masing-masing membawa setimba air, tumpahkan ke daratan Israel, dan negeri zionis itu pun akan tenggelam, hilang dari peta dunia.
Persoalan utamanya memang pada kita. Kita yang terpecah-belah. Celah-celah dalam retakan bangunan bernama “umat Islam” itu kemudian disusupi oleh sentimen-sentimen yang diciptakan oleh musuh Islam dengan memanfaatkan kebodohan atau terkadang nafsu dalam diri individu-individu atau golongan-golongan umat Islam sendiri.
Dan ikhtilaf (perbedaan) pun menjadi iftiraq (perpecahan). Padahal, perbedaan adalah keniscayaan yang memang diciptakan Tuhan sebagai sunnah-Nya (QS. Al-Hujurat: 13). Sedangkan perpecahan adalah sesuatu yang dilarang-Nya: wa lā tafarraqū (janganlah kalian berpecah-belah!) Bukankah negeri ini juga dijajah dengan strategi politik devide et impera?
Kesadaran itulah yang membawa para habib dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkumpul di Gedung PBNU, Jakarta, 16 Maret 2016 lalu, dengan inisiasi Islam Nusantara Network (INN). Mereka menjalin silaturahmi dalam syahdu-nya Maulid Nabi.
Disintegrasi Islam itu kian mengkhawatirkan lantaran ia terinternalisasi dalam tubuh umat Islam dalam wujud takfirisme. Bahkan, takfiri kian bukan hanya tentang suatu golongan yang gemar mengkafirkan yang biasanya berafirmasi dengan neo-Khawarij. Namun, ia menyusup dalam individu-individu umat Islam di berbagai mazhab atau golongan. Ia ada di mana-mana, sebagai kecenderungan yang muncul dari paradigma yang sempit, mundur (jahiliyah), kaku, dan ekstrem.
Menurut saya, silaturahmi itu setidaknya berangkat dari empat pondasi utama yang menjadi satu irisan antara habaib (jamak dari kata: habib) dan NU. Pertama, irisan religiusitas. Keduanya sama-sama berpondasi, mengusung, dan bervisi pada Islam moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), dan cinta-kasih (rahmat).
Yang disebut terakhir bahkan melekat pada habaib sejak pada sebutan mereka: “habib” secara etimologis berarti “yang dicinta”, yang kemudian melahirkan relasi saling cinta dengan nahdliyin, sehingga mereka disebut “muhibbin” yang bermakna “pecinta”. “Menghormati habaib adalah wajib hukumnya,” kata KH Said Aqil Siraj dalam pidatonya pada acara silaturahmi tersebut.
Adapun prinsip toleransi dan damai telah diletakkan pondasinya oleh leluhur habaib sejak generasi awal diaspora kaum habib ke Hadhramaut (Yaman) dari Bashrah (Irak) pada 320 H. Saat itu, salah satu leluhur habaib bernama Imam Faqih al-Muqaddam melakukan upacara simbolik pematahan pedang sebagi simbol keberislaman dan dakwah damai dan toleran.
Kedua, irisan kultural. Jika dakwah Islam hingga ke Andalusia (Spanyol) ditegakkan dengan pedang, maka fakta sebaliknya yang terjadi dalam gerakan dakwah Islam ke selatan hingga ke Asia Tenggara (khususnya ke Nusantara) yang salah satunya dipelopori oleh diaspora habaib dari Hadhramaut. Bertolak dari simbolisasi pematahan pedang, dakwah mereka berbasis akulturasi budaya. Seperti kental tampak dalam metode dakwah Walisongo yang juga merupakan habaib, mereka bukan memberangus budaya Nusantara yang telah ada saat itu. Alih-alih justru menjadikannya gerbang dan media dalam dakwah Islam.
