Kamis, April 25, 2024

Grace Natalie dan Jawaban Politik Generasi “Y”

Anwar Saragih
Anwar Saragih
Mahasiswa S2 Ilmu Politik di Universitas Diponegoro
solidaritas-psi
Ketua Umum PSI Grace Natalie (paling kiri) dan pengurus teras PSI.

Tepat dua hari sebelum Lebaran, 4 juli 2016 lalu, Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie merayakan ulang tahun yang ke-34. Di hari yang sama, Amerika Serikat juga merayakan Independence Day, peringatan 240 tahun Amerika Serikat bebas dari penjajahan Britania Raya (4 juli 1776).

Juga di tahun 1927 di tanggal yang sama, Soekarno muda bersama Dr Tjipto Mangunkusumo juga mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI merupakan partai tertua di Indonesia dan umur Soekarno saat ikut mendirikannya menginjak 26 tahun.

Ini abad ke-21, sebuah era yang berbeda saat Thomas Jefferson menyusun deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat di abad ke-18. Juga saat yang berbeda saat Soekarno muda mendirikan Partai Nasional Indonesia di abad ke-20. Abad ke-21 adalah era millenial atau kerap disebut era generasi “Y”. Masa di mana kehidupan manusia punya karakteristik tata nilai yang berbeda dengan generasi sebelumnya.

Era millenial adalah sebuah masa kehidupan manusia menyatu dengan internet yang mampu mengubah gaya hidup, peradaban, juga generasi. Masa di mana kehidupan digital mengharuskan manusia tak bisa lepas dari media sosial dalam setiap aktivitasnya. Dari memainkan gadget, selfie, stalking, bulliyng, hingga pamer kenyamanan hidup dan rasa galau merupakan jenis aktivitas yang acap dihubungkan dengan kelakukan generasi millenial di media sosial.

Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (UI), pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 menembus angka 88,1 juta. Dari total jumlah tersebut, 49% di antaranya dikuasai oleh generasi millenial. Artinya, media sosial di Indonesia saat ini dikuasai mereka. Banyak literatur menyebutkan generasi “Y” atau generasi millenial adalah generasi anak muda yang lahir pada tahun 1980-an sampai 2000-an.

PSI dan Media Sosial
Sejak media sosial tumbuh subur di awal tahun 2000-an, mulai  Friendster (2002), Facebook (2004), MySpace 2006, Twitter (2007), hingga Path (2011), praktis aktivitas kehidupan manusia bergeser ke dunia digital. Perkembangan secara cepat media sosial ini selanjutnya memunculkan istilah netizen. Netizen berasal dari kata “net” yang berarti internet dan “citizen” yang berarti warga. Jika diartikan berarti warga internet atau para pengguna internet.

Artinya, netizen adalah siapa saja yang mengakses dan menggunakan internet. Di era saat ini pemanfaatan internet melalui media sosial tidak hanya berkaitan dengan toko online dan promosi produk saja. Pemanfaatan media sosial sudah mengarah ke hal-hal yang bersifat sosial dan politik. Seperti membentuk citra kandidat calon kepala daerah bahkan calon presiden, kampanye partai politik juga sebagai sarana interaksi politisi dan konstituennya.

Hal ini pula yang terjadi di hari bersejarah itu, 4 Juli 2016. Para pengguna Twitter memanfaatkan media sosial tersebut untuk memberi ucapan selamat ulang tahun kepada Ketua Umum PSI Grace Natalie. Ribuan mention membanjiri akun @grace_net. Tak ayal, tagar #HBDKetumPSI menjadi trending topic di Twitter yang bertahan dari pagi sampai sore di hari itu.

Sebagai partai baru yang mengusung brand partai anak muda, kebutuhan akan media sosial tentu sangat penting mengingat para pengguna media sosial didominasi oleh anak muda yang juga generasi millenial.

