Sebagai kader muda Nahdlatul Ulama, saya sangat beruntung mempunyai kiai-kiai yang dapat dijadikan teladan dan contoh dalam berpikir dan bersikap. Salah satu kiai yang saya hormati karena kearifan dan kedalaman ilmunya adalah KH. Mustofa Bisri, yang biasa dipanggil Gus Mus.
Bagi saya yang tinggal di Jakarta, tidak mudah sowan ke Gus Mus untuk sekadar ngalap berkah. Maklum, Gus Mus tinggal di Rembang, Jawa Tengah. Kesempatan yang paling mungkin berjumpa dengan Gus Mus biasanya saat Muktamar atau Musyawarah Nasional Alim-Ulama NU. Gus Mus sangat ramah dan menebar senyum saat menerima kader-kader muda NU, termasuk saya. Biasanya pertanyaan Gus Mus kepada saya, “Apa buku terbarumu?”
Pertanyaan tersebut bukan basa-basi. Gus Mus adalah seorang kiai yang selalu membaca karya anak-anak muda NU. Tidak hanya itu saja, Gus Mus juga memberikan apresiasi agar anak-anak muda NU terus berkarya menyumbangkan pikiran kepada bangsa dan menyebarluaskan pikiran-pikiran moderat ke seantero negeri.
“Saya ingin menjadi Rois ‘Am bagi anak-anak muda NU”, ujar Gus Mus setelah mengundurkan diri sebagai Rois ‘Am terpilih di Muktmar Jombang yang lalu.
Walaupun banyak anak muda NU yang kecewa karena Gus Mus mengundurkan diri sebagai Rois ‘Am, tapi kami sangat menghormati keputusan Gus Mus tersebut. Beliau memang tidak punya jabatan di struktural NU, tapi Gus Mus akan selalu bersemayam di hati anak-anak muda NU. Setelah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur wafat, Gus Mus adalah rujukan (marja’iyyah) anak muda NU.
Maka, di sini, kami tidak habis pikir kepada pemilik akun @panduwijaya_ yang merespons kicauan Gus Mus tentang rencana salat Jumat di jalan pada 2 Desember yang akan datang dengan kata-kata yang sangat tidak pantas, “Ndasmu!”
Saya sendiri terperangah, kesal, dan agak marah. Saya kira, semua anak muda NU ikut kesal dan marah. Kenapa saudara Panduwijaya yang kabarnya berasal dari Probolinggo sangat lancang kepada Gus Mus? Apakah dia tidak mengenal Gus Mus? Apakah dia sengaja mem-bully Gus Mus?
Amarah saya mereda setelah Panduwija meminta maaf. Saya kira Gus Mus juga menerima maaf anak muda yang khilaf itu. Kami pun anak muda NU yang lain dapat menerima permintaan maaf, dan semoga Panduwijaya dapat mengambil pelajaran berharga dan tidak mengulangi perbuatan buruknya.
Terakhir saya berjumpa dengan Gus Mus di Masjid Sektor 9, Bintaro, Tangerang Selatan. Saat itu Gus Mus sedang memberikan ceramah. Saya tahu kalau Gus Mus akan memberikan ceramah di Masjid Sektor 9 setelah mendapatkan kabar dari seorang teman. Tanpa berpikir panjang, saya putuskan hadir. Selain mendengarkan ceramah Gus Mus, saya ingin mencium tangannya. Bagi kami anak muda NU, mencium tangan kiai adalah kenikmatin tersendiri.
Saat itu, Gus Mus cuma bertanya, “Kok, kamu ada di sini?” Saya jawab, “Rumah saya tidak jauh dari masjid ini, Kiai. Saya kangen mendengarkan ceramah dan taushiyah Kiai.”
Kekaguman saya pada Gus Mus tidak pernah surut. Gus Mus adalah sosok patut diteladani karena kesederhanaannya. Ia berbeda dengan kiai-kiai lainnya yang sekarang naik mobil Jaguar, Alphard, dan mobil mewah lainnya. Saat itu, Gus Mus hanya naik mobil Grand Livina berdua bersama sopirnya.