Mereka juga “bersesajen”, namun dengan menyusupkan nilai-nilai Islam sehingga pasca-Islam dikenallah “selametan” dengan pemaknaan barunya: memohon selamat dengan melakukan kegiatan keislaman dan kepedulian pada sesama, bukan lagi pemberian pada dewa. Mereka juga berwayang, namun justru menjadikannya sebagai media dakwah sejarah Islam.
Persis seperti yang juga dilakukan oleh kiai-kiai NU yang pada puncaknya hingga ia diabadikan dalam Muktamar NU 2015 sebagai tema “Islam Nusantara”: Islam yang diakulturasikan dengan nilai-nilai budaya Nusantara. Islamnya satu, tetap seperti Islam era Nabi, namun bungkusnya saja diubah dengan cover budaya Nusantara, sehingga tak ada yang namanya benturan kebudayaan. Maulid Nabi, tahlilan, ziarah kubur, dan semacamnya merupakan di antara output-nya.
Ketiga, irisan spiritualitas. Habaib dan NU sama-sama pendaki jalan spiritual: tasawuf. Bahkan, menurut saya, irisan inilah yang menjadi kekuatan terdalam bagi keduanya. Secara formal bahkan Muktamar NU ke-3 di Surabaya, 29-30 September 1926, dan Muktamar ke-6 di Cirebon (1931) menegaskan keabsahan tarekat dalam lingkungan NU. Kalangan nahdliyin berafiliasi dengan puluhan corak tarekat yang muktabarah. Hingga di tahun 1990-an, kajian tentang tasawuf dan tarekat begitu populer di kalangan akademisi NU.
Adapun habaib, mereka bahkan memiliki satu corak tarekat tersendiri: Thariqah ‘Alawiyah. Di tengah perkotaan pun, khususnya Ibu Kota Jakarta, eksistensi tasawuf kalangan habaib tetap terjaga dengan sedikit inovasi yang kemudian dikenal dengan terminologi “sufi perkotaan”, yang sempat menjadi laporan utama majalah Tempo dalam kaitannya dengan pengajian-pengajian dzikir dan shalawat para habib di Jakarta.
Keempat, irisan kebangsaan. Habaib dan NU sama-sama mengimani “hubbul wathon” (cinta Tanah Air). Jamiatul Khair (1903) yang merupakan lembaga pendidikan habaib tertua di Indonesia dan juga NU (1926) menjadi dua kekuatan Islam yang terbesar dan terdepan, bersama Muhammadiyah dalam menentang dan mengusir penjajah melalui pencerdasan anak bangsa.
Mereka juga yang sejak awal meyakinkan founding fathers bangsa ini bahwa meskipun negeri ini–mempertimbangkan keragamannya–tak memilih untuk menjadi negara Islam (daarul Islam), negeri ini tetaplah negeri islami (daarus salaam) dengan prinsip Pancasila-nya yang memang tak menerapkan Islam secara simbolik namun substantif: tauhid, kemanusiaan, keadilan.
Prinsip itu dipegang kuat hingga kini oleh keduanya. Yang terbaru, salah satu tokoh habaib kontemporer, Habib Luthfi bin Yahya, menggelar ‘pengajian’ “Bela Negara”.
Jika diperhatikan, empat irisan tersebut sebenarnya menjadi titik pembeda antara habaib-NU dan kalangan ekstremis ‘muslim’ yang menjadi representasi neo-Khawarij yang memang cenderung ekstrem dan anti-cinta, anti-kebudayaan, anti-tasawuf, anti-NKRI. Bersama Muhammadiyah, keduanya juga menjadi identitas Islam Indonesia yang membawa Islam di negeri ini kian menjadi kiblat bagi muslim dunia.
Akhirnya, jika Islam kita ibaratkan burung, maka habaib dan kiai layaknya dua sayap. Keduanya harus selalu bersinergi dalam membangun Islam dan mengokohkan bangsa. Tanpa itu, mungkin kita hanya akan menunggu krisis Islam di Timur Tengah bakal mampir di negeri ini. Naudzubillah!