Di sisi lain, data survei Institute for Transformation Studies (Intrans) dengan judul “Partai Politik Paling Berpengaruh di Media Sosial” di Jakarta (30 Maret 2016 lalu) menyebutkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di urutan pertama konten di media sosial.  Facebook paling banyak di-likes atau disukai. Sebanyak 637.000 likes menempatkan PSI di posisi teratas. Disusul Partai Gerindra dengan 472.000 likes, PDI Perjuangan 222.000 likes, Partai Demokrat 67.100 likes dan Partai Keadilan Sejahtera 649.000 likes.

Jawaban Politik Generasi “Y”
Politik telah bertransformasi dari gerakan massa ke gerakan media sosial. Hal ini tentu berbeda dengan tradisi masyarakat di masa lalu dalam menyikapi politik dan kebijakan pemerintah. Dalam hal kampanye, misalnya, visi-misi partai politik dan demonstrasi menyikapi kebijakan yang tidak pro-rakyat dilakukan dengan turun langsung ke jalan.

Hal inilah yang terlihat kontras di era sekarang. Sejak media sosial tumbuh subur di Indonesia, sejak itu pula aktivitas generasi “Y” atau generasi millenial beralih ke media sosial. Pemberitaan baik buruknya sebuah kebijakan yang dlakukan pemerintah secara cepat di respons para netizen.

Pada posisi inilah terlihat PSI lahir sebagai embrium partai anak muda yang memberikan jawaban kebutuhan generasi millenial. PSI juga menjadi jawaban sekaligus bantahan atas paradigma umum bahwa generasi millenial identik dengan generasi “alay”, generasi dengan perilaku anak muda yang suka memainkan gadget, selfie, bullying, dan pamer kehidupan pribadi di media sosial. Cap “alay” ini membentuk konstruksi berpikir generasi millenial tidak produktif, pemalas, dan terkesan tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap arah pembangunan bangsa dan negara.

Bonus Demografi
Menurut prediksi Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020-2035 Indonesia akan memperoleh bonus demografi. Dalam proyeksi kependudukan tercatat bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 sebanyak 305,6 juta jiwa dengan persentase angkatan kerja produktif mencapai 66,6%.

Bonus demografi adalah komposisi jumlah penduduk produktif lebih besar dari jumlah penduduk tidak produktif. Kategori angkatan kerja produktif umur 15-64 tahun, sementara angkatan kerja tidak produktif umur 0-14 tahun dan umur di atas 65 tahun. Hal inilah titik persinggungan antara PSI dan generasi millenial. Bahwa potensi yang dimiliki generasi millenial terhadap arah pembangunan bangsa sangat kuat.

Grace Natalie adalah ketua umum partai politik termuda di Indonesia saat ini. Terlahir dari generasi millenial, Grace Natalie lahir sebagai alternatif jawaban kebutuhan politik generasi “Y”. Lahirnya PSI di tengah budaya politik indonesia yang patrilineal dan patronase membentuk kebaruan baru dalam politik di Indonesia. Bahwa anak muda di generasi millenial diberi kesempatan ikut dalam iklim demokrasi Indonesia.

Di sisi lain, di tengah proses pendirian partai politik di Indonesia yang semakin rumit dengan harus punya kepengurusan 100% di provinsi, 75% di kabupaten/kota, dan 50% di kecamatan (UU No. 2 Tahun 2011), serta harus menyediakan KTP 1/1.000 orang penduduk di wilayah kabupaten/kota, kehadiran PSI merupakan jawaban atas kebutuhan generasi “Y”. Sebab, di tengah kebutuhan pemenuhan syarat yang rumit, semangat anak muda dari generasi “Y” atau generasi millenial sangat dibutuhkan.

Indonesia membutuhkan sesuatu yang baru dalam tradisi politiknya. Agar cita-cita luhur kesejahteraan bagi seluruh tumpah darah Indonesia bisa terwujud, semua unsur harus memberikan kontribusi yang jelas terhadap arah cita-cita tersebut. Baik yang tua maupun generasi muda. Ini salah satu upaya kita memastikan hak politik terdistribusi bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga PSI bisa memenuhi harapan dan cita-cita itu.

Anwar Saragih
Anwar Saragih
Mahasiswa S2 Ilmu Politik di Universitas Diponegoro
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.