Dalam hati saya berujar, Gus Mus luar biasa. Secara implisit, Gus Mus mengajarkan kita agar selalu hidup sederhana dan jauh dari hidup bermewah-mewahan. Gus Mus ingin mengatakan kepada kita bahwa dakwah dengan keteladanan jauh lebih efektif daripada dakwah dengan lisan (lisan al-hal afshahu min lisan al-maqal).
Bagi kami anak muda NU, Gus Mus adalah guru bangsa. Dari beliau, kita akan mendapatkan pandangan-pandangan yang mencerminkan harmoni kebangsaan dan kemanusiaan. Seperti halnya Gus Dur, Gus Mus selalu mengingatkan kita semua, khususnya umat Islam di negeri ini, bahwa kita adalah orang Indonesia yang menganut Islam. Bukan penganut Islam yang tinggal di Indonesia.
Ungkapan tersebut punya makna luar biasa bahwa Indonesia adalah titik-temu (kalimatun sawa) seluruh umat agama-agama. Yang harus dikedepankan adalah kesadaran keindonesiaan kita. Indonesia yang pertama dan terutama.
Andai kita semua kita sadar bahwa kita adalah orang Indonesia, maka sebenarnya perbedaan apa pun tidak akan bisa memecah-belah kita sebagai negara-bangsa. Justru perbedaan akan menjadi kekuatan untuk saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lain.
Untuk memperkokoh kesadaran keindonesiaan, Gus Mus selalu mengingatkan kita bahwa kita adalah manusia, ciptaan Tuhan. Di dalam al-Qur’an disebutkan, “Kami telah muliakan seluruh keturunan Adam.” Kata Gus Mus, “Sayangnya kita masih mewarisi Qabil dan Habil, dan belum benar-benar menjadi manusia.”
Nah, memang relasi keindonesiaan dan keislaman kerap masih mengalami ketegangan. Ada pihak-pihak yang ingin membenturkan antara keislaman dan keindonesiaan. Bahkan, menurut Gus Mus, masih ada pihak yang “mengatasnamakan Islam untuk merusak dan menghancurkan”. Fenomena ini patut diwaspadai karena akan merusak harmoni kebangsaan dan pada akhirnya akan mencabik-cabik perikemanusiaan.
Saya meyakini pikiran-pikiran Gus Mus tersebut merupakan suara mayoritas di republik ini karena mempunyai akar sejarah yang panjang dan basis sosial yang kokoh. Namun harus diwaspadai juga bahwa ada gerakan yang ingin mengoyak solidaritas kebangsaan dan solidaritas kemanusiaan kita dengan menggunakan tafsir keagamaan yang rigid dan ekstrem.
Bahkan, mereka ini membentuk idola-idola baru dalam hal keagamaan dengan tujuan menggantikan dan meredupkan pengaruh Guru Bangsa melalui media sosial.
Perhatikan, misalnya, di google.com. Di sana ada upaya sistematis untuk menghina dan melecehkan para guru bangsa kita. Mereka tidak hanya memfitnah Gus Mus, tapi juga melecehkan Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii Maarif, Quraish Shihab, dan lain-lain.
Saya tidak tahu apakah pemilik akun @panduwijaya_ ini merupakan korban dari upaya untuk melemahkan posisi guru bangsa kita yang dilakukan secara sistematis di media sosial. Yang perlu dikhawatirkan, apabila banyak orang seperti @panduwijaya_ yang hanya tahu para guru bangsa kita melalui google.com dan tanpa memverifikasi informasi-informasi yang sangat menyesatkan pembaca.
Maka, saya menyarankan kepada pembaca tulisan ini, ada baiknya mencermati bagaimana upaya mengoyak kebangsaan dan membungkus ekstremisme di media sosial yang dilakukan secara sistematis. Tidak hanya itu, kita harus militan menyebarluaskan pikiran-pikiran para guru bangsa yang mencerahkan umat. Apalagi saat ini bangsa kita sangat membutuhkan para guru bangsa bersuara untuk menyelamatkan negeri ini dari cengkraman kaum ekstremis yang kerap menggunakan jubah agama.